The Secret Mission Bagian Lima

1279 Words
Pria tampan, bersetelan jas navy, dengan garis wajah tegas, baru saja memasuki sebuah ruang bawah tanah rahasia, berdinding kedap suara, yang sengaja didesain khusus dengan sistem keamanan berbasis teknologi tinggi, oleh seorang arsitek terkenal di Amerika Serikat. Markas pribadi di ruang bawah tanah sebuah Bar milik Esdras, yang dibuat oleh Lazarus, untuk tiga orang kepercayaannya itu, terletak di La Mesa, San Diego, California, Amerika Serikat. Dalam ruangan tersebut, dua orang pria, yang tak lain, Finley dan Brylle, tengah duduk di atas kursi putarnya masing-masing, menghadap perangkat komputer, yang sudah terdesain secara spesifik oleh sang hacker Delta Dirac, untuk digunakan ketika mereka memiliki misi rahasia. Seperti sekarang. Bukannya menyapa kedua temannya, Esdras yang baru saja masuk ke dalam ruang tersebut, justru menyapa dua makhluk tak kasat mata, berpakaian selayaknya prajurit militer Amerika Serikat, bersenjata lengkap, yang selalu berdiri di sudut ruangan. “Selamat siang, dua prajurit!” sapanya. Dan hal tersebut, selalu berhasil membuat bulu kuduk Finley, dan Brylle, seketika meremang. Dua pria itu menoleh ke belakang, menatap pada Esdras yang tengah memberi hormat, kemudian tersenyum dan duduk di kursi kosong, tepat di samping Brylle. Mata kedua rekan sejawat Esdras, menatap tajam pada lelaki itu, seakan ingin menerkam, dan memangsanya. “Apa kau tidak bisa berhenti menakut-nakuti kami?” tanya Finley, kesal. “Sejak Esdras bisa melihat hal-hal tak lazim, hidupku dipenuhi rasa ketakutan.” Brylle yang sejak tadi menatap pada Finley, kini beralih menatap Esdras. “Setiap kali teringat, apa yang dikatakan Esdras … untuk buang air kecil pun, rasanya aku tidak sanggup. Suasana kamar mandi mendadak mencekam, dan suara-suara aneh tiba-tiba menyapa gendang telingaku. Ya Tuhan, aku menjadi berhalusinasi,” lanjutnya. Sembari menyandarkan tubuhnya pada badan kursi, Esdras tertawa kecil mendengar omelan kedua rekannya itu. “Kalian berdua sangat berisik, persis seperti hantu wanita itu!” gumam Esdras. Finley dan Brylle seketika menoleh ke sisi kanan mereka, menatap Esdras dengan tatapan kesal. “Ya Tuhan, sekarang, kau bahkan tidak dapat membedakan, mana manusia, dan mana makhluk tak kasat mata!” gerutu Brylle. Sedangkan Finley, hanya menanggapinya dengan gelengan kepala, lalu kembali menatap layar monitor di depannya. “Hentikan pembahasan menyeramkan ini. Aku akan menghubungkan panggilan video dengan Lazarus.” Untuk mengalihkan topik pembicaraan, Finley yang sudah kembali fokus pada kode-kode enkripsi script website, segera memasukkan serangkai sandi yang biasa ia gunakan. HIngga hanya dalam hitungan beberapa detik saja, tepat setelah pria jenius itu menekan tombol enter, panggilan video dengan pemimpin Delta Dirac, yang terhubung melalui jaringan pribadi rahasia milik mereka, akhirnya terhubung. Pria tampan berahang tegas, mengenakan jaket kulit hitam, berpadu kaus putih, akhirnya tertampil pada layar monitor berukuran tiga meter kali dua meter di hadapan mereka. Namun pada penglihatan Esdras, sang Kakak yang tengah duduk di atas sofa itu, tidak sendirian. Satu sosok roh halus, mengenakan setelan jas berwarna hitam, dengan sorot mata tajam, tengah berdiri di belakang lelaki itu. “Esdras, apa yang sedang kau lihat?” tanya Lazarus, ketika menyadari tatapan Esdras terfokus pada titik yang lain. Pria tampan itu hanya tersenyum tipis, diikuti gelengan kepala. “Tidak,” jawabnya berbohong, karena Esdras tidak ingin, Kakaknya terlonjat kaget jika ia mengatakan, apa yang tengah dilihatnya saat ini. Nampak sangat jelas, raut wajah Lazarus berubah tegang. Lelaki itu bahkan terlihat mengedar tatapannya ke belakang, sisi kiri, dan kanan, seakan tengah mencari sesuatu. Akan tetapi, usahanya sia-sia. Tak ada siapapun yang berada di ruangannya saat ini. Hanya ada Lazarus seorang. “Aku dengar, Anderson memberikan sebuah misi. Misi apa kali ini?” tanya Esdras, berusaha membuat Lazarus mengembalikan fokusnya. Berhasil teralihkan, Lazarus pun kembali duduk dengan tegak, menatap ke arah kamera pada laptop yang digunakan untuk melakukan panggilan video. “Kau ingat, lelaki bernama George, yang sempat kau temui ketika berkunjung ke gedung CIA denganku?” tanya Lazarus. Esdras menganggukkan kepala. “Ada apa dengan orang itu?” “Dia mencuri sebuah berkas rahasia dari ruang arsip data milik CIA,” jawab Lazarus. “Apa itu artinya … George mengambil data sebuah kasus yang sudah berhasil diselesaikan oleh tim pasukan khusus?” tebak Finley. Lazarus menjentikkan jari. “Lebih tepatnya, kasus yang masih belum terpecahkan oleh mereka selama hampir delapan tahun lamanya.” Esdras yang semakin penasaran, menatap dengan serius pada Lazarus, dengan dahi berkerut. “Kasus seperti apa yang belum bisa dipecahkan oleh CIA?” “Kasus pembunuhan berantai, yang sudah menewaskan hampir empat puluh wanita dalam rentang waktu tujuh tahun,” jawab Lazarus. “Zodiak??” Kini, giliran Brylle menebak. “Ya. Kasus Zodiak.” Lazarus memasukkan sederet angka pada script, kemudian menekan tombol enter, hingga satu foto sketsa lelaki paruh baya kini tertampil pada layar besar di markas, yang juga terhubung dengan laptop milik pemimpin Delta Dirac tersebut. “Ini adalah sketsa wajah pembunuh berantai, yang berhasil dibuat oleh salah seorang detektif, sesuai gambaran yang dijelaskan oleh beberapa calon korban,” lanjut Lazarus. Esdras yang merasa janggal dengan sepenggal pernyataan Kakaknya itu, tiba-tiba bertanya, “calon korban? Apa maksudmu?” “Aku pernah membaca sebuah artikel yang membahas perihal kasus pembunuhan berantai ini. Di sana tertulis, jika sebelum sang pembunuh berantai melancarkan aksinya, pria itu akan menguntit calon korbannya terlebih dahulu, selama kurang lebih dua hari satu malam, dan membuat resah. Setelah misi pertama menakuti-nakuti berhasil, pria itu akan melanjutkan pada tahap kedua, yaitu melakukan pelecehan seksual, memperkosa, kemudian membunuhnya, dengan cara memutilasi tubuh menjadi beberapa bagian. Namun, tidak semua aksinya mulus tanpa hambatan. Terkadang, wanita yang menjadi korbannya berhasil meloloskan diri, dan melapor pada pihak berwajib, walau akhirnya … Murdox tetap berhasil mendapatkan kembali korbannya tersebut, dan membunuhnya secara tidak manusiawi,” jelas Finley. “Dan yang lebih parah, kepala wanita-wanita yang menjadi korbannya sengaja ia bawa, dan dijadikan sebagai hadiah untuk santapan pada buaya peliharaannya,” lanjut Lazarus, menimpali. “Bagaimana bisa pembunuh sekejam itu masih berkeliaran sampai detik ini?” tanya Esdras. “Murdox dilindungi oleh sekelompok mafia dari Los Angeles,” jawab Lazarus. “Black Garventas?” tebak Esdras. “Tepat sekali. Dan rupanya, George adalah salah satu anak buah mereka yang berhasil menyusup, dengan menyamar menjadi anggota CIA,” jawab Lazarus. “Sepertinya, ini bukan semata-semata karena faktor ketidaktahuan, Lazarus. Aku yakin, ada seseorang yang lebih berkuasa berdiri di belakang mereka, hingga misi kamuflase George tidak dicurigai oleh anggota CIA. Lagi pula, Badan Intelegen tidak mungkin segegabah itu, menerima pegawai yang tidak kompeten, dan sangat mencurigakan.” Esdras melontarkan persepsinya. “Aku sependapat dengan Esdras. Sebaiknya, Anderson melakukan penyelidikan rahasia, untuk melihat, siapa dalang di balik kekacauan ini,” timpal Brylle. “Lalu, di mana George menyembunyikan berkas penyelidikan pembunuh berantai itu?” tanya Finley, pada Lazarus. “Menurut informasi yang didapat oleh Anderson, saat ini George tinggal di kota Beverly Hills. Pria itu menempati rumah milik underboss Black Garventas,” jawab Lazarus. Mendengar jabatan tersebut, Esdras seketika mendengkus, diikuti seulas seringai menusuk tertampil di wajah tampannya. “Rupanya, urusan kita belum selesai, Axton Christian!” gumamnya sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar. Sedangkan di sisi lain, roh wanita cantik, mengenakan pakaian rumah sakit, tengah berdiri di depan pintu masuk utama rumah mewah milik Esdras. Tanpa berkedip, matanya terus menatap gagang pintu berwarna keemasan di hadapannya itu, kemudian mengulurkan tangannya, hendak menyentuh benda tersebut. Namun sayangnya, usaha makhluk tak kasat mata itu masih tetap tidak membuahkan hasil. Sebuah dinding penghalang seakan tengah mengelilingi tubuhnya. Roh itu tidak dapat menembus dinding, dan tangannya pun tidak dapat meraih gagang pintu tersebut. Sekeras apapun usahanya, Fumo justru terhempas jauh ke belakang, hingga jatuh terlentang di atas lantai. “Ha … lalu, bagaimana mungkin pintu kaca kamar mandi Tuan Esdras bisa menembus tubuhku pagi tadi? Sedangkan, untuk menyentuh gagang pintu saja, ada dinding penghalang antara dunia yang aku tempati, dan dimensi nyata,” gumam Fumo, sembari menatap lampu-lampu bergantungan di atas kepalanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD