Delapan hari setelah kematian Karen.
SMA Nusantara, Jakarta.
Hari telah berganti, meski rasa ingin tahu di dalam diri Stella terus menghantui. Cewek dengan rambut hitam panjangnya itu mulai penasaran dengan alasan di balik kematian sahabatnya, Karenina Wijaya karena kata-kata Samuel kemarin terus mengusiknya. Mungkin Samuel benar, Karen sudah mencoba menyampaikan sesuatu pada mereka, tapi tidak ada satupun yang menyadarinya karena Karen tidak pernah mengatakannya terang-terangan. Namun, adakah sesuatu yang benar-benar dilewatkan oleh Stella hingga ia harus merasa bersalah sekarang?
Stella menghentikan langkahnya ketika Clara muncul di hadapannya. Sayang, cewek berambut pendek itu sedang tidak sendirian. Ada Ganisa, Helena dan Sera--senior yang diduga melakukan perundungan terhadap Karen--di sekelilingnya. Mereka menatap Stella remeh dengan seringaian puas di bibir mereka.
"Hai, Stella. Long time no see," sapa Ganisa sarkastik. Ia berdiri di sebelah Clara dan merangkulnya akrab. Kemudian melihat Clara yang terpaku di tempatnya. "Lo nggak mau sapa teman lama lo juga, La?"
Stella hanya diam, menatap lurus ke arah Clara yang juga menutup rapat mulutnya. Jika Karen masih hidup, cewek itu sudah pasti membelanya dan memarahi Clara karena berteman dengan musuh bebuyutan mereka di sekolah.
Cewek bertubuh tinggi dengan rambut ombrenya yang khas itu lantas menurunkan tangannya dari bahu Clara dan mengedikkan kedua bahunya. "Well, kalau kalian nggak ada yang mau diomongin lagi, kita cabut aja, yuk?"
Ganisa berjalan di depan dengan Helena dan Sera yang mengekor seperti dayang-dayang di belakangnya. Sedangkan Clara berdiam di tempatnya untuk beberapa waktu sebelum akhirnya turut melangkah pergi dari tempat itu, melewati tubuh Stella yang masih menatapnya dengan penuh harap dan rasa penasaran.
Stella menghela napas panjang setelah Clara benar-benar pergi. Matanya memerah, ada sensasi panas di pelupuk matanya yang sendu ketika Clara memperlakukannya seperti orang asing. Ia pasti sudah menangis sekarang jika tangan seseorang tidak tiba-tiba menepuk bahunya dari belakang dan membuyarkan lamunannya.
"Juna?"
Juna Aditya atau dikenal sebagai bad boy nya SMA Nusantara, muncul di hadapan Stella setelah beberapa hari menjalani hukuman skorsing akibat melakukan kekerasan di sekolah. Juna dan Bani--seniornya--bertengkar hebat karena suatu hal dan berakhir dengan satu pukulan telak yang menyebabkan Bani masuk rumah sakit.
"Lo masuk hari ini?" tanya Stella lagi. "Memangnya hukumannya udah selesai?"
Bukannya menjawab, Juna justru melemparkan buku catatannya pada Stella hingga cewek itu terperanjat dan hampir limbung karena berusaha menangkap benda tipis itu.
"Apaan, nih?" Stella mengangkat buku milik Juna ke udara dan menatap cowok itu bingung. "Lo nggak bermaksud nyuruh gue nyalin semua catatan selama lo absen, 'kan?"
Juna mengangkat bahunya dan hanya menampilkan raut datar di wajahnya yang rupawan.
"Seriously, Jun?" Stella mendesah kasar. "Omong-omong, lo udah makan? Mau ke kantin bareng?"
Juna mengangguk mengiyakan dan berjalan bersama Stella menuju ke kantin sekolah.
Letak kantin sekolah sendiri berada di sudut lorong di antara kelas sebelas dan dua belas. Mereka sering menyebut kantin sebagai perbatasan antara para senior dan junior karena tempat yang dipenuhi aneka menu masakan ini sering dijadikan ajang duel oleh cowok-cowok SMA Nusantara.
Mereka yang berani pada senior dan ingin membuktikan ketangguhan diri, biasanya melakukan duel di depan kantin untuk kemudian ditonton oleh dua kubu tersebut. Juna salah satunya. Cowok berperawakan tinggi dengan otot-otot kecil di lengannya itu berhasil memberikan tinju yang tidak dapat ditangkis oleh Bani--senior sekolah sekaligus pacar Ganisa--hingga cowok yang dikenal sebagai 'tukang palak' sekolah itu masuk ke rumah sakit dan berakhir dengan Juna menerima hukuman skorsing selama tiga hari.
Juna sebenarnya bukan anak nakal, tapi latar belakangnya sebagai 'broken home' karena kedua orang tuanya bercerai, membuat Juna berubah menjadi orang yang berbeda. Ia tidak lagi bersimpati pada orang lain dan memilih menjalani hidup yang keras bersama anak-anak nakal lainnya demi mencapai tujuan yang disebut 'kebebasan'.
Stella duduk berhadapan dengan Juna di salah satu sudut meja di kantin. Stella memesan nasi goreng, sementara Juna dengan bakso kesukaannya. "Kenapa suka banget makan bakso cuma pakai toge sedikit kaya gitu?" tanya Stella ingin tahu. "Pantas aja badan lo kaya mayat hidup, kurus kering kerontang nggak keurus."
Juna terkekeh geli, "Sejak kapan lo peduli sama makanan gue?" dan menyiuk sendok berisi potongan bakso untuk kemudian mengunyahnya. "Badan gue walaupun kurus, tapi tetap bertenaga. Lo bisa liat otot-otot di lengan gue, 'kan?"
Stella meringis jijik dan menggeleng tak habis pikir.
Juna dan Stella tak banyak bicara selama menyantap makanan kesukaan mereka masing-masing. Stella dengan nasi gorengnya dan Juna dengan seporsi bakso yang dipenuhi sambal.
Lalu kemunculan Samuel pun menarik perhatian Stella maupun Juna dari makan siang mereka. Samuel melihat Stella lalu ke Juna bergantian dan tersenyum ramah. "Gue cariin kalian daritadi, ternyata kalian makan siang bareng di sini," kata Samuel. "Boleh gabung?"
Stella mengangguk. "Boleh."
Namun Juna justru buru-buru menghabiskan es teh pesanannya dan bangkit dari kursi.
"Eh, mau kemana?" Stella melihat sisa bakso dalam mangkuk Juna yang tinggal setengah dan melihat sang pemilik heran. "Ini baksonya belum habis."
Juna melihat Stella dan melirik Juna sinis sebelum akhirnya berkata, "Udah kenyang." sembari melenggang pergi meninggalkan Stella dan Samuel dalam suasana yang canggung di sana.
Samuel menempati kursi yang sebelumnya diduduki oleh Juna dan melihat makanan di hadapannya dengan bingung. "Juna kenapa? Kaya nggak senang gitu kalau gue gabung."
Stella mengangkat bahunya acuh dan meneguk es jeruk miliknya. "By the way, tadi kemana?" Cewek itu mendorong gelas dan piring miliknya yang sudah kosong menjauh. "Katanya lo dipanggil sama guru konseling. Ada masalah?"
Samuel menggeleng cepat. "Guru konseling cuma nanya soal kematian Karen," tukasnya.
"Terus, lo jawab apa?"
Cowok berusia 17 tahun itu lalu menopang dagu dengan tangan kanannya dan menatap Stella sendu. "Gue cuma bisa jawab apa adanya. Kami nemuin jasad Karen di dekat sungai harapan malam itu dalam keadaan meninggal."
Stella mengangguk prihatin. Butuh beberapa detik keheningan berlalu sampai akhirnya cewek itu menyadari sesuatu dan berdeham pelan. "Sam, ada sesuatu yang mau gue tanyain sama lo, deh," katanya berhati-hati.
"Ya, silakan. Mau tanya apa memang?"
Stella mencondongkan wajahnya pada cowok di hadapannya itu dan memandangnya penuh selidik. "Malam dimana lo nemuin jasadnya Karen, apa Om Antoni ada di sana?"
"Enggak." Samuel mengerutkan keningnya, mencoba mengingat-ingat sesuatu. "Gue nemuin jasad Karen sendirian karena Om Antoni pergi ke arah berlawanan."
"Jadi, lo satu-satunya orang yang lihat mayat Karen malam itu?"
Samuel menggumam pendek dan mengangguk mengiyakan. "Technically yes. Setelah gue pastikan kalau jasad itu memang Karen, gue langsung manggil om Antoni dan polisi lainnya."
Stella menggigit bibir bawahnya gugup, tangannya tiba-tiba gemetar. Pikiran mengerikan mulai melintas di kepalanya. Ia menarik napas panjang dan membatin, "Bagaimana jika sebenarnya Samuel juga terlibat?" []