5 ~ Kontrak Absurd

1010 Words
Alma sampai di cafe, langsung berjalan menuju ke arah bagian belakang melalui pintu samping, khusus untuk karyawan. Tempat makan tersebut merupakan cafe pusat dan memiliki ukuran yang cukup besar, dua lantai dan tentu saja memiliki banyak karyawan. "Al, dipanggil Pak Wisnu," ujar salah seorang karyawan pria pada Alma, saat gadis itu baru saja selesai berganti pakaian dengan seragam cafe tersebut. "Pak Wisnu? Mau ngapain?" tanya Alma. "Mana aku tau, Alma. Memangnya aku harus tanya alasan dia manggil kamu, apa?!" sahut pemuda itu. "Ye ... biasa aja kali. Gak usah nyolot," ketus gadis itu sembari berlalu, meninggalkan sang teman yang hanya berdecih melihat tingkahnya. "Cewek kok judes," cibir sang pemuda. "Biarin aja," balas Alma yang masih bisa mendengar ucapan sang teman. Gadis itu akhirnya sampai di depan sebuah ruangan, berdiri mengetuk pintu. "Masuk!" Saat terdengar perintah seseorang dari dalam sana, dengan segera Alma membuka pintu lalu masuk. "Selamat sore, Pak Wisnu," sapanya. "Sore, Alma," balas pria bernama Wisnu itu, "silakan duduk." "Terima kasih, Pak," angguk gadis itu sembari duduk di kursi yang letaknya ada di seberang meja di mana sang atasan duduk di kursi lain. "Alma, ada hal yang ingin saya bicarakan dengan kamu terkait pekerjaan," ujar Wisnu sembari memperbaiki posisi duduknya. "Silakan, Pak," jawab Alma. "Begini ...." Wisnu menjeda ucapannya, seraya menyodorkan sebuah kertas kepada gadis yang duduk di hadapannya. "Silakan kamu baca dulu ini," ujarnya. Alama pun menerima kertas tersebut dan membacanya. Sesaat kemudian, kening gadis itu berkerut. "Surat kontrak kerja?" tanyanya dengan bingung. "Benar,'' jawan Wisnu sembari mengangguk. "Tapi saya di sini kerja lepas, Pak. Waktu saya juga fleksibel, tidak terikat harus masuk jam berapa sampai jam berapa. Apa perlu kontrak kerja?" tanya gadis itu. "Iya, Alma. Itu peraturan baru di sini. Untuk pekerjaan paruh waktu," sahut Wisnu. "Kenapa?" "Ya Intinya, kamu harus tanda tangan kontrak ini. Tapi kamu jangan khawatir, waktu kamu masih fleksibel. Kamu tidak punya aturan waktu yang mengikat," jawab Wisnu tanpa menjelaskan lebih rinci. "Saya masih boleh 'kan kerja paruh waktu?" tanya Alma ingin memastikan. "Tentu saja boleh. Kamu tetap di bayar perjam dan waktu kerja kamu bebas. Mau satu jam, dua jam, terserah kamu," jawab pria berusia sekitar empat puluh tahun itu. "Saya boleh baca ulang 'kan, Pak, kontraknya?" cerewet gadis itu. "Silakan." Alma pun mulai membaca dari atas huruf yang berderet rapi itu, tapi tidak sampai ke bawah karena sudah terlanjur malas membaca setiap poin yang ada di sana. Tanpa banyak bicara lagi, sang gadis membubuhkan tanda tangan di atas kertas putih yang berisi dengan tulisan bertinta hitam itu. "Soal koki barunya, Beliau akan mulai bekerja hari ini,'' ujar Wisnu saat melihat Alma menandatangani kontrak kerja tersebut. "Hah? Koki? Koki apa, Pak?" tanya Alma tidak mengerti. "Lho? Kamu tadi katanya mau baca kontak. Masa gak tau?!" "Maaf, Pak. Saya gak baca semuanya," sahut Alma sembari tersenyum meringis. "Kamu ini, Al ... nanti ada apa-apa, saya lagi yang kamu salahkan," omel Wisnu yang hanya ditanggapi dengan cengiran oleh gadis itu. "Kalau boleh, Bapak tolong sebutin aja, Pak. Saya lagi males baca," punya gadis itu, masih dengan cengiran di wajahnya. "Nanti akan ada koki baru di sini dan kamu yang akan jadi asistennya,'' ujar Wisnu. "Tapi 'kan, Pak, asisten koki sudah ada," kilah gadis itu. "Iya tapi ini koki baru dan Beliau tidak mau memakai asisten koki yang lama, karena menurut Beliau, pasti akan beda cara kerja Beliau dengan koki yang lama. Jadi intinya, mau itu asisten koki yang lama atau pun yang baru tetap harus beradaptasi. Jadi Beliau memilih asisten koki yang baru dan pilihannya adalah kamu," ujar Wisnu menjelaskan. "Jadi saya hanya jadi asisten koki?" tanya Alma lagi untuk memastikan. "Betul. Tapi sesuai kontrak, kamu harus mengikuti jam kerja Beliau. Kapan pun beliau butuh kamu, saat itu juga kamu harus meluangkan waktu." Sebenarnya penjelasan Wisnu kali ini terdengar sedikit aneh di telinga Alma. Tapi ia berusaha untuk berpikir positif. Toh ini kontrak kerja pasti hanya berlaku pada saat jam kerja. Dan itu bukan masalah besar. "Baik, Pak. Saya mengerti," angguk gadis itu. "Dan untuk hal-hal yang bisa otomatis batalkan kontrak, apa kamu sudah baca juga?" "Hehehe ... belum, Pak." "Di kontrak ini sudah tertulis semuanya, Alma. Apa saya juga perlu membacakannya?" "Tidak perlu, Pak. Saya akan berusaha bekerja sebaik mungkin, jadi insya Allah saya tidak perlu mengetahui apa pun soal pembatalan kontrak," tolak Alma dengan jumawa. "Kamu yakin?" "Yakin, Pak." "Baiklah. Kamu boleh lanjutkan pekerjaan kamu lagi," ujar Wisnu dan diangguki oleh Alma. "Baik, Pak. Saya permisi," pamit gadis itu. "Silakan." Alma pun beranjak dari posisi duduk setelah mendengar pria yang merupakan manager di tempat itu, mempersilakan dirinya untuk kembali bekerja. Sang gadis membawa kakinya melangkah menuju pintu yang tertutup dan membuka benda tersebut. Wanita muda itu terdiam untuk bertemu saat. Nampak di hadapannya kini seorang pria sedang tersenyum dengan tangan melayang di udara. Sepertinya, pria itu baru saja akan mengetuk pintu saat Alma membukanya. "Hai, ketemu lagi," ujar pria itu. "Bapak ngapain di sini? Apa Bapak gak tau kalau ini area khusus karyawan?" tanya Alma dengan nada datar. "Saya—" "Pak Revan? Anda sudah sampai?" sapa Wisnu yanga kini sudah berada di belakang Alma. "Silakan masuk, Pak.'' Membuat gadis itu mengerutkan dahi. 'Ternyata mereka saling mengenal,' batinnya bergumam. "Alma, kamu ngapain berdiri di pintu? Kamu menghalangi jalan," bisik Wisnu di dekat telinga sang gadis. "Ah, iya. Maaf, Pak," sesal Alma, baru menyadari bahwa ternyata dirinya berdiri di tengah pintu dan membuat orang lain tidak bisa masuk ke ruangan sang atasan. Ia pun pun bergeser dari posisinya saat ini. Memberi jalan pada Revan untuk masuk ke dalam. "Saya permisi ke belakang, Pak. Mau lanjut kerja," pamit Alma pada Wisnu, sekali lagi. "Silakan." Dengan hati bertanya-tanya, Alma kembali ke dapur cafe tersebut. Berbagai pertanyaan kini memenuhi otaknya. Untuk apa Revan ada di sini? Apa mungkin dia marah karena kejadian tadi di halaman kantor dan sengaja datang ke sini untuk menjelek-jelekkan dirinya di hadapan Wisnu, agar dia dia dipecat dari sana? Kalau sampai itu benar, sungguh terlalu pria itu. Alma terus saja sibuk dengan pikirannya saat ini, hingga ia tak sengaja menabrak seseorang karena tidak fokus saat berjalan. "Alma!" pekik seseorang dengan kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD