• SATU •

1048 Words
Hari ini aku mau minta maaf kepada semua pembaca. Karena saat menulis ini aku sedang mengalami gejala covid dan sangat drop, akupun menulis dengan asal-asalan. Jadi aku memutuskan untuk merombak cerita mulai di part ini. Alias ... Mulai lagi dari part 1, tapi karena gabisa di edit di awal, jadi aku akan revisi jika naskah ini sudah selesai. Semoga kalian suka. Dan sekali lagi, aku minta maaf. *** New York. Suara pintu yang berderit nyaring dan pelan, berhasil menelusup masuk ke telinga wanita itu. Suara yang seharusnya tidak muncul pada pukul dini hari. Ada orang asing di depan kamar mereka--Ivana dan mantan suaminya--atau mungkin sebaiknya wanita itu menyebutnya dengan kamarnya sendiri sekarang. Namun walaupun begitu, Ivana tidak langsung membuka mata dan memutuskan untuk diam saja di ranjangnya. Barangkali sisa-sisa pukulan dan tamparan dari Ethan, sang mantan suami, yang meninggalkan luka di wajah wanita itu, telah membuat kedua kelopak matanya yang sayu, semakin sulit untuk dibuka. Atau mungkin karena wanita bertubuh kurus itu benar-benar sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi kepadanya. Toh, hidupnya sudah hancur berantakan karena pria yang kini tertidur di sampingnya itu. Meski mereka berdua telah resmi bercerai sejak enam bulan yang lalu, Ethan ternyata diam-diam mencari tahu keberadaan Ivana. Dan pria itupun mulai mendatangi Ivana di rumahnya. Diam-diam masuk ke kamarnya dan memaksanya untuk menjadi pelampiasan atas nafsu yang tak tertahankan. Ivana tak bisa melakukan apa-apa karena dirinya diancam dan diintimidasi. Sehingga ia pun hanya bisa pasrah saat semua hal buruk terjadi kepadanya. Kali ini, firasat wanita itu berkata, sesuatu yang buruk mungkin akan menimpa mereka; atau salah satu dari mereka. Karena orang asing telah memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh penjaga maupun asisten rumah tangganya di rumah besar itu. Gerakan dari seseorang yang berhasil diintipnya dari celah tubuh Ethan, terkesan sangat berhati-hati. Ia mendorong pintu kayu di hadapannya tanpa suara. Cahaya lampu dari ruangan lain yang cukup terang berhasil menyinari tubuh pria besar itu, dan hal tersebut berhasil membentuk siluet pria itu dengan sempurna di sana. Menggagalkan rencana Ivana yang sedang berpura-pura untuk tidur, untuk bisa menebak siapakah sosok misterius yang berusaha menyelinap masuk ke rumahnya, ke kamarnya. Sekali lagi, Ivana enggan beranjak dari posisinya yang berada di samping Ethan, dimana pria berengsek itu kini menutup matanya sambil memunggunginya dengan lelap dan tanpa rasa bersalah. Lihat saja, Ethan bahkan bisa tidur dengan sangat pulas setelah mendapatkan apa yang dia inginkan. Ia bahkan tak memikirkan perasaan dan kondisi Ivana yang sejak mereka selesai berhubungan terus meneteskan air mata di ranjangnya. Namun Ivana juga tidak berniat untuk pindah dari tempatnya berbaring sama sekali meski sosok berperawakan tinggi dengan topi baseball yang menutupi bagian wajahnya itu sudah mendekat. Samar-samar Ivana membaui aroma antiseptik dan saus keju darinya, sepertinya tertinggal di pakaian atau celananya malam itu. Sayangnya, Ivana sama sekali tak bisa melihat wajah seorang penguntit yang masuk ke dalam rumahnya secara diam-diam itu, karena selain menggunakan topi, ia juga mengenakan masker untuk menutupi area hidung sampai dagunya. Sama sekali tak terlihat. Hanya kilat kecokelatan dari kedua matanya yang menatap lurus-lurus kepada Ethan lah yang dapat ditemukan oleh Ivana. Tubuhnya sedikit bergetar ketakutan, tapi semua ini tak lebih buruk dari apa yang sudah terjadi kepadanya karena Ethan. Pria misterius itu kini sudah berdiri di pinggir ranjang, tepat di depan Ethan yang malam itu benar-benar tertidur dengan nyenyak setelah menyetubuhi tubuhku dengan kasar. Dan Ivana memaksa matanya untuk tetap tertutup, berpura-pura sedang berada dalam dunia mimpi yang indah dan menyenangkan. Meski sebenarnya, wanita itu melihat pria misterius itu mulai mengangkat pisau dalam genggamannya. Dia sudah pasrah. Lebih baik mati di tangan pembunuh daripada harus hidup dalam nelangsa yang tidak berkesudahan. Kehidupan ini terlihat lebih buruk selama Ethan masih ada, pikirnya. Namun, dugaan Ivana tidak benar. Pria itu dengan cepat menusuk leher Ethan, bahkan sampai beberapa kali. Darah segar mencuat dan mengenai wajah Ivana. Gerakan pria itu sangat agresif dan tanpa ampun, ia menusuk tubuh Ethan dengan membabi buta. Membuatnya tewas seketika tanpa adanya sedikitpun perlawanan. Dan pada akhirnya, pria biadab itu pun mengembuskan napas terakhir di hadapan Ivana. Sementara Ivana hanya bisa melihat kematian melalui mata yang mengintip, Ethan telah terbujur kaku di atas ranjangnya. Ia berada di tengah-tengah genangan darah. Akulah saksi atas kematiannya yang mengerikan. Tapi... Kenapa harus aku? Dari semua orang di dunia ini, kenapa harus aku? Takdir telah memilih Ivana. Meski ranjang sempat ikut bergerak saat Ethan mencoba menahan pisau dan gerakan pertahanan yang sangat sedikit itu mungkin akan menggoyahkannya, tetapi Ivana tetap memilih bungkam di sana. Wanita itu bahkan melakukan semua yang ia bisa agar sang pembunuh tidak sadar bahwa dirinya telah terbangun sejak awal dan menyaksikan satu demi satu adegan yang mengerikan itu. Atau mungkin, pembunuh itu sebenarnya sudah tahu bahwa Ivana memang melihatnya tapi ia memutuskan untuk membiarkannya saja malam itu. Membiarkan Ivana bebas dengan perasaan bersalah seumur hidupnya. Setelah mendengar erangan putus asa bersamaan dengan tubuh Ethan yang tak lagi bergerak maupun bernapas, sang pembunuh itu tiba-tiba saja berbalik dan meninggalkan Ivana di sana. Dia tidak membunuh Ivana seperti dia membunuh Ethan. Dia benar-benar membiarkan Ivana begitu saja tanpa merasa cemas bahwa wanita itu bisa saja melaporkannya kepada pihak kepolisian. Ia bahkan tidak berusaha memastikan bahwa Ivana benar-benar tertidur atau sebenarnya melihat semua aksinya tersebut. Ivana seolah tidak terlihat di sana. Ia mengabaikannya dengan sangat sempurna. Bayangan tubuhnya yang besar berjalan santai meninggalkan kamar. Dengan tangan berbalut sarung tangan, pria itu melenggang tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tidak ada tawa atau air mata. Semuanya benar-benar hening seolah kami hanya tertidur di malam hari dan hari akan berjalan lebih baik esok hari. Namun dalam kilauan cahaya yang terpancar dari lampu gantung di ruang tamu, mata Ivana yang bengkak menemukan simbol mawar merah besar pada bagian belakang jaketnya. Tepat di tengah-tengah punggung. Ada tulisan yang tertulis di bawah simbol tersebut, tapi matanya yang terlalu sakit tak mampu membacanya. Sampai akhirnya punggung pria itu menjauh sebelum kemudian benar-benar menghilang di balik dinginnya malam. Tidak lupa, Ivana juga melihat pria itu memasukkan pisau dan sarung tangan yang sudah dilepas ke dalam saku jaketnya tersebut. Siapa pria itu? Aku seharusnya marah karena dia membunuh mantan suamiku. Tapi nyatanya ... Ivana menoleh perlahan, menatap wajah Ethan yang terbujur kaku di sebelahnya. Aku justru senang karena dia telah membunuh Ethan. Bukankah aku seharusnya berterima kasih? Atau ... memberinya hadiah karena telah mewakiliku untuk melenyapkan Ethan dari muka bumi ini? ***

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD