Bagian IV : Suatu Keanehan

1263 Words
"Jadi, apa mom mengenal Jason?" tanyaku diiringi gerakan isyarat yang kulakukan dengan tanganku. Aku menanyakan hal ini langsung saat mom pulang dari toko kuenya, kami duduk di kursi ruang makan dengan beberapa makanan cepat saji yang aku pesan untuk hidangan makan malam. Hari ini aku tak sempat memasak, aku terlalu lelah, begitupun dengan mom. Wanita ini bahkan baru pulang pukul tujuh malam. Aku tahu, mungkin hal mengenai Jason Javier tidak penting untuk kami bicarakan, maksudku--aku tak akan bernamu dengan lelaki itu lagi, kan? Kami hanya tak sengaja bertemu di acara kampus.  Namun aku tetap penasaran, aku hanya ingin tahu apa mom mengenal Jason Javier atau tidak. Dan apapun yang mom katakan, aku tetap tak ingin bertemu dengan lelaki itu. Aku tak mau bertemu dengannya lagi.  Mom melepas mantel coklatnya, menyampirkannya di atas sampiran kayu sebelum pandangannya kembali terjatuh padaku, alisnya menyeringit bingung, ia menggeleng. 'Tidak. Seperti apa rupanya?' Ia menggerakkan tangannya perlahan, membuat suatu gerakkan isyarat yang aku mengerti. "Berambut hitam dengan mata hitam, mmm ... dia seorang pengusaha terkenal, apa kita memiliki seorang saudara sepertinya?" jawabku. Mom memahami gerakan isyarat yang aku tunjukkan, aku dapat melihat kerutan di dahinya, jelas sekali--penjelasan yang aku berikan tidak cukup jelas untuknya. 'Apa nama belakangnya?' "Javier, Jason Javier. Dia bagian dari keluarga Javier. Kau pasti pernah mendengarnya kan mom? Apa kau mengenal keluarga Javier secara dekat?" Mom terdiam--lebih terlihat seperti tertegun. Alisnya bertautan, aku dapat merasakan ketegangan yang ia rasakan. Ia belum bereaksi apapun, namun aku dapat merasakan gejolak emosi yang muncul di netra birunya, matanya mulai berkaca-kaca, dengan jemari yang yang mengepal erat hingga jemari tangannya memutih. "Kau baik-baik saja mom?" tanyaku dengan nada suara yang lebih rendah. "Mom?" Mom tidak menjawab apapun, ia memilih bangkit dari kursi kemudian masuk ke dalam kamarnya, aku menatapnya tanpa berkedip. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah padanya? Aku tak pernah melihat mom bersikap seperti ini, ia sangat sabar, bahkan disaat tersulit sekalipun, ia tak pernah marah, namun kini, ia memilih pergi begitu saja dengan mata yang berkaca-kaca. "Mom ... " Aku beranjak bangkit dari kursiku, mengetuk pintu kamar mom dari luar. Ia mengunci pintu kamarnya. Ia tidak membiarkan diriku masuk. "Mom, apa yang terjadi? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? " Tak ada sedikitpun jawaban dari kamarnya, aku kembali mengetuk pintunya, berharap mom membuka pintu kamarnya dan berbicara padaku. "Mom, buka pintunya. Aku tak mengerti mengapa kau bersikap se--baiklah lupakan. Kita lupakan semua yang kita bicarakan sebelumnya. Keluar mom, kau harus makan, paling tidak makan sedikit makananmu," pintaku dengan kembali memutar kenop pintu kamar mom. Terkunci. Mom tak mau membuka kamarnya. Aku menghela nafas lalu kembali merapihkan makan malam mom dan memasukkannya ke dalam kulkas, Wanita itu pasti membutuhkan waktu untuk berfikir bila sudah mengurung dirinya dalam kamar. Walau aku tak tahu apa yang ia fikirkan. Aku sedikit menyesal menanyakan perihal Jason Javier kepada mom, walau jauh di dalam hatiku, aku penasaran, aku penasaran mengapa reaksi mom seperti ini. Mungkin bila situasi sedikit membaik, mom akan berbicara denganku. Aku meraih pastaku, lalu memakannya satu demi satu suapan.  Pandanganku teralih saat dering ponselku bergetar diatas meja makan. Aku berjalan, meraihnya, lalu mengangkat panggilan masuk dari Maggie. "Halo, Maggie?" "Savannah ... tuhan, kau baik baik saja bukan? Aku takut, situasi kampus sangat buruk saat ini, kau sudah di rumahmu kan?" Dahiku berkerut saat mendengar nada khawatir dari suaranya di sambungan telepon, Apa yang terjadi? "Tentu Maggie, ini hampir pukul delapan malam, aku sudah di rumah. Mengapa kau menghubungiku? Kau baik-baik saja?" tanyaku. Tak mungkin semuanya baik baik saja bila ia secemas ini. Aku bisa memahami bagaimana keadaan seseorang melalui nada bicaranya. "Syukurlah, aku khawatir denganmu, kau pulang lebih dulu dibanding diriku," ujarnya. "Beritahu aku Maggie, apa yang terjadi?" Aku mendengar helaan nafas panjang yang terdengar di seberang sana, hening sejenak, sebelum ia kembali membuka suaranya padaku. "Joanna. Ia ditemukan tewas di parkiran kampus. Tak ada rekaman CCTV. Aku dan beberapa panitia lain berada di kepolisian saat ini, kami menjadi saksi. Aku menghubungimu hanya untuk memastikan keadaanmu, bersyukurlah kau baik baik saja" . . . . . Aku melangkah turun dari taxi, berjalan memasuki rumah duka di  kediaman Joanna. Aku memang tak dekat dengannya, bahkan bisa dikatakan, aku membenci komplotannya dulu. Aku membenci para gadis Miracle.  Aku tak suka kelakuannya semasa hidup. Namun aku tak sejahat itu, tak mungkin aku bersuka cita saat ia sudah tak ada. Dan semua ini sungguh mengejutkan, Joanna tewas dengan enam tusukan di dadanya, tak ada satupun siswa yang melihat, bahkan sampai saat ini, khasus Joanna masih menjadi belum menemui titik terang. Polisi masih mencoba mencari tahu siapa dalang pembunuhan dan apa motif dibalik semua kejadian ini. Bukankah ini mengejutkan? Pembunuhan terjadi di lingkungan kampus, parahnya, tak ada satupun saksi mata yang melihat. Dan tak ada rekaman CCTV yang berhasil merekam pelaku pembunuhan. Aku duduk dikursi yang di sediakan dalam diam, suasana duka begitu terasa. Aku memandang ke sudut ruangan, ibunda Joanna duduk di sana dengan air mata yang membasahi pipinya, bahunya berguncang beberapa kali akibat menahan isakan, walau isakan itu berhasil lolos. Tak dapat tertahankan. Dari sini, aku dapat melihat anggota geng miracle lainnya, mereka terlihat diam dan tak banyak bicara. Pandangan mata mereka kosong tak percaya, aku tahu sulit untuk kehilangan sahabat sekaligus leader mereka. Bahkan bila dapat kukatakan, Joanna adalah salah satu orang yang berpengaruh dari Miracle. Ia cantik, walau sifatnya terlalu bossy dan mengatur semuanya sesuai apa yang ia inginkan. "Savannah" Aku menoleh, memandang Maggie yang berjalan ke arahku lalu memeluk tubuhku, ia terlihat muncul dari pintu utama, itu artinya, ia memang baru datang. Dapat kutebak ia lelah, ia mengabariku bahwa ia pulang hampir pagi karena harus memberikan banyak keterangan kepada polisi. "Kau baik baik saja? Aku mengkhawatirkanmu" Ia berucap dengan memeluk tubuhku, aku membalas pelukannya erat. Lalu menarik tubuhku untuk melepaskan pelukan kami. "Aku baik baik saja Maggie. Justru kau yang mengkhawatirkan, kau belum istirahat kan, lihat kantung matamu. Kau harus istirahat, kita pulang setelah ini ok?" Ia mengangguk, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tahu ia benar-benar lelah, selain karena ia belum istirahat ia pasti shock. Ia berada di tempat kejadian, siapapun tak akan menyangka bila kejadian seperti ini dapat terjadi. "Terakhir ia berbicara denganku, ia menanyakan tentang tuan Javier. Kurasa ia tertarik pada lelaki itu, tapi aku tak menyangka, itu akan menjadi percakapan terakhirku dengannya." Maggie berucap dengan helaan nafas yang meluncur dari mulutnya. Aku mendengarkan dengan seksama, sebelum membuka mulutku untuk lekas berbicara. "Jason Javier?" tanyaku memastikan pernyataan yang sebelumnya ia lontarkan. "Iya, setelah itu ia pergi bersama teman-temannya. Dan saat aku selesai berbenah dengan para panitia di ruang audiotorium, terdengar jeritan, kami berlari mencari tahu dan ternyata .... ternyata Joanna ditemukan meninggal di parkiran. Itu ... oh tuhan itu benar benar mengejutkan" Aku merangkul tubuhnya untuk membuatnya sejenak lebih tenang, aku menoleh padanya, menatapnya yang kini terlihat benar benar lelah. Kasihan. Maggie biasanya ceria, namun sekarang ia tampak benar benar shock dan tertekan. "Maggie, kita pulang sekarang. Bagaimana?" "Boleh aku menginap di rumahmu Savannah? Tak ada seorangpun di rumahku, aku ... aku takut," pintanya dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Aku mengangguk, tak masalah. Justru dengan begitu rasa takut dan cemasnya akan berkurang. "Tentu, ayo," ucapku dengan menarik tangannya untuk bangkit.  Kami beranjak menjauh dari kursi yang kami tempati,  lalu mendekat dan berpamitan pada keluarga Joanna, mereka tampak terpukul, namun mencoba terlihat untuk tegar. Yang jelas semua ini memang mengejutkan, semua ini terjadi di saat yang tidak tepat dan terkesan tiba tiba. Aku menghela nafasku dengan berjalan bersama Maggie keluar dari rumah duka. Kuharap, pelaku pembunuhan Joanna dapat ditemukan. Setidaknya itu dapat membuat rasa cemas di kalangan kampus mereda. . . . »»»»»»»» To be Continue «««««««    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD