Bagian II : Tatapan tajam

2281 Words
Seluruh siswa memasuki ruang auditorium dengan cepat. Kali ini aku sungguh heran, mereka terlihat sangat antusias dengan seminar kali ini, tak ada panitia yang mati matian memaksa kami masuk seperti biasanya. Dan yang lebih hebatnya, anggota geng Miracle, sudah berada di kursi kebanggaan mereka, kursi di barisan paling depan. Biasanya mereka masuk beberapa menit sebelum seminar di mulai. Hal itu akan menarik perhatian seluruh hadirin, dan mereka akan sangat senang bila menjadi pusat perhatian. Aku duduk di bagian tengah kursi auditorium. Mataku menatap ke segala arah, berharap aku dapat menemukan Maggie di sini. Hanya Maggie teman yang kumiliki, sejujurnya aku tak sulit untuk bergaul, aku bukan seorang kutu buku pendiam yang tidak mengerti caranya memulai sebuah pertemanan, namun aku lebih terbiasa untuk membuka pertemananku dalam lingkup yang kecil. Pandangan Mataku bertemu dengan Maggie, ia melambaikan tangannya padaku. Ia terlihat semangat sekali saat ini, jelas. Ia memiliki banyak waktu untuk dekat dengan lelaki yang ia suka melalui seminar ini. Aku menutup kupingku saat dengung suara mikrofom terdengar dari atas panggung, perhatian seluruh hadirin terpusat pada seorang lelaki tua dengan rambut yang sedikit putih, berjalan menaiki panggung dengan wajah yang tampak berseri. Ia merupakan salah satu Dosen yang mengajar di kelasku, aku yakin ia akan melakukan sambutan pembuka di acara ini. "Itu dia--lihat dia di sana" Aku melirik dua orang gadis di belakangku, mataku mengikuti arah pandangan mereka. Pada seorang lelaki yang kini berdiri tepat di belakang panggung. Ia mengenakan jas abu-abu yang berwarna senada dengan kemeja di bagian dalamnya, rambut hitamnya tertata rapih ke belakang, dengan warna kulit cokelat ke emasan yang terlihat semakin menarik di bawah sorot lampu panggung. Aku mengerti sekarang. Narasumber kali ini memang memikat. Parasnya tampan. Ia bukan lelaki paruh baya membosankan yang biasa mengisi seminar kami. Ia sesuatu yang berbeda, ia memiliki pesona yang baik. Semua ini terlihat masuk akal, bagaimana Maggie terlihat sangat antusias, anggota geng miracle hadir dengan semangat, dan kini---dua gadis di belakangku tidak berhenti mengeluarkan kata pujian pada lelaki di bawah sana. Mataku mengerjap saat pandangan mata kami bertemu, aku terdiam memandangnya untuk beberapa saat. Pandangan matanya benar-benar intens sekalipun raut wajahnya datar. Rahangnya yang tegas dan alis yang tebal membuat ia terlihat jauh lebih mengintimidasi. Ia seperti memiliki daya pikat, namun membuatmu tak berkutik hanya melalui sorot mata yang ia berikan. Aku mengalihkan pandanganku saat merasa hawa dingin yang menyelimuti tengkuk dan leherku. Aku tak tahu seseorang dapat memiliki pesona sekuat itu. "JASON JAVIER" Aku menatap riuh tepuk tangan di sekelilingku saat aku tersadar dari lamunanku. Lelaki itu, lelaki yang menatapku tadi melangkahkan kakinya menaiki panggung, sorak riuh menggema di seluruh penjuru ruangan audiotorium, sangat riuh, bahkan Miracle, kini berdiri dari bangkunya dan berteriak dengan histeris. Aku berharap sebentar lagi mereka akan kejang-kejang dan mati di tempat. Doa seorang pecundang. Tubuhku menegang, aku seperti mendengar suara seorang lelaki di kepalaku. Aku menoleh ke sisi kanan dan kiri, semuanya wanita. Kepalaku mengadah mencoba menoleh ke belakang, tak ada siapapun yang patut kucurigai. Hanya terdapat sepasang kekasih yang asik dengan gadget yang mereka genggam masing - masing. Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, halusinasiku mulai meliar mungkin. Atau karena kurang tidur, aku menjadi tidak fokus dan berpikir yang tidak-tidak. "Ku pikir aku mulai gila," rutukku dengan memijat pelan pelipisku. Kau jelas mendengarku, my darl. Kugelengkan kembali kepalaku, menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan pikiranku sejenak. Ini pasti karena aku terlalu banyak berurusan dengan tugas dari Mr. Lambert. Imajinasiku mulai mengembang. Aku seperti anak kecil yang terperangkap oleh khayalanku sendiri. "Ketika Anda, mencoba untuk membangun suatu impian, baik itu dalam cakupan karier, atau suatu project ... " Mengabaikan hal aneh yang terjadi padaku, aku kembali menatap ke arah panggung, mencoba memfokuskan perhatianku pada Jason Javier yang masih sibuk menyampaikan materi di sana. Semua audience benar-benar terpukau dengan Mr. Javier, aku yakin mereka sama sekali tidak menyimak apa yang disampaikan Mr. Javier, perhatian mereka hanya berpusat pada pesona lelaki itu yang terlalu memikat. "Mulailah membangun relasi, perkuat hubungan kalian dengan orang yang memiliki visi dan misi sejalan dengan apa yang Anda inginkan" Pandangan mata kami kembali bertemu. Sialnya, aku merasa kulit leherku berdenyut sekarang. Aku mengusap tengkukku perlahan berharap rasa aneh yang kualami lekas menghilang, namun leherku justru semakin berdenyut. Ini hanya perasaanku saja atau apa? Kurasa pandangan Mr. Javier tak berpaling dariku. Netra itu masih menjatuhkan pandangannya padaku, dengan sedikit seringai aneh yang terlihat dari sudut bibirnya. "Walau terkadang sedikit menyakitkan ... setidaknya, kalian akan merasakan kesulitan itu bersama, kalian tidak merasa seorang diri" Aku menautkan alisku, sial, kini kepalaku terasa pusing dan sedikit berputar. "Permisi" Aku memutuskan untuk beranjak dari kursi dan berlalu meninggalkan ruang auditorium tanpa banyak berucap, denyutan di leherku berkurang saat kakiku melangkah semain menjauh meninggalkan ruangan ini. Semakin lama aku berada di sana, aku semakin merasa tak nyaman. Aku merasa hawa panas di sekelilingku, leherku berdenyut, dan bulu kudukku sedikit meremang ketika mengingat bagaimana lelaki itu tersenyum miring dari atas panggung. Seolah memberikan sorot mata meremehkan sekaligus mengintimidasi di saat yang bersamaan. Mungkin aku saja yang berpikir berlebihan, tetapi entah mengapa aku merasa tatapan Mr. Javier tadi tertuju padaku. Ini mustahil bukan? Ada ratusan mahasiswa di sana, tak mungkin ia memperhatikanku. Aku terduduk di sebuah kursi untuk beberapa saat, mencoba mendapatkan sebanyak-banyaknya udara segar untuk menjernihkan pikiranku. Aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya, apa mungkin karena waktu istirahatku yang berkurang, aku kesulitan berkonsentrasi dan mulai berhalusinasi? "Aku kurang istirahat," gumamku dengan mengusap wajahku kasar. Setelah lebih dari lima belas menit aku duduk, aku beranjak bangkit dan berjalan menuju kamar mandi. Kondisi lorong masih sangat sepi mengingat hanya aku yang berada di sini. Seluruh mahasiswa masih mengikuti seminar yang sedang terjadi di dalam. Kurasa aku tak akan kembali ke dalam, aku akan langsung pulang sekarang. Aku menyalakan keran air, mengusap wajahku dengan aliran air pada westafle di depanku. Aku perlu menjernihkan pikiranku. Dan air ini sedikit membantu untuk kembali menyegarkan tubuhku. "Ya Tuhan...." Alisku bertaut, menatap segurat merah yang kini semakin terlihat jelas di leherku. "Apa-apaan ini?" Bila ini gigitan serangga, aku mungkin akan mengolesnya dengan obat nanti malam, aku tak tahu bila warnanya semakin pekat dan memerah. Dan aku yakin bercak ini yang membuat kulit leherku berdenyut sedari tadi. Krek! Aku mengalihkan pandanganku saat pintu utama kamar mandi terbuka, perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari siapa sosok yang berdiri di hadapanku saat ini. Tubuhku menegang, kakiku terasa kaku dan lidahku terasa kelu untuk bersuara. Aku masih meyakinkan apa yang kulihat saat ini benar adanya, mengabaikan kenyataan bahwa kini seorang lelaki baru saja memasuki kamar mandi wanita. Jason Javier. Lelaki yang sebelumnya berada di ruang auditorium, lelaki yang tadi berdiri di atas panggung. Sekaligus lelaki yang sempat membuatku bergedik ngeri saat aku merasa pandangannya terjatuh padaku tadi. Jason Javier. Ia berdiri di ambang pintu, menjatuhkan sorot mata gelap setajam belati itu padaku. Terasa menusuk seolah aku dapat merasakan bahwa udara di sekitar kami kembali  menipis sekarang. Dari posisiku sekarang, aku dapat menghirup perpaduan aroma mint dan cinnamon yang terpancar kuat dari tubuhnya. Mengapa ia berada di sini? Apa materi seminar yang ia sampaikan sudah selesai? "Savannah Carson," ujarnya dengan suara yang tenang. Nada suaranya terdengar dominan, dan caranya memandang masih sama, tajam dan dalam. Tetapi tunggu sebentar, apa ia baru saja memanggil namaku? "Maaf Mr.Javier, tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormatku padamu," ujarku memberanikan diri, suaraku bahkan sedikit bergetar. Lelaki ini terlalu menintimidasj  "Aku rasa kau salah masuk. Kau bisa melihat di sana, ini kamar mandi wanita." Aku berucap sopan dengan pandangan mata yang melirik ke arah pintu, menunjukan kepadanya bahwa ada gambar wanita di dasar pintu ini. Ia tampan, kaya dan cerdas, namun sedikit  bodoh karena tidak bisa membedakan toilet lelaki dan toilet wanita. Atau mungkin ia sadar, namun memilih mengabaikan hal ini? "I see," jawabnya datar. "Aku mencarimu" "A---aku?" "Kau lebih menarik dari apa yang aku bayangkan," ujarnya membuat degup jantungku berdegup kencang. Matanya bergerak menilai, seolah mengamati penampilanku terang-terangan. "Interesting," tambahnya sudut bibir yang membentuk seringai kecil. Aku meneguk salivaku, seharusnya aku berteriak sekarang, seorang lelaki memasuki kamar mandi wanita, ia masuk secara sadar dan aku tengah berada di sini sekarang. Namun apa yang kulakukan justru sebaliknya, aku hanya diam dan masih berpikir akan semua perkataan yang ia sampaikan padaku. Rasanya tubuhku terlalu lemas untuk mengeluarkan suara sekarang. "Aku tak mengerti apa yang kau katakan Mr.Javier," ujarku setelah menemukan suaraku. "Aku tidak mengenalmu" "But, i knew you" Lagi, perkataannya menimbulkan kerutan besar di dahiku. "Kau membenci teman-temanmu?" Ia melangkah lebih dekat, mengabaikan reaksiku yang masih terkejut dengan semua yang ia katakan. Aku memundurkan kakiku perlahan, mencoba menjaga jarakku darinya. "Lebih tepatnya, sekumpulan gadis di barisan depan yang mengagumiku tadi, apa aku benar?" Aku menyeringit, orang ini bertanya seolah ia memang mengenalku, dalam artian mengenalku secara dekat. Dan hei? Ini aneh, ketika seseorang yang baru kau temui berbicara kepadamu seolah kau adalah seseorang yang ia kenal dalam hidupnya. Creep. "Aku--aku benar-benar tak mengerti apa yang kau bicarakan Mr.Javier. Maaf bila ini terkesan kurang sopan, Aku mohon permisi," jawabku memilih untuk mengakhiri pembicaraan ini. Aku tak ingin dekat dengannya. Kakiku melangkah cepat melewati tubuhnya yang cukup tinggi. Aku tak peduli dengan siapa dirinya, aku tak mau terjebak bersama seorang lelaki di dalam kamar mandi. Bila sampai ada seorang mahasiswi yang menemukan kami disini, pasti aku akan habis menjadi bahan perbincangan. Terutama miracle, berita dari mulut mereka lebih cepat menyebar daripada pemberitahuan dari pihak Kampus. "Lehermu berdenyut, 'kan?" Aku terdiam, langkah kakiku lantas berhenti dengan cepat. Yang benar saja, dari mana ia tahu tentang hal ini? "Maaf tuan, apa--" "Aku memilikinya juga, sama sepertimu." Jason menurunkan sedikit kerah kemejanya, menunjukkan sebuah guratan yang mirip dengan apa yang kulihat di leherku, "Tapi sudah menjadi hitam, dan punyamu akan seperti ini," jelasnya lagi. Aku menatapnya heran, dari mana ia tahu? Semakin lama aku berada di dekatnya aku semakin takut, ia membuatku tak nyaman dengan kata-kata yang ia ucapkan. Aku tak tahu mengapa ia bisa mengerti leherku berdenyut dan memerah, aku tak mengerti mengapa ia bisa tahu aku tidak pernah menyukai para gadis miracle. Dan demi Tuhan, aku bahkan tak mengerti bagaimana ia mengetahui namaku, ia juga mengatakan ia mencariku bukan? "Ini hanya sebuah luka, atau mungkin karena alergi," tandasku mencoba untuk terdengar masuk akal, "Aku akan lekas pulang, bila tak ada hal lain yang kau perlukan, aku permisi Mr. Javier" Aku berjalan cepat keluar dari kamar mandi, mengabaikan tatapan matanya yang terus menatapku saat aku melangkah keluar. Aku menghela nafas lega, berada satu ruangan dengannya membuatku kehabisan nafas. Lelaki itu terlalu mengintimidasi, semua perkataan yang ia ucapkan menunjukkan seakan ia mengetahui diriku, seakan ia dapat membaca semua yang aku pikirkan dengan mudah. Dia benar benar menakutkan. Apa ia seorang cenayang atau semacamnya? Aku menggeleng kecil, mencoba menghilangkan semua hal menakutkan yang berputar di kepalaku. Hari ini benar-benar aneh. Ini bukan hari terbaikku, satu satunya hal yang ingin kulakukan hanya kembali ke rumah dan berbaring di atas ranjang tidurku. Drrt, drrt. Aku merogoh saku celanaku saat ponselku bergetar, menatap sebuah pesan dari mom. Ia menanyakan keberadaanku saat ini, bahkan Mom masih menanyakan keberdaanku saat aku sudah mengatakan aku akan pulang cepat, entah mengapa akhir akhir ini kekhawatirannya semakin menjadi jadi. Aku membalas pesannya untuk memberi tahu keadaanku padanya, kemudian menyimpan benda pipih tersebut di dalam saku celanaku. "Mrs. Carson?" Aku meneguk salivaku, suara itu lagi. suara Jason Javier. Aku tak mengerti mengapa ia kembali berbicara padaku, bukan--bukan karena aku tak senang berbicara dengannya, siapa yang tidak senang berbicara dengan seorang Jason Javier? namun setelah semua kata-kata yang ia ucapkan di kamar mandi, aku menjadi tak nyaman. Ia membuatku sedikit takut. Tidak, ia membuatku ketakutan dengan sikap dan perkataannya. Aku memutar tubuhku, menatap eksistensinya yang berdiri di tepat belakangku. "Maafkan aku Mr. Javier, tanpa sedikitpun mengurangi rasa hormatku padamu, sejauh ingatanku, kita tak saling mengenal sebelumnya ... Aku bahkan tak mengerti dari mana kau mengetahui namaku. Aku rasa statusmu sebagai konglomerat kaya membuatmu tak mempunyai waktu untuk menguntit kehidupanku sedikitpun, Aku--ah lupakan, kau membuatku takut," seruku berterus terang. Persetan dengannya, aku kehabisan kata-kata dan justru terlihat bodoh di kalimat terakhir. "You freak out" Jason bergumam kecil, dahinya membentuk sebuah kerutan kecil. Aku yakin, ia mengerti apa yang aku rasakan, dan aku juga yakin ia seharusnya tahu bahwa apa yang ia lakukan di kamar mandi tadi membuatku tak nyaman. "Suaramu bahkan bergetar," tambahnya. "Jelas aku tak nyaman bila kau terus menerus mengikutiku. Aku bahkan tak mengenalmu, apa kita pernah berkenalan sebelumnya? Bagaimana kau mengetahui nama--" "Look," selanya dengan menyentuh bagian atas kardiganku. "Kurasa papan nama di pakaianmu cukup jelas untuk memberikan informasi mengenai identitasmu, dan aku tidak menguntitmu, kau berdiri tepat di sebelah pintu masuk mobilku," seringai miring kembali terukir di wajahnya, jemarinya mengangkat kunci mobil, menunjukkan bahwa mobilnya berada tepat di samping tubuhku. Aku terdiam beberapa saat saat mendengar pernyataannya. Otakku mulai berpikir dan melirik kepapan naman yang berada di kardiganku. Semua yang mengikuti seminar wajib mengenakan tanda pengenal. Tulisan ini besar, mana mungkin Jason tak dapat membacanya? Aku mengalihkan pandanganku, kakiku melangkah menyingkir perlahan untuk membiarkannya masuk ke dalam mobilnya. Jason melangkah masuk, namun lekas membuka kaca jendelanya sebelum benar-benar pergi. "Butuh tumpangan?" Aku menggeleng, mencoba mengabaikan fakta bahwa kini pipiku memanas. Mengapa aku bisa lupa bahwa aku memakai identitas yang besar? Tapi, hal ini tetap tidak menjelaskan bagaimana ia bisa mengetahui aku memiliki luka di leherku, atau--bagaimana ia mengetahui aku tidak menyukai para gadis miracle? Aku--aku tidak peduli, aku tidak ingin memikirkannya lagi. "Sampaikan salamku untuk Julia Carson," seru Jason sebelum pergi dengan mobil hitamnya. Aku tergelak, ia mengemudikan mobilnya dengan cepat saat mengatakan kalimat terakhirnya padaku. Aku dapat memastikan Pendengaranku tidak berkasalah. Pendengaranku masih baik. 'sampaikan salamku pada Julia Carson' Julia carson. Dari mana ia tahu nama ibuku? . . . . >>>>>>>>>>>To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD