Satu unit mobil Lamborghini Huracan Performante AWD Coupe, berwarna biru elektrik, baru saja melewati barrier gate sebuah bar mewah yang terletak di pusat kota San Diego, California Selatan, Amerika Serikat. Para penjaga keamanan, beserta seluruh pria bersetelan jas hitam lengkap, yang berada di sekitaran gedung seketika mengambil posisi siap, lalu membungkukkan badan, memberi hormat.
Setelah mobil sport tersebut terparkir dengan sempurna di pelataran, seorang pria tampan, mengenakan jaket kulit berwarna hitam, berpadu kaos putih, dan celana jeans skinny hitam, nampak ke luar dari dalam kendaraan roda empat tersebut, menoleh ke sisi kiri dan kanan, sembari melepas kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di wajahnya.
Namun ternyata, tanpa lelaki itu sadari, satu sosok makhluk tak kasat mata, berambut hitam sepanjang d**a, masih mengenakan pakaian rumah sakit, baru saja menembus pintu mobil, tepat beberapa detik sebelum pedaran cahaya dari tubuh Esdras menghilang.
Roh halus wanita itu seketika tersenyum penuh arti, kemudian melesat begitu cepat, menghilang di antara dinding-dinding kokoh sebuah lorong rahasia, bersembunyi, sebelum Esdras mendapati dirinya, mengikuti lelaki itu.
Sedangkan Esdras sediri, yang tengah berjalan menyusuri lorong berdinding kedap suara, bersama pria tinggi, berbadan tegap, mengenakan kaos hitam berbalut rompi anti peluru, dengan beberapa jenis senjata api, terselip di dalam kantong kedua sisi maskat balistiknya, mencoba mengalihkan perhatian dari para hantu menyebalkan yang sedang menatap kagum ke arahnya, dengan mengajak lelaki di sisi kanan Esdras, berbicara.
“El, apa semua persenjataan yang kita perlukan sudah siap?” tanya Esdras.
“Sudah, Tuan,” jawab Eldaric, tegas.
Mendengar panggilan ‘Tuan’ seperti itu, mengingatkan Esdras pada sosok hantu wanita yang selama tujuh minggu ini tak pernah berhenti mengganggunya, sejak kelopak mata terbuka, hingga mata mulai terpejam. Benar-benar menjengkelkan.
“Ah … Aku benar-benar tidak suka dengan panggilan itu,” gumam Esdras, sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar.
“Anda berbicara pada Saya, Tuan?” tanya Eldaric, ketika gendang telinganya menangkap gumaman kecil dari sang Underboss Delta Dirac.
Esdras menggeleng. “Tidak. Aku hanya sedang berbicara pada diriku sendiri.”
Tak perlu waktu lama, hingga akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu plat baja berwarna putih, yang hanya akan terbuka, oleh sebagian orang dengan sidik kelima jari terdaftar pada sistem.
Salah satunya, Eldaric. Sang kepala tim Delta Dirac. Pria tampan, dengan raut wajah datar itu, menyentuhkan kelima jari pada alat sensor buatan Finley, hingga suara ‘bip’ terdengar, dan pintu pun terbuka secara otomatis.
Sebuah ruang besar, dengan delapan pintu berbeda, menjadi pemandangan pertama, kala memasuki ruang utama markas besar Delta Dirac di bawah gedung Spring Bar–sebuah usaha milik seorang entrepreneur, yang tak lain adalah Bos besar Delta Dirac–yang sengaja ditutup untuk umum satu hari penuh.
“Di mana, Lazarus?” tanya Esdras, tanpa menghentikan langkah kaki.
Eldaric yang masih berjalan mengikuti pimpinannya, menjawab, “Capo sedang berbicara dengan Tuan Anderson, Tuan Brylle, dan Tuan Finley, di ruang rahasia.”
“Baiklah. Eldaric, hubungi seluruh sniper Delta Dirac untuk menyiapkan senjata utama, Barrett m82, beserta pembekalan peluru berkaliber 50 BMG M33 sebanyak mungkin. Karena lawan kita pada misi kali ini, adalah kelompok mafia Black Garventas! Kita benar-benar harus mempunyai strategi yang sangat matang untuk melawan mereka. Satu kali saja kalian melakukan tindakan gegabah, semua benang yang sudah tersimpul, akan patah dan terurai. Kau pasti paham, apa maksudku!”
“Baik, Tuan Esdras!” Bertepatan dengan itu, Eldaric pun menghentikan langkah kakinya, kemudian mengambil posisi membungkuk, memberi hormat pada sang Underboss yang sedang berjalan melewati pintu kaca otomatis, hendak menuju ruang rahasia dalam gedung tersebut.
Tanpa Esdras sadari, Fumo, yang sejak tadi mengikutinya secara diam-diam, kini tengah mengekor di belakang, melayang, sembari mengusir hantu-hantu lain yang hendak mendekati pancaran cahaya indah milik lelaki itu.
‘Dia milikku! Cahayanya sudah melebur denganku! Pergi kalian semua!!’ Perintah Fumo, bernada tinggi, berbicara melalui gelombang dimensi lain yang merambat dari hantu satu ke hantu lainnya, dan hanya dapat didengar oleh para makhluk tak kasat mata saja.
***
“Selamat siang, Exsly.” Sapaan pertama, yang baru saja terlontar dari mulut Esdras, membuat Brylle, Finley, Lazarus, bahkan Anderson, seketika menoleh ke arah asal suara, menatap rekan sejawat mereka, yang tengah tersenyum begitu manis, pada sosok tak kasat mata di belakang Brylle.
“Dia lebih memilih menyapa hantu, dibanding manusia hidup yang berada dalam ruangan ini,” gerutu Finley yang sedang duduk di atas kursi kerjanya, dengan wajah merengut.
Tidak terima, jika mantan kekasihnya dikatai hantu oleh Finley, Brylle seketika memukul kepala bagian belakang temannya cukup keras, hingga lelaki jenius itu tersungkur ke depan.
“Ah!! What the f*ck!! Ellardo, kau ingin membunuhku?” teriak Finley begitu kencang, hingga terdengar menggema di setiap sudut ruang tersebut.
“Jangan pernah mengatakan, jika Exsly adalah hantu! Aku benar-benar tidak terima dengan hal itu. Walaupun dia sudah tiada, tapi bagiku, Exsly tetaplah wanita yang paling aku cintai.” Brylle beralih menatap pada Esdras yang baru saja duduk di atas kursi samping Lazarus, kemudian berkata, “dan kau … hentikan menyapa makhluk-makhluk tak kasat mata, yang hanya dapat dilihat olehmu saja. Terlebih … Exsly. Aku benar-benar semakin sulit untuk melepaskan kepergiannya.”
Esdras mendengkus. “Pantas saja roh wanita itu masih mengikutimu.”
Mendengar percakapan Esdras, Brylle, dan Finley, pria paruh baya bertubuh kekar, mengenakan setelan jas lengkap, yang belum mengetahui sepenuhnya, apa yang sedang terjadi, seketika menatap pada Lazarus, kemudian beralih memandang Esdras dengan tatapan penuh selidik.
“Apa maksud dari percakapan ini?” tanyanya.
Lazarus menghembuskan napas panjang, sembari menggelengkan kepala, kemudian menjawab, “adikku menjadi gila semenjak kecelakaan yang menimpanya, tujuh minggu lalu.”
“Gila? Apa maksudmu?”
“Entah dia, atau aku yang gila karena harus mempercayai perkataannya. Yang jelas, sejak operasi kornea mata yang dilakukannya, selesai, Esdras dapat melihat hal-hal tak lazim, yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang berkemampuan khusus,” jelas Lazarus.
Anderson yang masih belum paham juga, walau sudah mendengar jawaban dari Lazarus, semakin mengerutkan dahinya, mencoba mencerna kata demi kata yang didengarnya beberapa saat lalu.
“Aku benar-benar masih belum mengerti, Lazarus,” gumam Anderson, frustasi.
“Ya Tuhan, aku benar-benar bingung, bagaimana menjelaskannya,” balas Lazarus, juga bergumam sangat pelan.
Sementara pria yang sedang duduk bersandar di atas sofa, sembari bersidekap, menatap tajam pada sesuatu hal yang sedang berdiri di belakang Anderson, kemudian mendengkus.
“Bagaimana bisa kau masuk ke dalam ruang rahasia kami?” tanya Esdras.
Keempat pria yang berada dalam ruang tersebut, lagi-lagi menatap pada sang empunya suara bariton, lalu menghembuskan napas kasar secara bersamaan.
“Apa dia menggunakan lysergic acid dietilamaida melebihi dosis?” tanya Anderson.
“Tidak! Esdras sudah berhenti menggunakan obat terlarang, selain ketika melakukan operasi, saat itu,” jawab Lazarus.
Seakan tidak peduli dengan percakapan orang-orang di sekelilingnya, Esdras justru sibuk mengajukan pertanyaan lain pada sesuatu hal yang nampak tidak nyata bagi empat pria lain di tempat itu.
“Jadi, kau benar-benar mengikutiku?” tanya Esdras lagi.
“Maafkan aku, Tuan. Aku benar-benar membutuhkan sengatan cahaya yang terpancar dari tubuhmu, untuk melihat kepingan masa lalu yang hilang,” jawab Fumo, melirih.
Esdras mendengkus. “Ha! Aku tidak peduli dengan urusanmu. Jika kau mampu membayarku dengan nominal yang sudah ditentukan, aku akan membantumu. Tapi sayangnya, kau hanya kepulan asap, yang bahkan namamu sendiri saja, kau tidak tahu,” ucap Esdras, mencibir.
“Tuan, jangan berbicara terlalu sarkas seperti itu. Aku benar-benar sedang kebingungan, karena sepotong kilas balik yang baru saja aku dapatkan,” protes Fumo, merengut.
“Aku tidak berbicara sarkas. Aku mengatakan hal yang sebenarnya. Apa kau tidak bisa membedakan?” tanya Esdras, sinis.
Baik Finley, Brylle, Lazarus, ataupun Anderson, hanya terdiam, dan saling melempar tatap satu sama lain. Tak ada satu pun dari mereka yang berani bertanya lebih jauh pada Esdras. Yang ada, justru bulu kuduk keempat pria itu tiba-tiba meremang, apalagi, ketika Esdras mulai menunjuk ke sudut ruangan.
“Jika keadaanmu sepeti roh lelaki berpakaian baju olahraga, dengan kedua tulang lengan patah, kepala memutar ke belakang, dan wajah rusak dipenuhi darah, yang selalu berdiri di sudut ruangan ini, aku bisa menimbang-nimbang permintaanmu!” lanjut Esdras, dengan sengaja, setelah mendengar kembali permohonan yang diajukan oleh Fumo. Karena bagaimanapun, dia tahu, hantu itu tidak mungkin bisa merubah bentuk tubuhnya, seperti yang Esdras minta.
“Ilmu dalam dimensi lain milikku, belum sehebat hantu-hantu lain, Tuan. Aku tidak bisa berubah bentuk seperti, apa yang Tuan inginkan,” balas Fumo.
Esdras menyeringai. “Maka dari itu, segera hentikan rengekanmu itu, atau aku benar-benar memanggil seorang pastor untuk mengusir hantu kecil menyebalkan sepertimu!” Ancam Esdras.
“Aku janji, aku tidak akan mengganggumu terlalu intens. Tapi, bantu aku satu kali saja. Aku hanya ingin kau menyampaikan pertanyaanku pada pria tampan di sana.” Fumo menoleh, dan menunjuk pada Finley.
“Dia … tampan?” Ulang Esdras, sembari menatap pada Finley, dengan tatapan aneh.
“Esdras, hentikan!! Kau benar-benar membuatku semakin merinding!” ucap Finley, yang kemudian berusaha kembali memfokuskan pikiran pada kode-kode dalam script di hadapannya.
“Stefani Olivia. Tolong bantu aku katakan pada rekanmu untuk mencarikan nama tersebut. Aku benar-benar penasaran, siapa dia?”
“Tak perlu mencarinya! Anggaplah itu nama aslimu,” cetus Esdras acuh tak acuh.
“Tidak, Tuan. Itu bukan namaku.” Fumo segera menyangkal pemikiran Esdras.
“Aku tidak peduli!”
“Stefani Olivia adalah nama yang tertulis dalam secarik kertas. Dalam sepenggal ingatan yang aku temukan, itu seperti sebuah informasi yang sempat aku tulis di suatu tempat. Tapi, aku benar-benar tidak ingat, siapa dia?”
Fumo memberanikan diri melayang menghampiri Esdras, kemudian berjongkok di samping lelaki itu. Dan akhirnya, cahaya indah yang terpancar dari sekeliling tubuh pria berwajah datar itu, kembali membias pada tubuh kecil Fumo, menyengat, hingga sekelebat ingatan pada masa lalunya, kembali hadir, seperti sebuah petunjuk.
‘Untuk apa kau mencari tahu tentang kasus Zodiak?’
Suara bariton seorang pria, yang tiba-tiba saja terdengar, bagai embusan angin, berhasil membuat Fumo seketika menoleh, dan menatap pada Esdras yang sedang membuang muka ke sisi lain, dengan mata membulat sempurna.
Ini adalah kali pertama bagi roh halus itu, bisa mendengar suara dari masa lalunya. Walau terasa seperti bunyi embusan angin, Fumo yakin, itu adalah suara dari dimensi lain yang membawa sepenggal ingatan, dengan bantuan cahaya ajaib milik Esdras.
“T-Tuan … apa kau pernah mendengar kasus Zodiak?” tanya Fumo, tiba-tiba.
Esdras yang semula enggan mendengar perkataan makhluk tak kasat mata itu, seketika menoleh, menatap pada Fumo dengan dahi berkerut. “Dari mana kau tahu kasus Zodiak?”
“T-Tuan ... kenapa tiba-tiba aku merasa takut? Padahal, selama aku menjadi roh halus, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti ini,” gumam Fumo, sembari menatap kedua telapak tangannya yang tiba-tiba menipis dalam waktu beberapa detik, kemudian kembali terlihat seperti biasa.
Sedangkan Brylle, Finley, Lazarus, dan Anderson, menatap pada Esdras, dengan tatapan penuh tanya.
“Siapa yang mengetahui kasus Zodiak, selain kita berlima?” tanya Lazarus, menyelidik.
***