8 ~ Flashback

1147 Words
Setelah makan dan minum di cafe tempat kerja seorang gadis judes yang membantunya kabur dari kantor, menjelang gelap Revan pulang ke rumah menggunakan taksi. Pria itu berdecih saat tiba di halaman rumah dan mendapati dua mobil yang dia tahu pasti siapa pemiliknya. "Wah ... sepertinya di sini sedang ada kumpul keluarga," sindir Revan saat melihat tiga orang dewasa sedang berbincang di ruang tengan rumahnya. Siapa lagi kalau bukan kedua orang tuanya, Aditya dan Rania, juga Vino, sang kakak laki-laki. "Dari mana kamu? Jam segini baru pulang?" tanya Aditya. "Biasa lah, Pa ... namanya juga anak muda," jawab pemuda itu dengan santai sembari mendaratkan diri di atas kursi empuk yang ada di ruangan tersebut. ''Kamu ini udah bikin malu papa di depan semua orang, malah kelayakan," omel Aditya. "Bikin malu apa sih, Pa? Aku gak ngerasa ngelakuin hal yang bikin Papa malu," elak Revan. "Lalu tadi, itu apa namanya kalau bukan bikin papa malu? Pamit mau ke kamar mandi tapi gak balik lagi,'' kesal pria paruh baya itu. Sore tadi, selepas jam pulang kantor, Aditya menghimbau pada seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan miliknya untuk berkumpul di aula guna berpamitan pada semua orang sekaligus mengumumkan bahwa perusahaan itu akan bekerja di bawah pimpinan sang anak bungsu. Setelah acara perkenalan, Revan pamit pada sang ayah untuk ke kamar mandi. Tapi sebenarnya, pemuda itu hanya mencari alasan saja. Dia merasa bosan berada di acar itu. Alih-alih pergi ke kamar mandi, Revan justru turun ke lobby dengan meminjam pakaian serba hitam milik keamanan untuk melakukan penyamaran agar keberadaan tidak diketahui sang ayah dan yang lain. Saat itu juga dia bertemu dengan Alma, yang tidak ikut berkumpul di aula karena harus segera pergi ke cafe untuk bekerja. Dan berakhir dengan sengaja duduk berlama-lama di cafe sembari memperhatikan gerak-gerik sang gadis yang tengah sibuk bekerja. "Tapi 'kan, Pa ... yang penting aku sudah memperkenalkan diri pada semua karyawan dan karyawan pun tahu siapa aku. Untuk apa aku berlama-lama di sana? Aku bosan, Pa, harus berada di antara orang-orang serius," kilah Revan. "Tapi yang kamu lakukan itu bikin papa malu, Revan!" sahut Aditya. "Ya Tuhan, Papa ... ribet banget sih jadi Papa. Kenapa mesti malu sih? Bukannya setelah ini Papa gak berangkat lagi ke kantor? Jadi Papa gak akan ketemu sama siapa pun yang ada di kantor. Kenapa mesti malu sih?" Alih-alih meminta maaf, pemuda dua puluh lima tahun itu sama sekali tidak merasa bersalah. "Aduh!" pekik Revan tiba-tiba saat sang ibu yang sejak tadi duduk di sampingnya, menghadiahi sebuah sentilan cukup kencang di kening. "Sakit tau, Ma," protesnya. "Anak nakall kayak kamu memang harus dihukum!" sahut Rania sembari memukul lengan sang putra. "Mama ini KDRT sama anaknya. Aku laporin komnasham baru deh nangis," omel Revan sambil mendelik pada sang ibu. "Mama kutuk kamu, baru tahu rasa!" Rania pun membalas, tidak mau kalah. "lagian ya, Mama sama Papa tuh gak adil. Kenapa sih harus aku yang mengurus perusahaan? 'Kan Mama sama Papa tahu, aku tidak suka dengan pekerjaan yang serius seperti itu. Kenapa enggak Bang sama Vino aja sih?" protes Revan, melempar tanggung jawab pada sang kakak. "Heh! Kenapa jadi aku?" kesal Vino sembari melempar bantal sofa ke arah sang adik. "Aku udah ngajar di kampus. Mana mungkin aku harus memimpin perusahaan juga." "Ya berarti Abang gak perlu ngajar lagi. Abang urus aja perusahaan papa," sahut Revan. "Enggak bisa, Revan. Kakak kamu di kampus bukan hanya ngajar," bantah Aditya. "Tuh 'kan ... Papa itu pilih kasih. Bang Vino aja bisa jadi dosen sesuai dengan cita-citanya, kenapa aku gak bisa bekerja sesuai keinginan aku, Pa?'' tanya pemuda itu. "Karena keinginan kamu itu di luar usaha keluarga kita," jawab Aditya. "Di luar usaha kita apa? Aku suka masak, Papa juga punya restoran. Cocok 'kan?" balas Vino. "Iya. Tapi masalahnya, papa cuma punya dua orang anak, yaitu kamu dan kakak kamu. Vino sudah aktif di universitas dan giliran kamu yang mengurusi perusahaan papa," ujar Aditya masih bersikukuh dengan keinginannya. "Lalu? Restoran siapa yang pegang?" "Itu 'kan sudah ada orang kepercayaan papa, Revan," geram pria paruh baya itu karena sang anak selalu saja punya bantahan dari semua ucapannya. "Kalau gitu, kenapa gak aku aja yang pegang restoran? Perusahaan biarkan papa percayakan ke orang lain," bantah Revan lagi. Aditya rasanya ingin meminta sang istri untuk memasukkan kembali anak itu ke parut istrinya. "Gak bisa, Revan. Perusahaan itu induk dari semua usaha papa jadi tidak bisa papa serahkan sama orang lain," tolak ayah dua anak itu. "Terus gimana dong, Pa? Aku juga ingin menjalani apa yang aku suka, sama seperti Bang Vino," ratap Revan dengan wajah dibuat sesendu mungkin. Siapa tahu sang ayah kasihan padanya. "Ya tetap harus kamu yang pimpin. Kakak kamu sudah jadi dosen, punya pekerjaan yang bermanfaat untuk orang lain. Tidak bisa diganggu," sahut Aditya. "Terus? Apa menurut Papa masak itu tidak memanfaat buat orang lain, gitu? Memanjakan perut orang-orang Papa bilang tidak bermanfaat, gitu? Padahal orang tidak akan bisa melakukan apa pun dengan perut kosong, Papa," sanggah Revan, tetap pada pendiriannya. Aditya memijat kepala yang terasa berdenyut dengan sikap sang anak yang pemberontak dan selalu saja punya jawaban untuk melawan. Sedangkan Rania dan Vino hanya mendengarkan sembari melipat kedua tangan di depan. Menonton perdebatan panjang antara ayah dan anak itu. "Oke. Sekarang katakan apa mau kamu?" tanya Aditya, akhirnya memilih mengalah. "Papa yakin mau tahu apa yang aku mau?" Revan bertanya balik dengan senyum jahatnya. "Jangan minta yang aneh-aneh, Revan!" tegas pria itu. "Ini bukan permintaan sebenarnya. Cuma semacam kerja sama yang saling menguntungkan aja," balas Revan. "Apa maksud kamu?" "Papa mau aku mengurus perusahaan 'kan?" "Iya. Lalu?" "Biarkan aku bekerja paruh waktu setelah jam pulang kantor menjadi chef di cafe Papa, gimana?" usul Revan. "Gak bisa, Revan." Aditya menolak dengan tegas. "Ya sudah kalau gitu, aku tidak akan datang ke perusahaan dan aku juga tidak mau mengurus perusahaan Papa," putus Revan. "Lalu? Siapa yang akan mengurus perusahaan?" "Papa bisa urus sendiri atau Bang Vino yang turun tangan atau orang kepercayaan Papa, mungkin. Tapi Bukan Aku," tolak pemuda bertubuh tegap itu. "Tidak bisa, Revan. Kamu yang urus, karena kamu anak papa." "Yang bilang aku bukan anak papa juga siapa? Justru karena aku ini anak Papa, seharusnya Papa mengabulkan apa yang aku inginkan, sama seperti Papa mengabulkan keinginan Bang Vino untuk jadi dosen." "Aku cuma minta Papa ngizinin aku kerja paruh waktu di cafe sebagai chef. Menyalurkan hobi aku. Melakukan apa yang aku suka. Tapi aku tetap bisa melakukan apa yang Papa inginkan," imbuh pria itu menjelaskan panjang lebar. "Kenapa harus masak sih?" protes Aditya "Salahnya apa kalau aku suka masak? Masak sekarang bukan hanya pekerjaan perempuan. Banyak laki-laki yang bisa memasak dan jadi chef," balas Revan. Aditya diam sesaat. memikirkan dan menimbang permintaan sang anak sebelum mengambil keputusan. "Baiklah. Lakukan apa yang kamu inginkan. Tapi ingat, jangan sampai perusahaan kamu abaikan. Urusan kantor harus tetap menjadi prioritas kamu karena menjadi chef hanya hobi dan sampingan kamu. Mengerti?" putus Aditya. "Beres, Pa," sahut Revan dengan senyum mengembang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD