Tak ayal, Aya pun menurut. Sebelum turun dari gendongan papinya gadis kecil itu berucap padaku, "Mami, nanti kita ngobrol ya? Aya rindu sekali sama Mami."
Pak Surya yang sangat paham kesibukanku, menjawab pertanyaan Aya yang sebenarnya ditujukan untukku. "Aya, Mami Tari sedang sibuk. Pembelinya banyak. Kita makan berdua saja."
Gadis kecil itu semakin mengerucutkan bibirnya dengan mata berkaca-kaca. Aku yang melihatnya tentu tidak tega. "Aya, ayo mami temani."
Aku pun beranjak dari duduk. Mendekat pada Rey dan mengatakan sesuatu padanya. "Bunda ke sana dulu sebentar."
Sulungku itu mengangguk. Kembali terpusat pada Pak Surya yang mengangsurkan lembaran uang seratus ribu padanya. Rey pun fokus dengan tugasnya sementara aku yang keluar dari bilik counter menghampiri Cahaya. "Ayo kita duduk di sana!" tunjukku pada meja yang masih kosong.
Dengan riang gembira, Cahaya menggandeng tanganku. Kami duduk saling berdampingan menunggu Pak Surya yang masih bertransaksi dengan Rey.
"Mami, Aya rindu sama mami."
"Baru dua hari tidak bertemu, masak sudah rindu?"
"Iya. Beneran. Mami tambah cantik saja."
Aku tertawa mendengar pujiannya. "Ah, makasih, Aya. Aya juga tambah cantik. Kata papi, Aya di rumah Nenek?"
Kepala gadis berambut kucir kuda itu mengangguk. "Aya nggak betah tinggal di rumah Nenek. Makanya Aya minta pulang."
"Loh, kenapa memangnya?"
"Pokoknya di sana nggak enak. Nenek cerewet sekali."
"Aya tidak boleh berkata seperti itu. Pasti Nenek Aya itu orang yang baik. Bukan cerewet, tapi mungkin hanya bermaksud memberitahu Aya saja."
Gadis itu mencebik tidak suka. Untung saja suara deheman dari lelaki yang kini ikut bergabung bersama kami, menghentikan ocehan Aya mengenai neneknya.
"Tari, maaf ya sudah merepotkan."
"Oh, nggak pa-pa, Pak Surya. Nggak merepotkan sama sekali."
Pria itu tersenyum, "Terima kasih banyak."
"Sama-sama."
Tak lama pesanan Aya dan Pak Surya datang dengan diantar oleh Udin, salah satu karyawanku. "Terima kasih ya, Udin."
"Iya. Sama-sama, Bu. Saya permisi ke belakang dulu." Udin membungkukkan badannya sebelum berlalu pergi meninggalkan meja.
"Silahkan dinikmati."
Aya langsung menyesap es boba miliknya. Begitu juga dengan Pak Surya yang mengangkat cangkir kopinya.
Perhatianku masih berpusat pada Cahaya. "Enak nggak?" tanyaku dan gadis itu manggut-manggut.
"Enak. Segar sekali. Aku ketagihan dengan es boba dan ice cream strawberry."
Aku tertawa untuk kesekian kalinya melihat tingkah menggemaskan Cahaya.
"Oh, ya Tari. Mobilnya bagaimana? Sudah selesai diperbaiki atau belum?" Pertanyaan Pak Surya menolehkan kepalaku pada pria itu.
"Oh, sudah Pak Surya. Kemarin saya ambil dari bengkel.
"Syukurlah. Jika kamu membutuhkan bantuan jangan segan menghubungi. Sudah kamu simpan kan nomor teleponku?"
Aku memaksakan senyuman. Jujur, aku sudah melupakan kartu nama yang dia berikan waktu itu. Bahkan aku juga belum sempat menyimpan nomor ponselnya. Seingatku, kartu nama Pak Surya aku masukkan ke dalam tas. Setelahnya, aku sudah tidak ingat lagi akan keberadaannya.
"I-iya, Pak. Sudah," jawabku kikuk takut jika ketahuan berbohong olehnya.
"Baiklah. Bisa saya minta tolong?"
"Apa ya, Pak?"
"Tolong telepon saya?"
"Hah?" Aku nggak paham dengan permintaannya. Pak Surya meminta padaku untuk menelpon. "Untuk apa ya, Pak?"
"Saya belum punya nomor telepon Tari," ucapnya dengan wajah memerah. Entahlah apakah dia malu setelah mengatakan itu.
Aku mengulum senyuman. "Maaf, Pak Surya tapi saya tidak bawa ponsel. Ada di laci," jawabku melirik pada meja counter. Rupa-rupanya Rey tengah mengawasiku. Anak itu menatapku tajam membuat ludah ini susah untuk aku telan.
Pasti Rey masih bertanya-tanya karena sejak tadi aku masih belum menjawabnya.
"Kalau begitu biar saya simpan langsung saja. Berapa nomor telepon Tari?"
Tanya yang kemudian mengalihkan perhatianku dari Rey pada Pak Surya. Sebenarnya aku enggan memberikan nomor ponsel pada sembarangan orang. Namun, aku tidak punya alasan menolak keinginan Pak Surya yang sudah siap mencatat nomor ponselku. Hingga akhirnya aku pun mendikte nomor demi nomor padanya. Senyuman di bibirnya nampak olehku. Buru-buru aku buang pandangan ketika Pak Surya mendongakkan kepalanya. "Sudah. Terima kasih, Tari."
"Sama-sama. Eum ... Cahaya, Pak Surya. Maaf sepertinya saya tidak bisa berlama-lama di sini. Pembeli mulai berdatangan lagi. Kasihan putra saya jaga kasir sendirian."
"Putra?" tanya Pak Surya yang langsung menolehkan kepala pada keberadaan Rey yang sedang melayani pembeli. "Itu putramu?"
"Iya, Pak."
"Sudah besar, ya?"
"Lima belas tahun. Kelas tiga SMP."
"Wow! Aku nggak nyangka jika kamu yang semuda ini sudah memiliki anak remaja. Baiklah Tari. Mungkin lain waktu kita bisa ngobrol lagi."
Untung saja Cahaya tidak rewel dan tidak menahanku sehingga aku bisa kembali membantu Rey.
•••
Menjelang sore pembeli mulai berkurang jumlahnya. Beberapa karyawan sedang membersihkan serta menata meja yang sudah kosong. Sementara aku masih sibuk di meja kasir menatap deretan angka yang tertera di layar komputer. Menghitung penjualan selama satu shift hari ini sebelum nanti sekitar sepuluh menit lagi akan ada pergantian shift. Aku ingin pulang karena rasanya tubuh ini sudah sangat lelah. Biar karyawan yang dapat jadwal shift sore lah yang menghandel semuanya.
Lega. Hasil penjualan telah sesuai antara data dengan uang yang diterima. Jika begini aku bisa tenang serah terima pada kasir selanjutnya dan segera pulang merebahkan badan.
Rey tengah sibuk dengan ponsel dan menyesap milkshake, duduk di salah satu meja kosong. Aku berdiri menghampirinya setelah serah terima laporan penjualan pada salah satu karyawanku.
"Rey!"
Sulungku itu mendongak. "Sudah, Bun?" tanyanya seolah tahu bahwa pekerjaanku hari ini sudah beres.
"Sudah. Ayo pulang!" Ajakku. Ia pun menurut. Beranjak berdiri mengikutiku yang keluar kedai.
Sempat berpamitan pada karyawan yang aku temui agar mereka tidak mencari lalu masuk ke dalam mobil. Sebelum pulang ke rumah kontrakan, lebih dulu aku harus menjemput Iyan dan Mondy di rumah neneknya.
"Kita ke rumah Nenek dulu jemput adik-adik," ucapku begitu menjalankan mobil meninggalkan area kedai.
"Iya."
Keheningan tercipta karena aku lebih fokus pada jalanan. Sementara Rey masih berkutat dengan ponsel. Entah sedang bermain game atau apa. Aku tidak begitu perhatian.
"Bun!" Tiba-tiba dia memanggil.
"Hem. Apa?"
"Yang tadi itu siapa? Bunda belum menjawab pertanyaanku."
"Tadi? Siapa?"
"Bunda ini ditanya malah balik bertanya."
"Ya habisnya kamu bertanya nggak jelas gitu."
"Itu tadi bocah perempuan sama laki-laki. Yang tadi manggil Bunda dengan sebutan Mami."
Aku baru ingat jika sejak tadi Rey memang ingin tahu. "Oh, yang tadi namanya Cahaya. Anaknya Pak Surya."
"Temen Bunda? Atau ... pacar Bunda?"
Sungguh, aku terkejut mendengarnya. Bisa-bisanya Rey memiliki pemikiran demikian. Yah, aku memang harus bisa menerima jika putraku ini sudah remaja. Jadi bukan hal yang tabu lagi jika membicarakan soalan pacar.