Satu bulan tidak terasa telah berlalu dengan tenang sebab Mas Agam tak lagi menampakkan dirinya. Tidak juga menemui anak-anaknya. Meski kadang aku merasa sedih acapkali Mondy atau Iyan menanyakan ayah mereka. Aku sendiri tidak tahu akan keberadaan Mas Agam. Jika anak-anaknya rindu, maka aku minta mereka untuk menelpon sendiri. Sungguh, aku tidak pernah ingin tahu tentangnya lagi. Hati ini seolah sudah mati.
Malam ini rasanya malas sekali. Anak-anak sudah tidur sejak pukul sembilan. Bahkan Rey yang biasanya selalu tidur paling akhir, malam ini sudah tidur lebih awal. Mungkin dia kecapekan karena beberapa hari ini dia sedang menghadapi ujian semester di sekolah.
Jadilah aku kesepian karena mata ini meski sudah lelah tak kunjung jua bisa terpejam. Mungkin karena kebiasanku yang tidur sampai tengah malam, sehingga masih jam sepuluh belum juga rasa kantuk ini menyerang. Tugas untuk menulis sebuah artikel sudah aku setorkan pada editor sejak sejam yang lalu. Sehingga aku tak lagi memiliki pendingan pekerjaan. Memiliki kerjaan sampingan seperti ini memang sangat membantuku tidak hanya dari segi ekonomi tapi juga dapat menghalau rasa sepi.
Ketika sedang kesepian seperti inilah baru akan terasa tidak enaknya menjadi seorang janda. Tidak ada teman ngobrol sebelum tidur. Tidak ada teman untuk berdiskusi seputar perkembangan anak juga diskusi tentang rumah tangga dalam segi ekonomi. Tidak ingin terlalu larut akan kesedihan yang ujung-ujungnya hanya akan membuatku banyak pikiran terutama soalan masa depan anak-anak, lebih baik aku mencari hiburan saja. Berselancar di dunia maya, membuka akun f*******: yang jarang aku gunakan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang aku kenal. Sejak dulu aku memang anti sosial. Kurang suka bergaul juga. Bosan melihat beranda f*******:, beralih pada akun t****k. Hanya men-scroll postingan yang kebanyakan adalah orang jualan. Hingga diri ini berdecak kesal ketika akun Mas Agam muncul di berandaku. Pria itu memposting kebersamaannya dengan seorang wanita. Hanya bisa beristighfar di dalam hati karena ada banyak sekali postingannya dengan beberapa perempuan berbeda yang aku tak tahu siapa. Mungkin pacar-pacarnya. Entahlah, Aku pun tak pernah bertanya apakah dia sudah menikah lagi atau belum. Tidak ingin dia mengira jika aku terlalu sok ingin tahu akan hidupnya. Lekas aku tutup aplikasi t****k tersebut. Mood-ku langsung anjlok antara kesal dan tidak tahu kenapa aku sungguh merasa tidak suka melihat dia begitu mudah mengumbar kelakuan buruknya di sosial media. Bagaimana jika sampai anak-anaknya melihat itu semua. Akan seperti apa jadinya teruma Rey. Anak remajaku yang sekarang suka berkomentar ini dan itu. Oh, Tuhan. Ingin menegur tapi itu semua bukan urusanku lagi.
Baiklah. Aku pura-pura untuk tidak peduli saja. Berharap agar Rey atau bahkan Iyan tidak pernah melihat apapun postingan ayahnya di sosial media.
***
Tanggal satu di awal bulan, tiba juga. Biasanya di awal bulan seperti ini aku selalu semangat menyambut hari. Namun, karena mengingat Mas Agam dan perempuan seksi yang diunggah pada media sosial miliknya semalam, membuat suasana hariku sangat keruh seketika. Untung saja semua kekesalanku hari ini terbayar sudah ketika melihat notifikasi yang muncul pada sebuah akun yang biasa aku gunakan untuk mencari pekerjaan secara freelance.
Mata ini membulat melihat deretan angka yang tertera di layar ponsel milikku. Tak dapat aku sembunyikan rasa haru serta bahagia ketika honor menulisku pada sebuah penerbit Internasional yang berpusat di Singapura, telah muncul pada kolom income. Nominalnya sangat lumayan. Hasil kerja kerasku menulis artikel, cerita pendek, cerita bersambung juga cerita terjemahan. Pekerjaan remote yang bisa aku kerjakan di mana saja dan kapan saja.
"Alhamdulillah," ucapku penuh rasa syukur mendekap ponsel dalam dadaa. Dua ribu lima ratus dolar. Nilai yang cukup fantastis bagiku. Ini bukan kali pertama aku mendapat honor besar. Akan tetapi dari sekian banyak honor yang aku dapat, saat inilah yang nilainya paling tinggi. Iya, baru kali ini gajiku menyentuh angka lebih dari dua ribu dolar yang jika dirupiahkan ada puluhan juta nilainya.
Uang sebanyak itu, sebagian akan aku tabung nanti untuk jaga-jaga biaya pendidikan anak-anak. Siapa lagi yang akan memikirkan masa depan mereka kecuali aku. Karena ayahnya pun hanya perempuan yang dipikirkan.
Meski uang gaji belum masuk rekening, rasa bahagia tak mampu aku sembunyikan. Semangatku membumbung tinggi. Mengenai Mas Agam dan wanitanya sudah aku lupakan. Memilih untuk segera bersiap-siap pergi ke kedai dan menjemput anak-anak di sekolah.
***
Siang harinya, aku pergi ke rumah ibu setelah menjemput anak-anak di sekolah. Aku ingin menitipkan anak-anak seperti biasa. Kebetulan sekali aku bertemu dengan bapak yang siang ini belum berangkat ke sawah. Iya, bapakku memang seorang petani sementara ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa. Keluargaku memang bukan orang berada, akan tetapi kami berkecukupan dalam segi ekonomi. Prinsip bapak adalah jangan sampai berhutang sehingga hidup terasa lebih tenang dan nyaman.
"Pak, belum berangkat?"
"Habis ini. Badan bapak sedang meriang."
"Istirahat, Pak. Jangan diforsir. Badan tua itu pasti tidak sekuat saat masih muda." Nasehatku pada bapak agar beliau tidak bekerja keras begitu.
Bisa dikatakan untuk saat ini bapak tak lagi banyak tanggungan. Kecuali satu, menikahkan adikku. Adik satu-satunya yang aku punya. Baru lulus kuliah sekitar satu tahun yang lalu dan saat ini sudah bekerja.
"Iya. Nanti bapak juga cepet pulang, kok."
"Ya sudah. Aku berangkat ke kedai dulu, Pak. Titip anak-anak."
Aku pamit lalu mencium punggung tangan bapak yang sudah keriput. Namun, belum juga aku beranjak pergi, bapak kembali memanggil.
"Tari!"
"Iya ada, Pak?"
"Eum, itu. Apa kamu punya uang simpanan?"
Pertanyaan bapak membuat kening ini mengernyit. "Uang simpanan? Untuk apa, Pak? Bapak sedang butuh uang?"
Kepala bapak menggeleng. "Bukan untuk bapak."
"Lalu?"
"Tanah depan itu dijual. Siapa tahu saja kamu berminat membelinya jika punya uang simpanan."
Aku menunjuk pada tanah kosong yang ada di depan rumah bapak. Hanya terhalang oleh jalan raya. Tanah yang dulunya digunakan untuk bengkel. Akan tetapi sejak setahun yang lalu sudah dikosongkan. Dengar-dengar pemilik tanah tak lagi menyewakan pada si pemilik bengkel. Entah aku tak paham akan permasalahan yang terjadi di antara pemilik tanah dengan si penyewa. "Bekas bengkel itu, Pak?" tanyaku memastikan.
"Iya. Orangnya butuh duit untuk berobat."
Sebenarnya aku berminat sekali membelinya. Selain lokasinya yang strategis, juga dekat dengan rumah kedua orangtuaku. Hanya saja aku tidak yakin apakah uangku cukup atau tidak jika ingin membelinya. Secara, harga tanah itu tidak murah apalagi lokasinya di pinggir jalan raya.
"Memangnya dijual berapa, Pak?"
Bapak menyebutkan sebuah nominal yang hanya membuatku menelan ludah kasar. Jika sebanyak itu aku nggak punya uangnya. Bahkan tabunganku saja paling hanya seperempatnya saja dari total harga tanah yang dijual.
"Jika sebanyak itu, aku tidak punya, Pak."
"Punyamu berapa? Siapa tahu saja bapak bisa bantu mengusahakan. Sayang sekali jika tanah itu jatuh pada orang lain karena menurut bapak harga segitu tidak mahal. Karena lokasinya strategis. Kalau kamu yang beli, bapak akan tenang setidaknya nanti kamu bisa membangun rumah dan tinggal dekat dengan bapak ibu. Lagipula rumah di pinggir jalan itu banyak untungnya. Anakmu laki-laki semua. Siapa tahu nanti salah satu dari mereka bisa menjalankan usaha seperti bengkel atau sejenisnya."
Aku diam mencoba memikirkan semua perkataan bapak.
"Tari, jika kelak kamu mau buka toko pun juga bisa. Rumah pinggir jalan besar itu bisa dimanfaatkan untuk apa saja," jelas bapak kemudian.
"Coba Pak nanti aku pikirkan lagi."
"Iya. Tapi berpikirnya jangan lama-lama. Keburu diambil orang. Bapak dengar selentingan kabar, Pak Minto butuh uang cepat. Jadi kemungkinan besar tanah itu akan diberikan pada pembeli tercepat."
Aku menganggukkan kepalaku. Meski aku berminat, tapi belum berani ambil keputusan singkat. Soalan uang memang harus banyak perhitungan. Agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.