"Bisa kita bicara sebentar?" Bisik Bara.
Maya mengangguk, "ya" ucapnya.
"Oke, sekarang kita antar Rara sekolah dulu" ucap Bara.
Maya menarik nafas, "ini masih jam kerja saya, saya tidak bisa".
Bara memasukan salah satu tanganya kesaku celana, kembali menatap Maya "Atasan kamu sudah memberi ijin".
"Atasan saya? Kamu kenal atasan saya?" Maya tidak percaya.
"Iya kenal, Handoko teman saya. Tadi saya sudah meminta ijin langsung, meminjam karyawannya sebentar".
Maya nyaris tidak percaya, karena pak Handoko GM terkenal dengan kedisiplinannya. Bagaimana laki-laki itu bisa menjadi temannya. Maya terdiam, karena posisi ia dan Bara begitu dekat. Ia dapat merasakan hembusan nafas Bara dipermukaan wajahnya. Jantung Maya berdegup kencang, ketika jemari Bara mengusap pipinya.
"Mami, Lala sudah kenyang".
Suara Rara menyelamatkan hatinya. Ia akan berterima kasih kepada Rara setelah ini. Maya menglihkan tatapannya, begitu juga Bara. Maya tersenyum, manatap Rara, dibibirnya penuh dengan coklat, Maya lalu mengambil tisu.
"Sini, mami bersihin" ucap Maya, ia mendekati Rara, dan membersihkan permukaan bibir itu dengan tisu.
"Mami, Lala haus".
Maya lalu meraih cangkir coklat, hendak memberikan kepada Rara. Tapi tangan Bara lebih dulu mencegahnya.
"Jika Rara haus, itu berarti ia minum air mineral, bukan s**u coklat" ucap Bara. Bara lalu berdiri.
"Air mineralnya ada di dalam mobil".
Maya hanya diam, ia lalu menggendong tubuh Rara. Tubuh Rara memang lumayan berat, ia mengikuti langkah Bara menuju parkir depan. Bara membuka hendel pintu mobil SUV miliknya. Maya masuk dan lalu duduk memangku Rara.
"Mami, lala seneng deh, mami dan papi sudah ngantalin Lala sekolah. Besok antelin Lala lagi ya mi".
"Iya sayang".
"Hole, Lala sayang mami" lalu mengecup pipi Maya.
Bara tersenyum menatap kebersamaan Rara dan Maya, ia terlihat sangat akrab. Jarang sekali ia melihat Rara tertawa seperti itu. Mobil Bara sudah menjauhi area mall tempat Maya bekerja.
Maya mengeluarkan ponsel miliknya. Ia mulai membuka aplikasi game. "Rara mau main game".
"Mau" ucap Rara, ia menatap layar handphone milik Maya.
Bara dengan cepat mengambil handphone milik Maya, ia menyelipkan handphone disalah satu saku jasnya. Maya ingin perotes, tapi ia mengurungkan niatnya, karena Bara terlebih dahulu menjelaskan kepadanya.
"Saya tidak pernah mengajari Rara bermain game".
"Tapi, game itu baik untuk perkembangan anak".
"Saya hanya tidak mau, anak saya di otaknya kotori oleh gaget, seperti anak lainnya. Masih banyak permainan tanpa gaget, untuk melatih fisimotorik anak".
Maya tidak membantah, ia kembali diam. Habis sudah, handphone ikut tersita di tangan Bara. Maya mengelus rambut Rara. Rara masih memeluknya,
"Mami, besok kita kekebun binatang ya".
"Kebun binatang? Tunggu mami libur ya sayang, bagaimana kalau hari sabtu?".
"Masih lama ya mi, hari sabtunya".
"Tiga hari lagi sayang".
"Sebental lagi dong mi".
"Iya, tapi janji Rara tidak nakal di sekolah".
"Iya, mi Lala janji".
Bara menghentika mobilnya didepan gedung sekolah. Bara dan Maya mengantarnya hingga Rara masuk kekelasnya.
***
Bara menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan area sekolah Rara.
"Maaf sebelumnya, Rara sudah merepotkanmu" ucap Bara, memulai percakapan itu.
"Iya, tidak terlalu merepotkan sebenarnya. Rara anak yang pintar".
"Ya, Rara memang anak yang pintar. Rara menyukai kamu, menginginkan kamu menjadi Ibunya" ucap Bara. Ia kembali fokus dengan setirnya.
Maya tertawa, ia melirik Bara. "Waktu itu saya hanya untuk menyenangkan hatinya. Saya tidak tahu bahwa Rara benar-benar serius menanggapinya".
Bara mengerutkan dahi, "Jadi kamu tidak ingin menjadi ibu Rara?".
Maya menundukkan kepala, kembali melirik Bara di sampingnya. "Bukannya begitu, menjadi ibu seorang Rara butuh proses, dan saya masih terkejut loh, bahwa Rara benar benar serius seperti itu. Saya bahkan tidak mengenal kamu dan Rara. Bukankah semua wanita didunia ini sudah di takdirkan menjadi seorang ibu".
Bara menatap Maya disampingnya, sambil menunggu macet. Bara masih menerka nerka setatus Maya saat ini. "Kamu sudah menikah?" Tanya Bara.
"Belum".
"Baguslah kalau begitu" ucapnya.
Maya menarik nafas, "tapi saya sudah punya pacar, dan saya serius menjalin hubungan denganya" ucap Maya.
Maya sebenarnya tidak mengerti, kenapa ia meluncurkan kata-kata itu begitu saja. Yang pasti, ia harus menjelaskan kepada laki-laki disampingnya.
Bara mengangguk paham, wanita disampingnya memang seharusnya sudah memiliki kekasih. Bohong sekali jika tidak ada yang menyukai wanita cantik berwajah oriental seperti Maya. Mengingatkanya kepada salah satu artis Indonesia, Sandra Dewi. Ya seperti itulah sikap dan pembawaanya tenang. Laki-laki diluar sana siap mengantri menjadi kekasihnya.
"Hanya pacar, setidaknya masih ada peluang" gumam Daniel.
Maya mengerutkan dahi tidak mengerti, "maksudnya?" Tanya Maya menggantung.
"Tidak ada apa-apa. Saya juga sudah memiliki kekasih, tapi Rara tidak menyukainya" ucap Bara sekenanya.
"Benarkah? Kamu bisa mengenalkannya pelan-pelan".
"Saya sudah melakukannya, tapi tetap saja Rara tidak mau, dengan kekasih pilihan saya. Akhirnya ia bertemu denganmu, dan memilih kamu. Saya bisa apa?".
Maya tidak ingin terlibat terlalu panjang masalah pribadi Bara. Ia mengeluarkan ponselnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya jika ia tidak menannyakan ini.
"Kalau boleh tahu, ibunya Rara?".
"Ibunya Rara, meninggal ketika melahirkannya" Bara mulai melanjutkan perjalannya. Karena sudah kembali normal.
"Maaf, saya tidak tahu".
"Ya, tidak masalah. Pada akhirnya semua kembali kepadaNya".
"Ya" Maya tidak bertanya-tanya lagi.
Bara kembali melirik Maya, wanita itu masih terlihat tenang. "Kamu tidak ingin mengenal saya?".
"Mengenal kamu? Apa yang perlu saya ketahui? Sementara saya bukan jenis wanita yang suka mencari informasi orang lain" .
Bara tertawa, baru kali ini ia mengenal wanita, yang cuek dengan keberadaanya. Bara tidak menanyakan kembali.
***