“Bagaimana penjualan hari ini?”
Pertanyaan pertama yang diajukan Esdras, tepat setelah keluar dari dalam lift, pada seorang lelaki berseragam khusus pegawai Bar, seketika mengalihkan perhatian pria tampan yang tengah berdiri di balik meja kasir itu.
Di tengah alunan live music yang cukup kencang, sebagai teman bagi para pengunjung, untuk menikmati wine, dan minuman beralkohol, pegawai itu membungkukkan tubuhnya, untuk memberi hormat pada sang pemilik Bar ATlantis, lalu mengambil posisi berdiri tegak menghadap Esdras.
“Sangat baik, seperti hari-hari biasa, Tuan.” Pria tampan berseragam itu memberikan sebuah alat elektronik berbentuk persegi panjang, berisi catatan pembelian, lalu Esdras pun menerimanya. “Semua pembeli yang datang hari ini, sudah tercatat di dalam sana.” Lanjutnya, sembari menunjuk alat yang tengah di perhatikan oleh Esdras.
Pria tampan bersetelan jas navy itu mengangguk, mengedarkan tatapannya kepada seluruh pengunjung bar malam ini yang cukup padat, lalu membuka mesin kasir otomatis rancangan salah satu teman Finley, yang ditaruh di bawah meja tersebut, mematikan kamera pengintai rahasia yang tersembunyi di dalam, kemudian mengecek satu per satu layar digital, yang menunjukkan jumlah lembaran uang kertas di tiap-tiap sekat, dengan nominal Dollar berbeda.
Setelah yakin, semuanya sesuai dengan laporan yang diberikan penjaga kasir tersebut, sembari menekan kembali tombol on pada mini kamera tersebut secara sembunyi-sembunyi, Esdras tersenyum tipis, sambil menganggukkan kepala. “Baiklah. Kau sudah bekerja sangat baik, Roland,” ucap Esdras seraya menepuk pundak pegawainya, dan melanjutkan langkah kaki menuju ruang penyimpanan wine yang berada di balik dinding penyekat kasir.
Tak membutuhkan waktu lama, pria tampan itu kembali, membawa dua botol wine terbaik yang tersedia di ruang penyimpanan minuman, kemudian berjalan ke luar dari bangunan tersebut dengan santainya, melewati lorong khusus yang terletak di sudut ruang tersebut, tanpa memperdulikan orang-orang di sekitar yang menatapnya.
Gelapnya langit malam seketika menyapa indera penglihatannya, ketika pria itu berhasil menginjakkan kaki di luar bangunan Bar. Akan tetapi, Esdras yang sangat membenci suasana gelap, tiba-tiba menghela napas dalam-dalam.
Ya … sejak penglihatannya bisa menangkap hal-hal tak lazim, pria itu mulai membenci tempat gelap, dan suasana malam seperti ini. Bagaimana tidak? Kesialan Esdra akan dimulai, ketika sang matahari kembali ke peraduannya, menyisakan langit hitam pekat, hingga para makhluk tak kasat mata itu keluar dari tempat persembunyian mereka.
Walau di siang hari pun, Esdras sesekali berpapasan dengan para roh halus, namun pergerakan mereka tidak secepat di malam hari. Mereka bergerak selayaknya manusia yang kelelahan, dan lebih banyak berdiam diri di dalam sebuah gedung, ruangan, atau duduk di atas batang pohon berdaun rindang.
Berbeda dengan malam hari, bagai kilatan cahaya petir, beberapa dari sekian banyak makhluk tak kasat mata itu bergerak sangat cepat, membawa hembusan angin yang cukup kencang, juga hawa dingin yang menusuk, ketika mereka menembus tubuh Esdras.
Seperti sekarang, entah sudah berapa puluh roh halus yang berdiri di sekeliling pria tampan itu, menatap kagum pada tubuh Esdras, dengan tangan terulur, seakan ingin menyentuh sesuatu.
Ah, tidak! Bukan tubuh kekar Esdras yang mereka inginkan. Bukan pula wajah tampan pria itu yang mereka kagumi. Tetapi, pancaran cahaya di sekujur tubuhnyalah yang menjadi sumber perhatian para makhluk dari dimensi lain itu.
Dan entah kenapa, melihat “mereka” menatapnya seperti ini, membuat Esdras tiba-tiba teringat pada roh halus wanita cantik yang ia tinggalkan di rumah, hingga membuat lelaki itu tanpa sadar mengulas senyum sangat tipis di salah satu sudut bibirnya.
“Ha! Sepertinya, aku benar-benar mulai tidak waras.” Bisiknya, sembari melangkahkan kaki menuju kendaraan roda empat miliknya, menembus para roh halus yang menghalangi jalan.
***
Seekor raja hutan berwarna putih, bertubuh kekar dan sangat besar, nampak tengah berjalan dengan gagahnya di tengah-tengah halaman belakang. Aumannya yang menggema sangat kencang, bahkan hingga terdengar di setiap sudut rumah mewah nan megah tersebut. Tak jarang, suara raungan dari hewan buas itu, membuat para pelayan merasa ketakutan.
Dan rupanya, tak hanya singa jantan saja yang dipelihara oleh sang Underboss Delta Dirac. Seekor singa betina putih, juga sepasang harimau putih yang tak kalah besar, ikut mengisi halaman belakang, menemani si raja hutan, yang sudah dirawat sejak kecil oleh Esdras. Mereka akan bermain-main dengan sang pemilik ketika cuaca sedang cerah. Namun terkadang, Esdras pun akan membawa masuk keempat peliharaan hewan buasnya ke dalam rumah, hanya untuk sekedar menemaninya bersantai di ruang tengah, menikmati segelas wine, sambil menonton televisi yang tengah menyiarkan berita.
Seperti malam ini, pria tampan berkemeja putih, yang baru saja tiba di rumah, tiga puluh menit yang lalu, tengah duduk di atas sofa panjang, sembari meluruskan kedua kakinya ke depan. Tak ingin kalah, kedua singa putihnya, dan harimau putih betina pun juga ikut duduk bersantai di atas karpet berbulu berwarna dark grey, sedangkan harimau jantan, berada di samping kaki Esdras, dengan posisi kepala direbahkan di atas pangkuan tuannya.
Bak memanjakan seekor kucing, tangan Esdras tak henti-hentinya mengelus bagian leher bawah binatang buas tersebut, sembari menyesap wine dalam gelas.
“Lorenzo, bagaimana harimu?” tanyanya pada harimau di atas pangkuannya.
Hewan buas itu hanya menjulurkan lidahnya sesaat, lalu kembali mengambil posisi ternyaman.
“Tigerly, Leon, Butterfly, apa kalian semua bersenang-senang?” tanya Esdras, pada ketiga peliharaannya yang lain.
Namun, tepat setelah mengatakan hal itu, suara seorang wanita yang sudah terdengar tak asing, tiba-tiba menyapa indera pendengarannya, membuat sang Underboss mafia tersebut menoleh ke sisi kiri, dan terperanjat, saat mendapati sosok Fumo tengah duduk di atas badan sofa, sembari menatap pada keempat hewan buas tersebut.
“Ya Tuhan, kenapa kau selalu datang secara tiba-tiba seperti ini?” tanya Esdras, yang cukup terkejut dengan kedatangan makhluk tak kasat mata itu.
“Karena aku bukan manusia sepertimu, yang perlu berjalan kaki untuk menuju ke satu tempat,” jawab Fumo dengan santai.
“Kau hantu! Kau hanya segumpal asap!” cibir Esdras.
Seakan tak peduli, Fumo justru lebih tertarik pada hewan-hewan buas di depan sana, lalu kembali bertanya, “apa, hewan-hewan peliharaanmu ini bisa diajak berbicara, Tuan?”
“Tentu saja. Mereka akan mengerti, apa yang aku katakan,” jawab Esdras dengan santai.
“Benarkah? Coba kau tanyakan pada mereka, apa yang kulakukan selama terpenjara dalam rumah besar ini?” Fumo menantang pada Esdras.
“Kau tidak takut pada peliharaanku?” tanya Esdras penasaran.
Fumo menggelengkan kepala.
“Kau yakin? Finley dan Brylle saja, bahkan tidak mau berkunjung ke rumahku karena empat hewan ini tak bisa berjauhan dariku.”
“Hmm. Aku yakin.”
“Pantas saja, selama sebulan mengekoriku, kau tidak pernah menghindar dari Lorenzo dan kawan-kawannya, atau bahkan mengatakan takut.”
“Aku seorang hantu. Apa kau lupa? Aku bahkan tidak tahu, bagaimana rasanya ketakutan?” Fumo melipat kedua tangan di atas d**a*, lalu menatap menyelidik pada Esdras. “Apa kau sedang mengalihkan pembicaraan, karena tidak bisa membuktikan pernyataanmu tadi?”
Pria tampan yang tak pernah mau kalah itu seketika berdecih, lalu menatap pada makhluk tak kasat mata yang kini sudah berpindah, dan duduk di atas badan Lorenzo.
“Lorenzo, apa yang asap itu lakukan selama aku tidak ada di sini?”
Kucing besar itu hanya mengedipkan mata, sembari membuka mulut lebar-lebar, memperlihatkan sederetan gigi tajamnya.
Berlagak sedang berbicara dengan Lorenzo, Esdras yang sedang menutupi rasa malunya, memasang mimik wajah serius, kemudian menganggukkan kepala.
“Apa yang dikatakannya, Tuan?” tanya Fumo, terlihat sangat excited menunggu jawaban dari Esdras.
Dengan santai, pria itu kembali menyandarkan tubuhnya pada tangan sofa, lalu menyesap kembali wine dalam gelas kaki yang sedari tadi digenggamnya.
“Lorenzo tidak mengatakan apa-apa,” jawabnya.
Mendengar jawaban Esdras, Fumo mengernyit. “Kau berbohong, Tuan! Aku melihat, kau menganggukkan kepala, seakan tengah berbincang dengan hewan ini.”
Pria itu terkekeh. “Kau mempercayainya? Dasar bodoh!” cibir Esdras.
“Bagaimana mungkin aku tidak percaya, jika mimik wajahmu saja terlihat sangat meyakinkan,” balas Fumo.
Perlahan, Esdras bangkit dari posisinya, menaruh gelas kaki kosong di atas meja, lalu menyeringai. “Itu adalah senjata yang biasa digunakan oleh mafia untuk mengelabui, dan menakut-nakuti musuh mereka.”
“Jadi, kau menganggapku seorang musuh, Tuan?” tanya Fumo lagi.
Esdras menganggukkan kepala. “Walaupun kau hanya kepulan asap, harus aku akui, kau adalah musuh yang sangat menjengkelkan, yang berhasil mengusik ketenanganku! Rasanya, aku ingin melubangi kepalamu!”
“Ternyata, kau yang bodoh, Tuan. Bagaimana mungkin kau melubangi kepalaku? Sementara aku, hanya satu sosok roh halus, yang tidak semua orang bisa melihat dan menyadari keberadaanku."
“Maka dari itu, aku memberimu nama Fumo, karena kau sangat sulit untuk disentuh sekalipun.”
“Memangnya, apa arti nama yang kau berikan padaku?” tanya Fumo.
“Fumo, adalah bahasa Italia dari asap. Kau bilang, kau tidak ingin aku memanggilmu asap. Maka dari itu, aku memilihkan nama lain dari asap, untuk menamaimu,” jawab Esdras dengan jujur.
“Ya Tuhan, kau benar-benar jahat sekali, Tuan,” sahut Fumo melirih.
Sembari bangkit dari posisinya, dengan lantang Esdras tergelak sangat kencang. “Butterfly, lihatlah. Aku bahkan berhasil membuat satu makhluk halus mengataiku jahat!”
“Lorenzo, lihatlah! Tuanmu itu sudah gila. Seekor harimau betina saja, dia sebut kupu-kupu. Benar-benar lelaki yang aneh!” Fumo melirik pada punggung Esdras yang semakin menjauh. “Kau tahu? Miliknya saja masih kalah jauh dengan milikmu yang aku lihat siang tadi, ketika kau dengan kekasihmu melakukan hal itu,” sindir Fumo, berbicara pada harimau putih yang didudukinya.
Lorenzo hanya mengedipkan mata, sembari menoleh ke kiri dan ke kanan. Sedangkan Esdras, yang rupanya mendengar sindiran Fumo, hanya tersenyum tipis, tanpa berniat menghentikan langkahnya. “Kau bahkan belum melihat, bagaimana perkasanya senjataku, ketika sudah siap melancarkan misi rahasia,” gumam Esdras sangat pelan, bahkan hampir tak dapat didengar.
***