Hari ini baru di pukul satu siang aku bisa singgah di kedai. Sejak pagi disibukkan dengan rutinitas sebagai seorang ibu. Mengantar anak-anak sekolah, memasak, mencuci, sampai membersihkan rumah. Lelah sekali rasanya. Namun, mau bagaimana lagi karena aku nggak bisa istirahat barang sebentar saja. Anak-anak harus dijemput dari sekolahnya barulah aku mengunjungi kedai dengan membawa ketiga anakku.
Mondy dan Iyan sudah berlarian masuk lebih dulu. Keduanya sangat senang sekali jika aku ajak ke tempat usahaku ini. Sementara Rey masih dengan santainya berjalan di sampingku.
"Bunda lama nggak di sini?"
"Enggak. Hanya mengecek barang dan laporan keuangan. Kenapa?"
"Habis ini aku mau nonton."
"Sama siapa?" tanyaku penasaran. Aku tidak pernah melarang Rey bergaul. Tapi sebagai seorang ibu yang bertanggung jawab penuh atas dirinya, harus kupastikan jika pergaulan Rey yang sudah remaja tidak sampai lepas kendali. Komunitas pertemanannya pun harus aku awasi jika tidak ingin kecolongan nanti.
"Teman, Bun."
"Naik apa?"
"Motor."
"Hati-hati kalau pakai motor. Kamu belum ada SIM. Apa mau Bunda antar saja?"
"Nggak."
"Atau naik ojek?"
"Aku nggak pergi ke mana-mana, Bun. Hanya nonton habis itu pulang. Nanti lewat jalan dalam."
Aku terpaksa mengalah dan mengiyakan permintaannya.
Rey menghampiri kedua adiknya dan ikut makan bersama Mondy dan Iyan. Sementara aku tinggal sebentar untuk cek laporan. Tidak lama karena kurang dari tiga puluh menit kemudian aku sudah selesai dan berniat membawa anak-anak pulang. Mereka membutuhkan istirahat setelah setengah hari menghabiskan waktunya di sekolah.
"Kalian sudah selesai belum makannya?"
Kulirik pada piring yang telah kosong isinya karena tadi pun mereka hanya makan waffle dan ice cream saja.
"Sudah. Kita mau pulang sekarang, Bun? Nanti saja sebentar lagi." Iyan merajuk.
"Kak Rey ada kegiatan setelah ini. Kasihan nanti ditungguin temannya." Kucoba memberikan pengertian pada Iyan yang pada akhirnya mereka nurut saja.
"Ya udah. Ayo pulang!"
Kugandeng lengan Mondy dengan tangan kiri. Dan kurangkul bahu Iyan dengan tangan kanan. Rey masih betah mengekori kami di belakang.
Langkah kakiku terhenti. Sosok bocah manis yang masih mengenakan seragam sekolahnya turun dari dalam mobil. Kali ini aku tidak melihat keberadaan Pak Surya. Melainkan seorang wanita muda yang sedang bersama Cahaya.
Gadis itu menyadari keberadaanku. Lantas berlari kecil menghampiriku. "Mami!"
"Cahaya."
"Mami mau ke mana?"
"Mami mau pulang Aya."
"Kok pulang?"
"Iya. Mami harus mengantar anak-anak Mami pulang."
Mata kecil Cahaya menelisik satu per satu anakku yang juga tengah memperhatikan gadis itu.
"Ini anak-anak mami semua?"
Kepala ini mengangguk. "Iya. Kenalkan ini Kak Iyan, Adek Mondy sama Kak Rey."
Siapa sangka jika Cahaya justru antusias sekali berkenalan dengan anak-anakku. Gadis itu melambaikan tangannya sembari mengenalkan diri. "Hai, aku Cahaya."
Senyumku luntur tatkala wanita yang tadi bersama Cahaya sudah mendekat dan meraih tangan Cahaya. "Aya, kamu ngapain?"
"Tante kenalkan. Ini Maminya Aya."
Ucapan Cahaya mengejutkan wanita itu sampai-sampai kepalanya langsung mendongak menatapku. Sungguh, tatapannya itu sangat tidak enak dipandang mata. Buru-buru aku meralat omongan Cahaya tadi.
"Maaf, saya adalah pemilik kedai langganannya Aya. Silahkan masuk dan maaf saya harus pergi. Aya sampai ketemu lagi ya?"
"Mami beneran mau pulang?"
"Iya."
"Yah, nggak seru. Padahal aku mau Mami temenin aku."
"Kapan-kapan ya jika mami nggak sibuk."
"Baiklah. Dadah mami!" Gadis itu melambaikan tangannya. Sebelum pergi aku menganggukkan kepala pada wanita tadi. Lalu aku pun menjauh menuju mobil menyusul anak-anak yang sudah mendahuluiku.
Masih dapat aku dengar Aya yang berkata pada wanita yang dipanggil dengan sebutan Tante.
"Tante lihat sendiri kan maminya Aya memang ada. Cantik lagi seperti Aya."
"Jangan mimpi kamu Aya. Sudah ah buruan masuk lalu pulang. Tante capek!"
Mendengar nada bicara kasar wanita itu membuatku penasaran. Kutolehkan kepala ke belakang yang hanya bisa melihat punggungnya saja. Sebenarnya siapa wanita tadi? Judes begitu sama Cahaya.
"Bunda, ayo buruan!" teriak Rey menyadarkan aku akan tanya soalan Cahaya.
Gegas masuk ke dalam mobil. Duduk berdampingan dengan Rey. Sementara Iyan dan Mondy duduk di bangku belakang.
"Itu tadi anak yang jadi langganan kedai kan, Bun?" Rey bertanya ketika mobil yang aku kendarai mulai melaju di jalanan.
"Iya. Kan Bunda sudah bilang jika Cahaya hampir setiap hari datang ke kedai. Kamu sih nggak percaya sama Bunda."
"Tumben nggak sama papinya."
Aku menolehkan kepala menatap penuh tanya pada putraku. "Rey! Jangan mulai, deh! Awas saja jika kamu tetap menuduh Bunda pacaran sama papinya Cahaya."
"Habisnya si Cahaya itu selalu saja manggil Bunda dengan sebutan mami. Jangan salahkan otakku yang berpikir kejauhan, Bun."
Sepertinya memang aku harus menjelaskan padanya agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Rey! Cahaya memanggil Bunda dengan sebutan mami karena ada alasannya."
"Apa? Bukan karena Cahaya mau Bunda jadi maminya? Berpasangan dengan papinya?"
"Lah, dari mana dapat pemikiran begitu?"
"Ya aku pikir jika Cahaya punya mami, nggak mungkin lah gadis kecil itu memanggil begitu. Kecuali jika papinya Cahaya tidak punya istri lalu menjalin hubungan dengan Bunda. Makanya Cahaya menganggap Bunda itu maminya."
"Astaga, Rey! Bukan seperti itu ceritanya. Memang benar Cahaya itu sudah tak lagi punya mama. Karena maminya Cahaya sudah meninggal. Dan kenapa Cahaya bisa manggil Bunda itu Mami, semua disebabkan karena wajah maminya Cahaya mirip Bunda."
"Oh, ya?" Rey seolah tak percaya dengan penjelasanku.
"Bunda juga belum pernah lihat foto maminya Cahaya. Jadi nggak tahu juga benar atau enggak Bunda ini mirip dengan almarhum maminya. Yang jelas anak itu lucu dan menggemaskan. Jadinya ya udah Bunda ijinin aja dia manggil dengan sebutan Mami. Kamu nggak keberatan kan jika Cahaya manggil Bunda seperti itu?"
Rey mengedikkan bahunya. "Ngapain juga harus keberatan. Kasihan juga dia nggak punya ibu. Tapi Bun. Wanita yang tadi bareng Cahaya siapa?"
"Bunda nggak tahu. Baru sekali ini bertemu karena biasanya Cahaya selalu sama papinya. Mungkin calon ibunya Cahaya yang baru."
"Cie~ yang punya saingan," godanya membuatku terkejut seketika.
"Rey! Kamu ini terus saja godain Bunda."
"Lah itu pipi Bunda sudah merah begitu."
"Rey!"
Tawa Rey pecah. Kulirik melalui kaca spion di mana Mondy dan Iyan malah sibuk memejamkan mata. Sepertinya keduanya memang capek dan ngantuk sampai tidak terganggu sedikit pun dengan obrolanku bersama Rey.
"Daripada Bunda balikan sama Ayah, mending Bunda deketin aja itu papinya Cahaya. Nggak punya istri juga, kan? Sah-sah saja jika didekati Bunda yang seorang janda."
"Memangnya kamu mau jika bundamu ini jadi janda gatal?"
"Ya nggak gitu, Bun."
"Apa kamu kasihan melihat Bunda jadi janda? Sampai-sampai nyuruh Bunda godain papinya Cahaya."
Kepala Rey menggeleng. "Ngapain harus kasihan? Lebih baik Bunda jadi janda tapi bahagia daripada tetap jadi istri Ayah tapi menderita."
Aku diam. Membungkam mulutku rapat-rapat. Rey sudah beranjak dari remaja menuju kedewasaan. Makin ke sini ia makin paham dan mau buka suara mengenai apa yang terjadi pada rumah tanggaku bersama Mas Agam. Jika dulu acapkali melihatku bertengkar dengan ayahnya, sulungku itu lebih banyak diam tak menanggapi apa-apa. Bahkan seolah-olah tidak mau ikut campur urusan kedua orang tuanya. Siapa sangka jika ternyata ia cukup paham dan memperhatikan setiap apa yang terjadi dengan hubunganku dan Mas Agam.
Sungguh aku takut jika apa yang selama ini terjadi di antara aku dengan Mas Agam, pertengkaran-pertengkaran kami, juga perselingkuhan Mas Agam, akan menjadikan Rey trauma. Semoga saja putra pertamaku ini bisa lebih bijak menyikapi kehidupan orang dewasa dan tidak menjadikannya trauma ketika kelak dia dewasa dan berumah tangga.