11. Tanda Tanya Rey

1057 Words
Weekend pun tiba. Tidak ada istilah libur kerja bagi seorang pedagang sepertiku. Karena justru di hari Sabtu dan Minggu, kedai akan lebih ramai dipenuhi oleh pengunjung. Makin ramai kedai, secara otomatis kerjaanku pun bertambah. Tidak hanya bertugas untuk belanja barang dan bahan mentah saja, tapi aku juga selalu ikut turun langsung membantu para karyawan yang berjumlah kurang dari sepuluh orang. Pukul lima pagi aku sudah harus pergi ke pasar agar mendapatkan barang-barang kualitas baik untuk bahan-bahan makanan yang aku butuhkan. Mondy yang memang tidak mungkin aku tinggalkan di rumah, karena setiap kali bangun tidur maka putra terakhirku ini pasti akan merengek mencari bundanya. Jadilah terpaksa aku bawa dia ikut berbelanja. Bukannya merengek tidak suka, yang ada putraku itu sangat antusias sekali jika aku mengajaknya ke pasar. Entahlah kenapa dia begitu riang gembira ketika berjalan menyusuri lorong demi lorong yang dipenuhi oleh penjual dan pembeli. "Bunda, sini aku bantuin bawa," ucapnya dengan senyuman, mengulurkan tangan meminta kantong belanjaan di tanganku. Kuusap kepalanya dengan sayang. "Tidak usah. Biar Bunda saja yang bawa sendiri. Nanti tanganmu sakit karena berat." Ia pun mengangguk mengerti dan hanya menggandeng satu tanganku yang bebas dari barang bawaan. Setelah mendapatkan apa yang aku inginkan seperti daging ayam, telor, sayur dan aneka buah segar, kuputuskan untuk melipir sebentar ke warung nasi yang menjual sarapan. Sepertinya pagi ini aku memang tidak akan sempat memasak karena harus segera datang ke kedai. Mengingat ini adalah hari minggu, biasanya kedai sudah mulai ramai sejak pagi. Takutnya kehabisan bahan baku jika aku tidak segera datang. Usai dengan semua yang aku beli, gegas menuju rumah mendapati Rey dan Iyan sudah bangun dari tidur sedang merebahkan badan di atas kasur lantai dengan televisi yang menyala. Melihat kedatanganku, sigap Rey membantu. Membawakan barang yang aku beli untuk kebutuhan rumah. Sedangkan yang aku butuhkan untuk kedai, aku biarkan saja tetap berada di dalam bagasi mobil. "Sudah pada mandi belum?" tanyaku melihat anak-anak yang masih bermalas-malasan. "Belum. Masih malas," jawab Rey. "Buruan mandi. Habis itu kita sarapan. Hari ini Iyan dan Mondy Bunda titipkan di rumah Nenek, ya? Bunda harus ke kedai pagi-pagi. Barang-barang di kedai sudah pada habis." "Aku ikut Bunda ke Kedai, boleh?" tanya Iyan dengan raut wajah memohon. "Aku juga ikut!" teriak Mondy ikut-ikutan. "Nggak boleh. Kalian di rumah Nenek saja. Bunda akan sibuk di kedai nanti. Jika kalian ikut nanti pasti capek karena Bunda akan pulang sore." Keduanya langsung manyun. "Kenapa aku nggak boleh ikut? Tapi Kak Rey boleh." Protes Iyan yang memang tahu jika kakaknya seringkali ikut aku ke kedai. Tentu saja untuk membantuku. Terkadang jika ada karyawan yang libur dan kondisi kedai sedang ramai, maka Rey yang akan turun tangan membantuku. Putraku yang sudah beranjak remaja, sudah bisa aku andalkan. Namun, bukan berarti aku memanfaatkan dia. Tidak sama sekali. Tugas mencari uang tetap aku dan tugas Rey yang utama adalah belajar. Meski pun demikian aku tetap mengajarkan padanya bagaimana susahnya mencari uang. Berusaha untuk mandiri agar kelak tidak terkejut ketika dia memasuki dunia kerja. Waktu Rey libur sekolah seperti ini, seharusnya dia gunakan untuk istirahat. Akan tetapi sesekali aku pun pasti meminta padanya untuk bantu-bantu di kedai. "Sayang, Kak Rey itu di kedai bantuin bunda jualan, loh! Bukan untuk main-main. Bunda janji kapan-kapan akan bawa Iyan dan Mondy. Tapi tidak dengan hari ini. Kalian berdua di rumah nenek dulu. Nanti sore Bunda jemput." "Iya ... iya." Terlihat wajah kecewa dari Iyan. Tapi aku berusaha mengabaikan. "Sudah sana kalian mandi. Bunda siapkan sarapannya." Ketiganya menurut untuk pergi mandi sebelum kami sarapan yang hari ini lebih siang dari biasanya. ••• Kedai memang benar-benar ramai sejak pagi. Setiap hari minggu pagi ada banyak para rombongan pesepeda yang singgah untuk sekedar melepas dahaga serta menikmati camilan untuk pengganjal perut yang lapar. Ada roti bakar, sandwich, serta omlet, menu yang aku sediakan dan menjadi jujugan mereka. Selain itu anak-anak yang datang bersama kedua orangtuanya yang memadati car freeday di alon-alon kota juga kebanyakan akan singgah untuk menikmati aneka macam racikan minuman serta ice cream, sebelum mereka pulang. Jadilah kedai ini dari pagi hingga siang hari selalu dipadati pembeli. Aku sendiri tengah sibuk berkutat dengan nota pembelian. Memilah mana yang sudah selesai pesanannya dengan yang masih mengantri. Sementara Rey yang ikut membantuku, duduk di balik meja kasir. Remaja itu tak kalah sibuknya dengan para karyawan kedai karena pembeli yang datang silih berganti. "Mami!" Teriakan melengking dari suara cempreng milik seorang bocah kecil berambut panjang diikat ekor kuda, mengejutkanku yang sedang menunduk menekuri nota-nota. Aku tersenyum mendapati keberadaan Cahaya yang memasuki kedai sembari melambaikan tangannya. Anak itu terlihat sangat ceria. Dua hari aku tidak bertemu karena Cahaya tidak datang ke kedai. Informasi terakhir yang aku dapat dari Pak Surya, Cahaya sedang ada di rumah omanya. "Dia siapa? Kenapa memanggil Bunda dengan sebutan mami?" Pertanyaan yang sukses membuatku menolehkan kepala ke samping. Kenapa aku bisa lupa jika tak jauh dari aku duduk, ada Rey yang menatapku penuh tanya. Kepalanya menoleh pada Cahaya yang makin mendekat pada meja counter pemesanan. Lalu kembali menatapku meminta jawaban. Ah, bujangku itu pasti kebingungan karena ada sosok gadis kecil yang menyebutku dengan panggilan mami. Belum juga aku menjawab apa yang menjadi pertanyaan Rey, Cahaya sudah mendekat dan berdiri di hadapanku. Tubuh kecilnya begitu saja terangkat. Pak Surya menggendong putrinya hingga kami bisa sejajar saling berhadapan. "Mami, Aya kangen mami," ucapnya girang. Pak Surya tersenyum kepadaku dan sebagai balasan sapaan aku pun menganggukkan kepalaku. "Selamat siang, Tari." "Siang Pak Surya. Halo Cahaya." "Mami aku mau pesen kentang goreng sama es boba," ucapnya kemudian. "Siap. Adalagi?" Kepala gadis itu menggeleng. "Tambah kopi." Pak Surya menimpali. "Adalagi, Pak?" "Itu saja. Nanti jika Cahaya mau nambah, kami order lagi." "Baiklah. Saya proses dulu pesanannya." Nota pembelian aku berikan pada Rey yang sesekali masih menatapku dan Pak Surya serta Cahaya secara bergantian. Nanti saja aku ceritakan padanya karena sekarang masih ada Pak Surya di depanku. "Totalnya jadi tiga puluh lima ribu," ucap Rey mengalihkan fokus Pak Surya dan lalaki itu merogoh saku celana dengan sebelah tangan sebab tangan yang satunya menahan tubuh Cahaya dalam gendongan. "Aya turun dulu. Papi mau bayar," pinta pria itu agar putrinya mau turun dari gendongannya karena aku melihat Pak Surya sedikit kesusahan membuka dompet. "Ish, papi. Aku masih ingin ngobrol dengan mami. Kalau aku turun, tinggiku nggak nyampe meja mami," rengekan protes Cahaya. Sret! Kepala Rey, putraku kembali menoleh ke arahku. Dengan gerakan kepalanya, remaja itu terus saja meminta jawaban dariku
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD