7 ~ Sebuah Rahasia?

1019 Words
Alma segera mengikuti langkah Wisnu dan Revan yang sedang berjalan menuju dapur cafe tersebut. Sebenarnya, tempat itu lebih cocok disebut dengan restauran karena menyajikan makanan dan minuman yang lengkap. Tapi karena sang pemilik yang konon katanya adalah pecinta kopi, tempat itu juga menyajikan berbagai jenis kopi. Barista handal yang sudah tentu membuat cita rasa minuman berwarna pekat itu menjadi lebih nikmat dengan teknik penyajian yang tepat pun, sudah tentu ada di sana. Entah konsep apa yang diusung sang pemilik. Tapi satu hal yang pasti, menyatukan cafe dan restoran di satu tempat yang sama, membuat tempat itu tidak pernah sepi pengunjung. Bahkan cabang pun semakin menjamur di mana-mana. "Alma, ke mari!" titah Wisnu. Sang gadis pun menurut, berdiri tidak jauh dari Wisnu. Sampat tidak sengaja bersitatap dengan Revan tapi segera membuang pandangan ke arah lain. "Alma, mulai sekarang kamu akan menjadi asisten Pak Revan," ujar Wisnu. "APA? Maaf, Pak. Tapi asisten chef 'kan sudah ada," kilah Alma. "Alma ... tadi kita sudah bahas soal ini," sahut Wisnu. Gadis itu membuang napas lelah. "Iya, Pak," balasnya dengan malas. Selama Revan bicara dan memperkenalkan diri, Alma sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan. Gadis itu hanya berdiri diam. "Pak, kok Bapak gak bilang sih kalau chef barunya Pak Revan?" tanya Alma, mencondongkan tubuh ke arah Wisnu, berbisik di dekat telinga pria itu. "Saya lupa," jawab Wisnu dengan santai. "Kok bisa sih, Pak, Beliau jadi chef di sini? 'Kan sudah jadi CEO di kantor tempat saya kerja, Pak," protes Alma. "Namanya juga orang kaya, Alma. suka-suka mau apa," sahut Wisnu, ambigu, "lagi pula, ini tempat milik orang tua Pak Revan." "Kok bisa, Pak? Bukannya ini milik Pak Aditya?" "Iya. Pak Aditya itu 'kan ayahnya Pak Revan," jawab Wisnu. Alma kembali menghela napas panjang sebelum bicara. "Dunia ini terlalu sempit untuk saya, Pak. Di kantor saya ketemu Pak Revan. Di sini pun sama," keluhnya. "Baguslah. Siapa tahu kalian jodoh," sahut Wisnu asal bicara. Gadis berusia dua puluh empat tahun itu mendelik pada sang atasan. "Jangan ngarang, Pak," ujarnya. "Pak Revan itu masih jomblo, sama kayak kamu," sahut Wisnu. "Enak aja, saya itu gak jomblo, Pak," kilah Alma. "Oh ... terus apa namanya, kalau gak punya pasangan kayak kamu? Padahal hampir semua karyawati di sini sudah berkeluarga. Hanya kamu dan Shila yang belum nikah," balas Wisnu. "Sudahlah. Terserah Bapak aja," pungkas Alma, akhirnya mengalah. Malas berdebat dengan sang manager. Wisnu memang terkenal sebagai atasan yang mudah bergaul dan tidak segan bercanda dengan para karyawan yang ada di sana, membuat mereka semua nyaman selama bekerja. Wisnu tidak pernah memerintah seenaknya sebagai atasan, tapi pria itu selalu bersikap seperti seorang teman. Meski begitu, karyawan pun sangat menghormatinya. "Pak, apa gak bisa saya diganti oleh Shela aja sebagai asisten chef?" tanya Alma, setelah diam beberapa saat. "Gak bisa," jawab Wisnu, membuat Alma berpikir sejenak. "Kata Bapak tadi ada beberapa hal yang bikin kontrak terputus tanpa harus nunggu dua tahun. Apa itu?" tanya Alma lagi, tiba-tiba tertarik dengan hal itu. "Tadi kamu bilang gak mau tau karena kamu akan bekerja dengan baik." "Iya. Untuk jaga-jaga aja, Pak," kilah Alma. "Salah satunya, kamu membuat kesalahan besar sampai Pak Revan yang memecat kamu, kontrak akan otomatis batal," jawab Wisnu. Alma pun diam. 'Sungguh kontrak yang merugikan. Gak bisa ngundurin diri tapi bisa dipecat. Baiklah, untuk kali ini aku harus berubah haluan. Bekerja untuk dipecat,' batinnya. Otaknya pun kini dipenuhi rencana-rencana agar dia dipecat oleh Revan dari pekerjaannya saat ini. "Ya setidaknya biarpun dipecat dari sini, aku masih bisa kerja di kantor." Kali ini gadis itu bergumam pelan, bukan hanya membatin. "Tapi kamu tidak berencana dipecat dari sini 'kan?" tanya Revan yang tiba-tiba sudah ada di hadapan sang gadis. Alma pun terkesiap. Ia menoleh ke samping. Wisnu sudah tidak ada di sana. Teman-temannya pun sudah kembali bekerja. Tapi sesaat kemudian, ia pun sudah mampu menguasai diri. "Rencana saya sih gitu, Pak," ujarnya. "Jangan harap itu akan terjadi, Nona Alma Salsabila Khairunnisa," balas Revan, menatap sang gadis seraya menarik sebelah sudut bibir. "Kita lihat saja nanti," tanggap Alma sembari mengangkat bahu acuh, "Bapak Revan Alvaro Aditya," cibirnya kemudian berlalu meninggalkan Revan yang hanya terkekeh melihat sikap gadis itu. Ponsel pria itu berdering, layar pun menampilkan sebuah pesan. Gegas dia keluar dari pintu khusus karyawan yang terletak di samping tempat itu. Revan masuk ke dalam sebuah mobil mewah yang menunggu di tempat parkir cafe. "Mana?" tanyanya sembari menadahkan tangan pada seorang pria yang berada di dalam kendaraan roda empat itu. "Sabar, kenapa sih?" ketus pria itu sembari meletakkan sebuah map dengan kasar di tangan Revan. ''Kamu tau, Bayu? Kamu ini lelet. Nyari informasi tentang gadis biasa aja lama banget," omelnya pada pria bernama Bayu, "aku mulai meragukan kinerja anak buah kamu." "Anak buah aku tetap yang terbaik. Mereka bisa mendapatkan informasi yang sulit didapat dengan detail hanya dalam satu malam. Kamu saja yang tidak sabaran," balas Bayu, mencibir pria yang menurutnya tidak sabaran itu. "Apa maksud kamu? Alma hanya orang biasa. Informasi apa yang sulit didapat?" tanya Revan dengan dahi berkerut. "Kamu baca aja sendiri," balas Bayu, enggan menjelaskan. Revan pun mendelik sebal pada pria yang duduk di sampingnya itu, kemudian membuka map yang ada di tangan. Membaca dari atas deretan huruf yang berisi informasi tentang Alma. "Ya Tuhan ...." "Kamu yakin informasi ini akurat?" tanyanya sembari menatap Bayu. "Seratus persen," jawab Bayu dengan yakin. Revan mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. Menyandarkan punggung pada kursi seraya berpikir. "Ngomong-ngomong, kamu terlihat lebih cantik dengan baju chef kayak gini," ejek Bayu sembari tertawa. "Sialan!" maki Revan sembari memukul Bayu dengan map yang ada di tangan. "Tapi, gimana caranya kamu bisa dapat izin dari Om Aditya buat jadi chef? Dari dulu 'kan papa kamu paling gak suka kamu sibuk dengan hobi kamu ini. Kok bisa dikasih izin, di cafe punya Beliau pula," tanya Bayu. "Pakai ini, dong," jawab Revan sembari mengetuk kepala sendiri dengan jari telunjuk. "Aku yakin, kamu pakai cara gak bener buat dapat izin," tuding Bayu. "Hidup itu harus balance. Kalau papa maksa aku buat lakuin apa yang aku sendiri gak suka, ya gak salah dong kalau aku juga maksa papa buat ngizinin aku ngelakuin apa yang aku suka. Simbiosis mutualisme, Bro," balas Revan sembari tersenyum jahat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD