Bagian III : Menjengkelkan

1371 Words
Aku tertegun dengan kaki yang terpaku, mencerna dan mencoba meyakinkan bahwa apa yang kudengar sama sekali tidak salah. Lelaki itu sangat abu-abu, tak dapat kulihat suatu kejelasan sekalipun hanya melalui tatapan matanya. Yang dapat kulihat hanya satu, suatu kegelapan di balik perangainya yang mengagumkan. Pusaran yang terlihat menakutkan saat netraku memandang lekat netra hitamnya. Kakiku kembali melangkah setelah mencoba mengabaikan beberapa hal yang kualami bersama Jason. Mungkin ia hanya seorang kerabat jauh dari ibuku? Atau mungkin rekan kerja sebelum ayahku meninggal? Tapi tak mungkin, ia terlihat tidak seperti lelaki paruh baya, lagi pula ini tak penting untuk kupikirkan, aku hanya perlu melupakan semua yang terjadi hari ini dan kembali pulang untuk istirahat. Pandangan mataku mendongak saat gemuruh langit mengalihkan perhatianku dari berbagai macam hal yang berkecamuk dalam pikiranku. Butiran demi butiran air terasa pias membasahi pipiku, hujan akan segera turun. Dan sialnya aku tak mendapatkan tumpangan untuk pulang, Maggie pasti akan pulang larut mengingat dirinya adalah salah satu panitia seminar di tempat ini. "Oh ... sial," rutukku saat menyadari bahwa aku tak mempunyai apapun untuk melindungi diriku. Aku tak membawa jas hujan ataupun payung. Kakiku berlari kecil saat butiran demi butiran air yang meluncur bertambah deras. Membuat kaki mungilku berlari semakin cepat ke sebuah pemberhentian bus saat kurasa jacket yang kukenakan sebelumnya bertambah basah. Sial, aku harus menunggu bus dalam keadaan basah, dan aku yakin beberapa orang akan menatapku dengan pandangan 'jangan duduk disini, cari bangku lain' saat aku masuk ke dalam bis nanti. Aku yakin itu akan terjadi. Mataku menyipit saat derasnya hujan membuat pandanganku sedikit meburam, sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku. Aku tak dapat melihat dengan baik sosok di balik kemudi tersebut, namun yang pasti ia lelaki. Terlihat melalui bentuk tubuhnya dari balik stir kemudi. Pandanganku menunduk saat pintu mobil hitam ini terbuka tepat di hadapanku, sial. Aku tak tahu berapa banyak kesialan yang kualami hari ini. Ia Jason Javier. Lelaki yang menghentikan mobilnya tepat di depanku. Bagaimana mungkin aku kembali bertemu lelaki ini setelah kami benar-benar berpisah tadi? ini tak masuk akal, aku masih ingat ia pergi terlebih dahulu menggunkan mobilnya, namun kini ia berada tepat di hadapanku. Tersenyum tipis seakan semua yang terjadi adalah sesuatu yang 'normal'. Aku kembali menegapkan tubuhku, mengalihkan pandanganku dari wajahnya yang menyebalkan. "Masuk!" teriaknya dengan pandangan mata yang terarah pada jok di sebelahnya, aku melirik Jason sesaat, sebelum kembali menjatuhkan pandanganku pada hamparan jalan beraspal. Aku tak akan naik ke dalam mobilnya, aku belum mengenalnya, terlebih--semua sikap dan perkataan yang ia katakan padaku sedikit membuatku tak nyaman. Lebih baik aku menunggu, toh akan ada bus yang lewat sebentar lagi. Kuharap. "Apa yang kau tunggu? Kau pikir akan ada bus yang sudi berhenti dengan pakaianmu yang seperti ini?" ujarnya saat menyadari aku belum beranjak dari posisiku sedikitpun. "Aku akan menunggu bus, " tegasku, masih mempertahankan pendirianku. "Ini tawaran terakhir untukmu Mrs. Carson," ujarnya, kini dengan sorot mata lebih serius. Aku memutar bola mataku dengan jengkel, kemudian melangkah masuk ke dalam mobil. Persetan bila jok mobilnya basah, Ia yang memintaku masuk, lagi pula ini lebih baik dari pada menunggu di pemberhentian bus yang akan membuat waktuku terbuang lebih lama lagi. Aku bahkan tak yakin akan ada bus yang beroperasi sore ini. "Keringkan tubuhmu." Ia melempar sebuah handuk putih kecil yang ia ambil di jok bagian belakang, aku menerima handuk yang ia berikan, mengeringkan tubuhku lalu menutupi bagian depan tubuhku sebisa mungkin. AC mobilnya sangat dingin, mungkin karena kondisiku yang sedikit basah membuat udara dinginnya terasa berkali kali lipat. Aku menutup bagian pendingin mobil, jemariku benar-benar terasa dingin. Aku tak mau mati beku bersamanya. "Bukannya seharusnya kau izin sebelum menyentuh sesuatu di mobilku?" Jason membuka suaranya lalu melirikku melalui sudut matanya. Peduli setan. Umpatku dalam hati, mengabaikan perkataan yang ia lontarkan sebelumnya. "Mengapa kau dapat berada di sini? Bukankah kau sudah pulang tadi?" tanyaku, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Ia menaikkan kedua alisnya beberapa detik, sebelum kembali melarutkan pandangannya pada jalanan lurus di hadapan kami, melajukan mobilnya dengan kecepatan yang terbilang normal. "Mr. Javier," ujarku menyadari ia mengabaikan perkataanku. Aku menunggunya untuk menjawab pertanyaanku. "Bukankah kau kembali lebih dahulu tadi? Mengapa kau bisa berada di sana?" "Rahasia," gumamnya tersenyum dengan pandangan misterius yang tersirat di netra hitamnya. Aku melengos dan larut dalam keheningan yang mengisi perjalanan pulang. Ini terasa aneh, berada satu mobil bersama seseorang yang baru kau kenal, lebih tepatnya kau ketahui, ditambah dengan pertemuan pertamamu yang buruk. Dan ... kemana ia akan membawaku? Aku bahkan belum memberikan alamat rumahku padanya. Dan jalan ini tidak terlihat seperti arah pulang menuju rumahku. "Kita lewat jalan pintas. Aku tak mau terjebak macet bila melewati jalur yang biasa kau lalui," ujarnya singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari trotoar di hadapan kami. "Excuse me?" sergahku dengan berharap ia mengulangi kata-kata yang sebelumnya ia ucapkan. Dahiku berkerut dengan pandangan mata yang menuntut. Ia seakan ... mengetahui seluk beluk rumahku dengan baik. Ia tahu kemana arah rumahku dan jalan mana yang lebih baik di tempuh untuk sampai ke rumahku. Ini menakutkan, Seseorang yang baru kau kenal, mengetahui namamu, ibumu, bahkan jalan menuju rumahmu. Apa mungkin ia sanak saudara jauh dari ibuku? Namun aku tak pernah mendengar namanya. Harusnya ia terkenal dengan kemapanannya saat ini. Ia Jason javier, seorang konglomerat kaya yang kini memiliki kesuksesan di usia yang masih muda, ia jelas bukan orang biasa, citra keluarga javier sangat terpandang dan terlihat baik sejauh ini, jadi bila ia sanak saudara jauh dari ibuku, seharusnya aku tak asing dengannya. "Jason, jawab aku. Ini terasa .... " ucapanku terpotong saat ia membuka suaranya. "Kau takut padaku?" selanya dengan menjatuhkan sudut matanya padaku. Aku meneguk salivaku, bohong bila aku mengatakan aku tak takut padanya. Bahkan aku merasa jantungku berdegup cepat ketika ia hanya menatapku dengan wajah datar. Aku meremas jemariku, berpikir akan jawaban yang harus kuberikan padanya. "Hilangkan semua yang terdapat di pikiranmu. Aku tak akan melukaimu, tak ada sedikitpun keuntungan yang kudapat saat aku melukaimu," tambahnya dengan sorot mata yang tak dapat kutebak. Sorot matanya terlalu rumit, terlalu dalam untuk keketahui. Terlalu kelam untuk kepahami. Dan semua itu tertutup oleh perangainya yang memikat. Aku mencoba menenangkan diriku dan berpikir bahwa semuanya baik- baik saja. Ia orang terkenal dan cukup kaya, ia tak mungkin berniat jahat padaku, 'kan? Maksudku, ia memiliki segalanya, ia dapat mendapatkan sesuatu yang ia inginkan dengan mudah. Tak ada sesuatu sedikitpun dalam diriku yang menarik baginya. Aku bukan orang berada, tak ada hal yang bisa ia dapatkan dariku. Mobil Jason berhenti melaju, membuatku tergelak dan lekas tersadar dari lamunanku. Rumahku. "f**k," rutukku ketika menyadari Jason mengetahui tempat tinggalku dengan baik. Ini bukan masalah seseorang mengetahui rumahku, masalahnya aku merasa aku tak mengenal Jason, dan ia juga tak menjelaskan bagaimana ia mengetahui mengenai diriku. "Bad words," ujarnya. "Kata yang kurang tepat untuk mengakhiri perjalanan" Aku meneguk salivaku. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi, ia membuatku tak nyaman dan merasa takut. "Te-terimakasih atas tumpangannya Mr. Javier," ucapku cepat dengan bergegas melangkah keluar dari mobil hitamnya. Belum sempat aku menutup pintu mobilnya, tanganku tertarik, pergelangan tanganku digenggam erat. Ia menatapku, mengunci pandangan mataku dengan sorot mata hitamnya yang dalam. Aku dapat merasakan jantungku berdegup, bukan--ini bukan perasan berdegup khas jatuh cinta, ini perasaan yang berpadu antara rasa takut, cemas, dan juga rasa terintimidasi. Sorot matanya gelap, tajam seperti belati, garis rahang dan alisnya menegaskan auto dominan dari dirinya. "Mr. Javier," bisikku, dengan nyali yang menciut. "Sampai jumpa, Mrs. Carson," ucapnya dengan tersenyum miring, melepas pergelangan tanganku yang sebelumnya ia genggam. Aku berlari masuk ke dalam rumah, mengabaikan mobilnya yang belum beranjak pergi dari halaman rumahku. Ia gila, manusia paling menakutkan yang pernah kutemui. Ia dominan dan penuh kendali. Aku bahkan baru benar-benar bisa bernafas saat berhasil pergi dari jangkauannya. Jason Javier memang sesuatu yang lain. Ia seakan dapat membaca seluruh isi kepalaku. Ia seolah mengenaliku lebih dari aku mengenali diriku sendiri. Ia menakutkan. Dan aku tak ingin bertemu dengannya lagi, aku tak mau. Aku mungunci pintu rumahku lalu masuk ke dalam kamarku, memejamkan mataku setelah melemparkan tubuhku di atas ranjang, hari ini benar-benar gila. semua kejadian yang terjadi hari ini sangat aneh. Jason Javier, Terlalu banyak teka teki yang muncul saat aku mengingat namanya. Mungkin aku harus menanyakan hal ini pada mom, aku harus memastikan bahwa setidaknya, mom benar-benar mengenal Jason. . . . . >>>>>>>>>>>> To be continue 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD