7. Maafkan Bunda

1046 Words
Malam ini rasanya tulang-tulang di tubuh hampir saja lepas dari persendian. Tak dipungkiri jika menjadi tulang punggung keluarga itu rasanya capek sekali. Selain mengurus tiga orang anak, aku juga harus bekerja keras mencari nafkah untuk menghidupi mereka. Jika mengandalkan uang dari ayah dari anak-anak, rasanya sudah tidak mungkin lagi karena tanggung jawab pada anak-anaknya bisa dikatakan tak ada lagi. Aku tidak pernah mau mengeluh atas kondisi ini. Selagi aku masih mampu menghidupi mereka, maka aku pun tak akan mengemis uang darinya. Meski pun mantan suami masih kerap bertandang ke rumah menjumpai anak-anak, tapi dari segi materi dia sama sekali tak pernah mencukupi. Entahlah. Aku tak paham dengan isi kepalanya. Dipikirnya ketiga anak kami itu bisa tumbuh besar tanpa biaya. Ya sudah lah. Aku masih bersabar dan bersyukur selagi masih sanggup mencari nafkah dan menghidupi anak-anakku seorang diri. Mata ini sebenarnya sudah ingin memejam lalu merebahkan diri di atas ranjang. Namun, aku masih memiliki sebuah tanggung jawab pada pekerjaan. Ya, selain mengurus kedai aku juga mencari sampingan bekerja freelance. Istilah kerennya adalah pekerja remote. Pekerjaan yang bisa dikerjakan kapan pun dan di mana pun. Hasil dari gaji yang aku terima pun cukup lumayan sehingga enggan untuk aku tinggalkan. Lebih tepatnya sekitar dua tahun lalu aku mulai menjalankan pekerjaan ini. Berbekal dari pengalaman sebagai pekerja kantoran kurang lebih lima belas tahun lamanya, jadi tidak susah jika hanya bekerja sebagai tenaga administrasi pada beberapa perusahaan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Duduk di tepi ranjang, memperhatikan Mondy yang tidur dengan lelap di waktu menjelang pukul sepuluh malam. Sehari-hari Mondy memang masih tidur sekamar denganku. Sementara Iyan memilih tidur bersama Rey. Mengusap dengan penuh sayang rambut putra bungsuku, sebelum aku beranjak menuju meja kerja. Membuka laptop, dan selama dua jam kedepan aku fokus berkutat dengan pekerjaan. Mengingat hanya dari bekerja online inilah aku bisa memiliki tabungan untuk masa depan, sementara laba dari hasil berjualan aku gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh sebab itulah aku selalu bersemangat menyelesaikan pekerjaan hingga larut malam. ••• Mungkin hanya lima jam aku tidur dalam semalam karena di pukul lima pagi aku sudah harus bangun. Banyak hal yang harus aku kerjakan di setiap pagi, terutama mengurus ketiga buah hatiku. Merebus air untuk membuat sussu, menanak nasi untuk sarapan, menyiapkan seragam sekolah sudah selesai aku kerjakan. Ketika sedang menyiapkan makanan di atas meja, kudengar suara deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Sedikit mengintip pada jendela yang tirainya sudah terbuka. Sebuah mobil yang tidak asing tampak di mataku. Itu adalah mobil mantan suamiku. Untuk apa pagi-pagi sekali dia sudah ada di sini. Tanya dalam benak ini. Suara bel dari pintu depan berbunyi, bertepatan dengan Rey yang keluar dari kamarnya. "Siapa, Bun?" tanyanya sembari melongokkan kepalanya melihat pada kaca jendela. "Ayahmu. Minta tolong dibukain, Mas," pintaku pada anak pertama yang sangat tampan dengan seragam sekolah melekat di badan. Remaja berusia lima belas tahun yang saat ini sudah kelas sembilan. Ah, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Tahun depan aku bisa melihat putraku masuk SMA. Reyfan nama panjangnya. Tapi kita semua lebih suka memanggil dengan nama depannya saja yaitu Rey. Dia melangkah malas menuju pintu depan. Hanya Rey saja yang sudah mengerti akan permasalahan rumah tanggaku dulu dengan ayahnya sehingga sampai sekarang putraku itu tampak tidak suka dan juga enggan sekali berhubungan dengan ayahnya. Bukan aku yang mengajarinya agar membenci sang ayah. Namun, sikap serta perilaku mantan suamiku yang kurang kasih sayanglah penyebab Rey tidak tertarik bertemu atau berhubungan dengan ayahnya itu. "Pagi, Ri!" sapaan yang terdengar di telinga. Dan tiba-tiba saja pria itu sudah ada di hadapanku yang masih berkutat di ruang makan. Aku mendongak. Tak ada senyuman di bibirku karena malas sekali bermanis-manis dengannya. Dulu saja sewaktu aku masih menjadi istrinya, senyumanku sama sekali tak ada arti baginya. Bahkan ketika aku berharap dia memberikan senyuman terhangat untukku, tak pernah aku dapatkan. "Tumben pagi-pagi sudah di sini," jawabku lalu kembali menunduk mengisi piring milik anak-anak dengan makanan yang sudah aku buat. Pagi ini aku hanya menyajikan nasi putih, telor ceplok, dan tahu goreng dengan tambahan kecap manis. Menu simpel, sederhana tapi anak-anak pasti suka. "Iya. Sengaja karena ingin mengantar anak-anak pergi ke sekolah." Tanpa diminta lelaki itu sudah menarik salah satu kursi dan duduk di sebelah Rey. Pandangannya mengedar setelah itu ia bertanya. "Iyan dan Mondy ke mana?" Ya, Tuhan. Kenapa aku bisa melupakan mereka berdua. Tadi aku membiarkan Mondy dan Iyan mandi bersama dan hingga detik ini keduanya belum keluar kamar juga. Sudah dapat aku pastikan jika keduanya sedang bermain-main di dalam kamar mandi. "Mungkin masih mandi. Sebentar aku lihat ke dalam." Gegas meninggalkan ruang makan. Membiarkan Rey dan ayahnya mengobrol berdua. Kubuka pintu kamar dan bibir ini melengkungkan senyuman melihat Iyan sedang membantu adiknya memasang baju. "Kakak! Bisa tidak memasang bajunya adik?" tanyaku penuh kelembutan lalu menghampiri mereka berdua. Inilah aku yang bisa bersikap lembut ketika sedang terharu. Tapi bisa berubah jadi garang ketika pagi-pagi harus disuguhi drama pertengkaran anak-anak. Iyan dan Mondy mendongak melihat kehadiranku. "Bisa bunda. Sebentar lagi selesai," jawab Iyan. Tanganku mengusap kepala mereka berdua dengan penuh sayang. "Jangan lupa rambutnya disisir biar rapi. Setelah itu cepat keluar karena nanti kalian bisa kesiangan. Ada ayah di luar." Aku memberitahu agar mereka lekas menyelesaikan aktifitas dan tidak bermain-main. "Ayah?" tanya Iyan dengan binar bahagia. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tampak sekali jika Iyan sangat bersemangat mengetahui ada ayahnya sepagi ini sudah datang. "Dek, ada Ayah. Nanti kita beli jajan di Alfa, ya?" Iyan memberitahu adiknya. Kepala Mondy manggut-manggut sama semangatnya dengan Iyan. Dalam hati aku hanya mampu berkata. Sebahagia inikah mereka ketika ada bersama sang ayah. Apakah aku terlalu egois karena selama ini telah menghilangkan sosok ayah dalam hidup mereka. Tak dipungkiri. Anak-anak seusia Iyan dan Mondy, belum mengerti tentang permasalahan orang dewasa. Apalagi Iyan yang sejak kecil terbiasa bersama sang ayah. Pasti dengan perpisahan kami, putraku itu yang paling terpukul dan merasa kehilangan. Berbeda lagi dengan Mondy. Sewaktu aku memutuskan pergi, anak ketigaku itu masih dua tahun usianya. Belum seberapa paham dengan yang dinamakan kasih sayang. Ah, sudahlah kenapa aku jadi berpikir yang macam-macam lagi. Tersentak akan lamunan ketika Mondy dan Rey yang berebut keluar dari dalam kamar menabrak tubuhku yang masih berdiri di samping pintu. Keduanya begitu senang karena ingin bertemu ayah mereka. Kuhela napas berat melihat antusiasnya mereka yang ingin menemui ayahnya. 'Maafkan Bunda, Nak.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD