The Secret Mission Bagian Tujuh

1107 Words
Sinar matahari pagi mulai mengedarkan cahaya kehangatannya. Berteman dengan melodi indah yang berasal dari kicauan burung-burung kecil silih bersahutan, seakan menemani para penduduk kota San Diego yang sudah mulai beraktivitas sejak pagi, atau yang sedang bersiap, hendak memulai kegiatan hariannya. Seperti Esdras. Pria tampan bertubuh kekar, dengan tatanan rambut soft side parting, mengenakan setelan jas navy, sedang mengaitkan kancing pada jas bagian depan, menghadap cermin berukuran dua meter yang menempel pada salah satu lemari pakaian. Sesekali, pria itu melirik ke sisi kiri dengan risi, mendelik tajam pada sosok tak kasat mata yang sedang memperhatikan kegiatannya, sejak ia terbangun pagi tadi. “Apa hantu-hantu sepertimu tidak mempunyai pekerjaan lain, selain menatapku?” Pandangan pria itu beralih memandang ke sekelilingnya, kemudian menghembuskan napas kasar. “Ya Tuhan … haruskah aku memanggil seorang pastor untuk mengusir kalian semua dari rumahku?” tanyanya, kesal. Seakan mendengar perkataan pria itu, para makhluk tak kasat mata, yang tengah berdiri di sekitar Esdras, seketika melesat, dan menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tetapi, ancaman itu tidak berlaku bagi Fumo. Hantu cantik itu hanya tertawa kecil, sembari duduk dengan manis di atas nakas kecil, hingga membuat bulu kuduk Esdras seketika merinding. “Bisakah kau tidak tertawa mengikik seperti itu?! Jangan membuat aku semakin menggila karena tingkahmu, Fumo!” teriak Esdras, yang kemudian berlari ke luar dari ruang walk in closet, untuk menghindari makhluk tak kasat mata itu. Baru saja beberapa langkah menjauh dari ruang tersebut, sebuah bunyi ‘bip’ dari mini earpiece yang tersembunyi dalam lubang telinga, tiba-tiba mengalihkan perhatian lelaki itu. Sembari mengusap dengan lembut leher salah satu raja hutan peliharaannya, yang sedang berlalu lalang di ruang tengah, ia sentuh bagian depan mini earpiece, hingga hanya dalam hitungan sepersekian detik, suara seseorang mulai terdengar menyapa indera pendengaran. “Esdras, kau di mana?” “Aku baru saja selesai bersiap. Ada apa, Jo?” Esdras balik bertanya, walau matanya, kini menatap tajam pada roh halus yang sedang berdiri di depan sana. “Beberapa menit lalu, Lazarus menghubungiku, dan memberitahukan, jika Anderson sudah memberi perintah untuk segera menjalankan misi pengambilan kembali berkas rahasia milik CIA yang telah dicuri oleh George, di kediaman underboss Black Garventas. Kapan kau tiba di markas besar? Aku dan Brylle sedang di perjalanan menuju Spring Bar,” jelas Finley dari seberang jaringan pribadi. Pria tampan beriris mata dark grey itu melirik menghela napas dalam, tanpa mengalihkan tatapannya dari sosok Fumo yang terlihat sangat bahagia, menduduki punggung Lorenzo. “Aku akan tiba di markas besar sekitar pukul sepuluh. Katakan pada Eldaric untuk mempersiapkan seluruh persenjataan yang akan kita gunakan. Dan kau, segera sabotase seluruh sistem keamanan kediaman Axton Christian, dan pindahkan cloning sistem keamanan milik Delta Dirac pada rumah pria itu! Aku akan berganti pakaian, dan bersiap.” Perintahnya. Esdras yang semula akan pergi menuju bar Atlantis, terpaksa harus mengurungkan niatnya, setelah mendapat misi mendadak dari pemimpin Delta Dirac, dan harus mengganti pakaiannya kembali, dengan baju khusus yang biasa digunakan ketika menjalankan misi. “Baiklah. Setelah aku tiba di markas besar, aku akan perintahkan kepala tim untuk mempersiapkan semuanya.” Namun, bukannya menyahuti perkataan rekan sejawatnya, Esdras justru terperangah melihat tingkah Fumo, yang kini sedang menatap terpana ke luar jendela, melihat sepasang harimau putih milik Esdras, sedang melakukan perkawinan di taman belakang. “Fumo! Hewan pun punya privasi dalam berhubungaan seeksuall! Bisakah kau berhenti mengganggu Leon dan Tigerly?” tanya Esdras. “Tidak. Ini tontonan paling menarik, Tuan,” jawab Fumo, setengah berbisik. “Esdras, cepatlah! Jangan terlalu lama bermain dengan hantu-hantu sialaanmu itu. Aku tidak ingin menjengukmu di rumah sakit jiwa, suatu saat nanti!” Setelah mengatakan hal itu, panggilan dari sambungan jaringan pribadi pun terputus secara sepihak, hingga membuat Esdras menggelengkan kepala. Dia pun segera berjalan menghampiri Fumo, lalu mengetuk kaca jendela untuk mengalihkan perhatian hantu kecil itu. “Hentikan! Jangan mengganggu kenikmatan yang sedang mereka ciptakan!” ucap Esdras, tegas. Makhluk tak kasat mata itu menoleh, memandang wajah pria di sampingnya, kemudian beralih menatap pada tubuh bagian bawah Esdras. “Milikmu, besarnya, bahkan tidak seperempat milik Leon, Tuan. Lihatlah, betapa perkasanya hewan tampan itu,” ujar Fumo, mencibir. Esdras mendengkus, sembari berkacak pinggang. “Ha! Apa aku perlu memperlihatkan pada hantu sepertimu, bagaimana perkasanya senjata rahasiaku? Bahkan, para wanita yang pernah kutiduri, selalu meminta lebih, dan tidak ingin berhenti setelah milikku bermain dalam kewanitaan mereka.” “Benarkah?” Fumo menatap penuh selidik pada lelaki itu, kemudian tersenyum menggoda, sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh. “Tapi yang aku lihat saat itu, milikmu sangat kecil, Tuan.” Makhluk tak kasat mata itu kembali menatap pemandangan panas di depan sana, sembari menahan tawa. Entah kenapa, kekesalan yang diperlihatkan Esdras, justru membuat cahaya yang terpancar di sekujur tubuh lelaki itu semakin bersinar, hingga jika tubuh Fumo bersentuhan pada cahaya tersebut, ada satu sengatan listrik yang membuat hantu kecil itu mendapat bayangan masa lalunya, walau hanya beberapa detik saja. Seperti saat ini. Tepat ketika cahaya indah itu menembus tubuhnya, satu ingatan saat ia masih hidup, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Sosok seorang wanita paruh baya, dengan seulas senyum hangat, tengah melambaikan tangan, sembari mengatakan sesuatu. Namun sayang, karena amarah Esdras mulai mereda, ingatan itu kembali menghilang, berganti dengan rasa hampa, kesepian, dan kesakitan yang tiba-tiba menusuk hatinya. Perlahan, Fumo menoleh, menatap pada Esdras yang ternyata sudah berjalan menjauh, meninggalkannya sendirian. “Tuan!” Seru Fumo. “Aku tidak ingin berbicara denganmu!” jawab Esdras, tanpa melihat ke arah hantu kecil itu. Tidak menyerah, Fumo pun segera melayang, hendak menghampiri lelaki itu. Tetapi sayang, Fumo kalah cepat dengan Esdras, hingga pintu walk in closet di hadapannya sudah tertutup rapat, dan terbenteng dinding transparan hingga membuat Fumo kesulitan, hanya untuk sekadar mengintipnya dengan menembuskan kepalanya pada daun pintu. “Tuan, apa kau pernah mendengar sebuah tempat bernama Ancient One?” tanya Fumo, saat dua kata itu tertangkap dalam ingatannya. “Tidak!” jawab Esdras, singkat. “Bisakah kau mengingat-ingat kembali, Tuan?” tanya Fumo, terdengar sedikit memohon. “Tidak!” Lagi-lagi, Esdras menjawab dengan singkat, acuh tak acuh. “Tuan, aku mohon.” “Tidak.” Tepat setelah Esdras mengatakan hal itu, pintu ruangan yang sedari tadi tertutup, akhirnya terbuka, dan dinding transparan yang begitu kuat menghalangi Fumo pun seakan runtuh tak bersisa, membuat roh halus wanita itu, tertegun, ketika kilatan cahaya bagai petir terlihat seakan membelah sesuatu yang tak terlihat di hadapannya. “T-Tuan ….” Sementara Esdras, tanpa menghentikan langkah kakinya, terus berjalan melewati roh halus tersebut, mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja ruang tengah, kemudian ke luar dari rumah mewah tersebut, tanpa menoleh ke belakang. “Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah membantumu, Fumo! Aku bahkan tidak peduli dengan ingatan-ingatan masa lalumu itu!” gerutu Esdras. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD