13. Tanggapan Rey

1023 Words
"Rey, ish! Dia bukan teman apalagi pacar. Pak Surya dan Cahaya itu pembeli tetap di kedai. Hampir setiap hari mereka datang." "Tapi kalian tampak akrab sekali." "Ya wajar jika akrab. Wong hampir setiap hari bertemu. Apalagi Cahaya itu lucu sekali. Selama ini Bunda kan nggak punya anak cewek. Jadi begitu ada anak perempuan yang menjadi langganan di kedai, ya Bunda senang dong. Jadilah kami akrab." "Yakin hanya akrab doang sama Cahaya? Dengan papinya?" Aku menyipitkan mata menoleh dan menatap putraku yang jadi posesif begitu. Sejak kapan Rey jadi banyak memperhatikanku. "Rey! Kamu kenapa sih curigaan begitu sama Bunda. Mereka itu memang cuma pembeli tetap kedai. Lagipula Bunda nggak ada niat pacaran. Dalam hidup Bunda, hanya kalian yang menjadi prioritas." Hening untuk sejenak hingga kemudian aku dengar Rey berkata lirih. "Aku nggak masalah jika Bunda punya pacar. Apalagi melihat Om yang tadi sepertinya memang orang baik. Bunda berhak bahagia." Sontak aku menolehkan kepala ke samping. Menatap sendu pada putraku. "Untuk saat ini Bunda hanya butuh kalian. Bukan butuh pacar." "Tapi Bunda juga butuh pasangan agar Bunda tidak berjuang membesarkan kami sendirian." Tanganku terulur menyentuh tangannya dengan mata berkaca-kaca. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibirku. Memilih fokus pada jalanan meski dengan pikiran yang berkecamuk tidak karuan. Sampai di rumah Ibu, helaan napas berat aku keluarkan melalui mulut melihat sebuah mobil yang terparkir di halaman. Itu adalah mobil Mas Agam. Untuk apa lelaki itu ada di sini? Pikirku. Ya memang bukan hal yang tak biasa jika aku melihat Mas Agam ada di rumah kedua orangtuaku. Dengan alasan mencari anak-anak lah pria itu ada di sini. Hubungan Mas Agam dengan kedua orang tuaku juga biasa saja. Benar saja ketika aku memasuki rumah, tampak olehku jika Mas Agam sedang makan dengan menyuapi Mondy. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam Bunda sudah datang?" Mondy dengan mulut penuh makanan menjawab salamku. "Iya. Mondy lagi makan?" "Iya. Dibelikan ayam goreng sama Ayah." Cih, aku mencibir dalam hati. Kemarin saja anak-anak dibiarkan kelaparan. Sementara hari ini pria itu datang dengan dalih membawa makanan. Aku tak menghiraukan keberadaannya bahkan menyapanya saja tidak mau aku lakukan. Tubuh ini sangat lelah hingga memaksa kakiku untuk melangkah masuk ke dalam. Sementara Rey, putraku itu langsung masuk ke dalam kamar. Menggoda Iyan yang sedang bermain ponsel. Suara gaduh keduanya langsung terdengar di telinga ketika aku melewati depan kamar. Hanya mengintip sebentar melihat kelakuan keduanya. Kepala hanya geleng-geleng saja karena Iyan dan Rey sudah saling memiting di atas kasur. Kucari ibu yang ternyata ada di dapur. "Lagi apa, Bu?" tanyaku lalu mendekat dan mencium punggung tangan beliau. "Ngangetin sayur. Kamu kok baru pulang?" "Iya. Kedai ramai sekali." "Rey mana?" "Itu di kamar gelut sama Iyan." Ibu tak menyahut lagi karena sudah hafal betul dengan tingkah laku ketiga cucunya yang acapkali bertemu pasti ribut dan berantem kerjaannya. "Ibu masak apa? Aku lapar dari tadi belum makan." "Sayur lodeh. Mau ibu gorengin tempe?" Aku mengangguk mantap. "Mau," jawabku antusias. Apapun masakan ibu, selalu membangkitkan nafsu makanku. Meski pun hanya tempe goreng hangat, akan terasa lezat di lidahku. Sembari menunggu ibu, aku putuskan untuk mandi saja. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, aku ingat akan keberadaan Mas Agam. Tubuhku kembali berbalik agar bisa bertanya pada ibu. "Bu, Mas Agam sejak kapan datang?" "Belum lama. Setengah jam yang lalu mungkin." "Oh, apa dia tadi ada bertanya sesuatu pada ibu? Pinjam uang misalnya?" Bukan tanpa sebab aku bertanya. Karena ada beberapa kali Mas Agam juga pernah meminjam uang dari ibu. Meski pun Mas Agam pasti akan membayar jika berhutang pada ibuku, tetap saja aku tidak akan membiarkan Mas Agam suka semaunya begitu meminjam uang pada orangtuaku di saat status kami hanyalah mantan. "Enggak. Agam nggak ngomong apa-apa. Datang langsung nyari anak-anak. Diajak keluar beli makanan." "Hanya sama Mondy saja keluarnya tadi apa Iyan juga ikut? Kok Iyan nggak ikutan makan." "Iyan masih kenyang. Tadi barusan makan." "Oh." Aku hendak melangkah masuk ke kamar mandi ketika ganti ibu yang bertanya dan sukses menghentikan langkah kaki ini. "Memangnya Agam sering pinjam uang padamu?" "Sering dan nggak pernah aku kasih. Ibu juga. Kalau dia pinjam uang jangan diberikan." "Lagian Agam itu uangnya buat apa? Kalau ibu perhatikan kok selalu saja butuh uang." "Aku nggak tahu, Bu." Tak mau lagi membahas tentang pria itu karena takut kedengaran orangnya, aku lekas masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan tubuh ini yang lelah karena mencari nafkah sepanjang hari. Begitu aku selesai, tak lagi aku jumpai keberadaan laki-laki yang merupakan mantan suamiku di rumah ini. Bahkan Mondy juga sudah bergabung dengan dua kakaknya di dalam kamar. "Ayah mana, Dek?" tanyaku. "Sudah pulang," jawab Mondy cepat. "Oh." Heran. Secepat itu dia pergi. Lalu untuk apa dia datang. Hanya untuk cari muka dengan memberikan makanan? "Bu!" Wanita yang telah melahirkanku itu menoleh. "Ada apa?" "Pokoknya jika Mas Agam datang lagi dan cari pinjaman uang ... jangan dikasih. Bapak juga tolong diwanti-wanti." "Iya. Lagian ibu juga nggak ada uang." Aku masih tidak bisa tenang selama mantan suamiku itu berkeliaran di sekitarku dan keluargaku. Pria itu sangat licin. Pandai sekali bermain kata dan rayuan hingga telah banyak korban yang berhasil dia bawa lari uangnya. Kugelengkan kepala ini tak mau mengingat-ingat masa lalu. Kenangan kelam sampai hasil jerih payahku selama bertahun-tahun habis, perkara pria yang dulu pernah aku cintai dan memberikan aku tiga orang putra itu telah menghancurkanku. Daripada sibuk mengenang rasa sakit hati yang pernah aku rasakan, lebih baik aku makan saja. Sayangnya ibu seolah tahu kegundahanku. "Ri, kamu yang hati-hati menjaga anak-anak. Jangan lengah apalagi sampai kebujuk sama Agam. Ibu lihat kamu sekarang lebih bahagia. Hidup nyaman tidak kekurangan setelah bercerai. Takutnya, Agam akan berusaha mendekatimu lagi. Sungguh ibu nggak rela jika anak ibu terus dimanfaatkan." "Ibu tenang saja. Aku sudah nggak akan pedulikan Mas Agam. Biar saja dia mau ngapain. Yang penting aku tidak akan menanggapi meski pun akhir-akhir ini sepertinya dia mulai mencoba mendekat pada anak-anak." "Itulah, Ri. Apa ndak sebaiknya kamu dan anak-anak tinggal di sini saja biar si Agam tidak mengganggumu." "Jika mengganggu sebenarnya enggak, Bu. Hanya saja dia itu suka banget pinjam-pinjam uang. Padahal aku tidak pernah kasih loh. Heran. Orang kok urat malunya sudah nggak ada begitu," gerutuku. Dan yang lebih mengherankan adalah ketika aku pernah bucin padanya. Oh, Tuhan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD