#36 : Meninggalkan Rasa Percaya

2091 Words
ANGIN yang berembus menerpa rambut-rambut tipis yang kubiarkan terurai tanpa ikat rambut sedikitpun. Setelah mengganti pakaian dengan gaun tidur yang lebih panjang, yang mana kurasa Mom lah yang membantuku melakukannya, aku pun memutuskan untuk duduk di halaman depan, mengamati kebun-kebun bungaku dari dekat. Sesekali wajahku mendongak, kedua mataku menatap langit. Suasana sore ini memang lebih baik dibandingkan beberapa jam yang lalu. Setidaknya aku memiliki buku dan pena untuk menuliskan semua ide-ide yang muncul di kepalaku. Ya, kegiatanku sebelum menikah adalah menjadi seorang penulis. Aku melakukannya untuk mengisi waktu luang pada akhirnya. Hingga pada suatu waktu, ada seseorang yang menghubungiku, editor dari salah satu platform menulis. Mereka meminta bantuan, memintaku menulis beberapa cerita untuk anak-anak, lalu mereka akan membuat ilustrasinya. Aku mendapatkan keuntungan dari menulis. Satu, mereka memberiku royalti dari hasil penjualan buku. Dan kedua, aku dapat menghibur orang lain dengan karyaku. Entah sejak kapan keputusanku untuk menulis ini muncul. Namun kurasa, semenjak Mom meminta Louis datang dan menjagaku di rumah, membuat suasana hatiku mendadak memburuk. Aku tidak ingin kembali ke rumah sakit jiwa, tetapi perlu membuktikan bahwa aku memang tidak gila. Dan tanpa sadar, aku justru mendeskripsikan sosok pelaku yang kulihat dalam tulisanku ini. Aku pun menghela napas panjang setelah membacanya berulang kali. "Mungkinkah seseorang akan mempercayainya?" Omong-omong, selain Louis, Mom juga meminta Isra untuk tinggal. Ia akan menjadi asisten sekaligus supir pribadiku untuk seminggu ke depan. Mom berkata bahwa ini hanya untuk berjaga-jaga. Namun yang kulihat justru Mom dan Dad melihatku kembali menjadi gadis yang sakit. Mereka mempercayaiku berhalusinasi. Atau ... mereka mungkin percaya bahwa aku melihat dan mendengar sesuatu yang tak nyata. Parahnya, mereka mungkin berpikir bahwa aku kembali gila. "Ah!" Kucoret semua tulisan yang baru saja selesai kubuat dan kututup rapat-rapat. Aku kembali mengembuskan napas dengan berat. Bagaimana kehidupan menjeratku dengan sesuatu yang membingungkan. Seberapa besarkah dosaku hingga dewa menghukumku sampai separah ini? "Ivana?" Aku menoleh ke sumber suara. Ada Louis di sana, dengan nampan berisi dua cangkir di tangannya. "Apa aku mengganggumu?" Sebenarnya iya, tapi aku tak mungkin mengatakannya secara langsung. Ia sudah jauh-jauh datang dan direpotkan. Bagaimana mungkin aku bersikap tak baik kepada pria ini. Aku pun menggeleng pelan dan menggeserkan tubuhku sendiri. "Tidak, duduklah." Dan ia pun langsung menuruti perkataanku. Tangannya menyodorkan secangkir cokelat panas kepadaku dan mengambil sisanya, lalu menyimpan nampan yang sudah kosong di sisi kursi. Ia tampak tersenyum seperti biasa sebelum kemudian mengangkat cangkirnya ke udara, menunjukkan miliknya kepadaku. "Aku menemukan cokelat di dapurmu. Kurasa ibumu menyimpan banyak sekali minuman bubuk di sana. Dia pasti sangat mencemaskanmu." Saat tangan Louis sudah tak lagi terangkat, ia pun menyesap permukaan cokelat yang bahkan masih mengepulkan uap-uap panas di sana. Ia tampak santai dan bersikap baik. Seperti biasa. Dan aku tak mungkin memperlakukannya dengan hal sebaliknya. Sehingga aku pun memutuskan untuk meletakkan buku serta penaku sebelum kemudian turut melakukan apa yang dilakukan Louis beberapa saat lalu. Menyesap cokelat milikku yang dibuatkan oleh Louis. "Kurasa dia sedikit berlebihan," kataku sarkas. "Mom bahkan repot-repot memanggilku kemari. Kau pasti sibuk, bukan?" "Ah, sebenarnya tidak juga." Louis menggaruk tengkuk lehernya dengan satu tangan. Meski aku yakin sekali, pria dengan mata cokelatnya yang gelap ini tak benar-benar merasa gatal. Ia hanya merasa gugup saja. "Dr. Lili meminta bantuan dari perawat lain untuk mengisi jadwalku selama aku tak ada di sana." "Apa tidak apa-apa?" "Tentu." Louis menganggukkan kepalanya dengan penuh percaya diri. Ia lantas kembali menikmati cokelat miliknya, memberi jeda dalam percakapan kami, sebelum akhirnya membuka suara. "Sebenarnya ... apa yang kau lihat di sana, Ivana?" Wajah Louis menoleh ke arahku secara perlahan setelah selesai dengan cokelatnya. Kedua matanya mendadak berubah. Tak lagi seceria sebelumnya. Membuatku sedikit risi pada awalnya, sebelum kemudian aku memutuskan untuk meletakkan cangkir milikku dengan cokelat panas yang masih penuh di dalamnya ke sisi lain kursi. Dan mulai berbicara dengan Louis. "Louis, apakah kau ingat saat kita pertama kali bertemu?" Louis mengangguk lagi. "Aku berkata bahwa aku tidak melakukan apapun. Aku tidak membunuh siapapun, terutama mantan suamiku sendiri. Aku bahkan tak berani untuk sekadar bangun dari lantai karena dia terus memaki dan memukulku. Tanganku bergetar bahkan hanya untuk menahannya agar tidak menendang perutku lagi. Aku tidak mungkin mengarahkan pisau itu ke arahnya." Pria yang duduk di sebelahku ini lantas ikut menyimpan cangkirnya yang sudah kosong ke sisi lain kursi, sama seperti apa yang sudah kulakukan. Selanjutnya, Louis menoleh, kembali menatap kedua mataku. "Aku percaya kau tidak mungkin melakukannya, Ivana." "Lalu bagaimana jika aku berkata bahwa aku melihat sendiri siapa pelakunya? Apakah kau masih akan mempercayaiku?" Louis tak langsung menjawab. Ia hanya terdiam dan menatapku lurus-lurus. Ia tampak berhati-hati saat menjawab pertanyaanku kali ini. Tak ingin salah dalam memberikan reaksi, juga pada gesturnya. Ia hanya menutup mulutnya rapat-rapat dan memperhatikanku. Mungkin berlangsung selama kurang dari satu menit, sebelum akhirnya ia berkomentar. "Aku ingin mempercayaimu. Tapi orang lain tak bisa melakukan hal yang sama, Ivana." Dia benar. "Karena kau tak memiliki bukti dan saksi. Bukankah mereka berkata seperti itu?" Dia benar. Semua yang dikatakannya adalah kebenaran. Namun aku yakin sekali Roma mengetahui sesuatu. Jika dia memang merencanakan hal buruk pada Ethan, dia pasti telah memanfaatkan situasi ini. Namun aku juga tak bisa banyak berharap karena Dante belum menemukan apapun. Sepertinya kasus ini akan menjadi lebih rumit daripada ekspektasiku sebelumnya. Dante pasti perlu bekerja lebih keras untuk membantuku membuktikan semuanya. Tidak akan semudah yang kubayangkan. "Jika apa yang kau lihat itu benar, maka--" "Mereka nyata, Lou!" Tanpa ragu aku menyela ucapan Louis. Semuanya nyata bagiku. Semuanya terlihat dengan sangat jelas. "Haruskah aku meragukan ingatanku sendiri sekarang?" "Saksi ahli menyebut penyakitmu dengan sangat jelas di persidangan, bukan?" Dan pria itu menggeleng perlahan. "Mereka memiliki data, Ivana. Bagaimana kita bisa mengelak sekarang?" "Kudengar para saksi dan polisi yang terlibat dalam sidang pertama dibayar oleh keluarga Ethan." "Apa?" "Seseorang memberi tahuku," kataku. "Siapa? Detektif pindahan itu?" Dari penyebutannya, Louis terdengar sangat tidak menyukai Dante. Meski belum jelas apa sebab musababnya. Dan demi menghindari pertikaian di antara mereka, akupun memutuskan untuk mengambil jalan yang aman. "Kau berkata bahwa kau mempercayaiku, tapi kau juga tidak percaya dengan apa yang kukatakan." Kedua alis Louis tampak mengernyit. "Jadi, kau ada di pihak mana, Louis? Apakah kau benar-benar percaya kepadaku atau tidak? Kau membuatnya menjadi tak jelas sekarang." *** PRESIDEN Joko Widodo memberi sinyal positif memberikan hukuman mati bagi koruptor. Hal itu disampaikan dalam peringatam Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta, Senin (9/12).Dalam peringatan Hari Anti-Korupsi di SMKN 57, Jakarta, Presiden Joko Widodo mengatakan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) bisa saja diterapkan jika itu merupakan kehendak masyarakat. "Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor (hukuman mati) itu dimasukkan," kata Jokowi.Baca juga: KPK Periksa Komisaris Garuda IndonesiaSebenarnya, seperti apa sih hukuman bagi para koruptor di negara-negara lain? Berikut adalah sejumlah data yang dikumpulkan News Research Center Media Group: 1. Tiongkok Tiongkok dikenal sebagai salah satu negara yang paling keras dalam menindak pelaku korupsi. Mereka yang terbukti merugikan negara lebih dari 100.000 yuan atau setara Rp215 juta akan dihukum mati. Kasus pada 2018, Zhou Zhenhong, 56, mantan Chief United Front Work Department (UFWD), dijatuhi hukuman mati setelah terbukti mengambil lebih dari 24,6 juta yuan atau Rp43 miliar.Selain itu, mantan Menteri Perkeretaapian Tiongkok Liu Zhijun terbukti korupsi dan dihukum mati. Vonis itu marak diberlakukan semenjak Xi Jinping menjabat sebagai presiden 'Negeri Tirai Bambu' tersebut 2. Malaysia Sejak 1961, Malaysia sudah mempunyai undang-undang antikorupsi bernama Prevention of Corruption Act.Kemudian pada 1982, Badan Pencegah Rasuah (BPR) dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut. Pada 1997 Malaysia akhirnya memberlakukan undang-undang Anticorruption Act yang akan menjatuhi hukuman gantung bagi pelaku korupsi. 3. JepangJepang tidak mempunyai undang-undang khusus mengenai korupsi. Di negara itu, pelaku korupsi akan diganjar hukuman maksimal 7 tahun penjara. Namun, karena budaya malu di 'Negeri Matahari Terbit' itu masih sangat kuat, korupsi bak aib besar bagi seorang pejabat negara. Pada 2007 silam, Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Toshikatsu Matsuoka bunuh diri di tengah skandal korupsi yang melilitnya. 4. Korea Utara (Korut)Korut juga cukup tersembunyi dalam menerapkan eksekusi mati bagi para pelaku korupsi. Kerahasiaan hukuman ini dikabarkan meningkat sejak negara itu berada di bawah pimpinan Kim Jong-un. Kasus yang paling kontroversial adalah eksekusi mati terhadap paman Kim Jong-un sendiri, Chang Song-thaek, yang diduga melakukan tindakan korupsi dan rencana kudeta.Tercatat, pada 2015, sekitar 50 pejabat dieksekusi mati. 5. Vietnam Hukuman mati untuk koruptor juga diterapkan di Vietnam. Hukuman mati kerap diberikan kepada pejabat negara atau perusahaan milik negara yang terbukti melakukan korupsi. Hukuman tidak berlaku untuk perempuan hamil dan perempuan yang merawat anak di bawah usia 36 tahun saat vonis diberikan. Biasanya hukuman diubah menjadi hukuman seumur hidup dalam beberapa kasus. Pejabat yang pernah dihukum mati atas kasus korupsi adalah mantan Direktur Utama PetroVietnam, Nguyen Xuan Son.Pengadilan Vietnam memvonis mati Son karena terbukti menerima gratifikasi saat menjabat dan diduga keliru menetapkan kebijakan mengakibatkan perusahaan negara itu merugi hingga US$69 juta atau Rp993 miliar. 6. . Singapura Hukum di Singapura tegas terhadap pelaku kejahatan seperti pembunuhan, penyelundupan obat terlarang dan juga korupsi. Pada kurun 1994-1999 hukuman mati diberikan pada lebih dari seribu orang. 7. Taiwan Eksekusi hukuman mati diberikan kepada pelanggaran seperti pembunuhan, penyelundupan obat terlarang, dan juga korupsi. Namun, dalam undang-undang antikorupsi di Taiwan, hukuman mati hanya diberikan kepada mereka yang mencuri uang dari dana untuk bencana alam dan dana untuk mengatasi krisis ekonomi. 8. Jerman Korupsi juga terjadi di negara-negara maju di Eropa, salah satunya Jerman. Negeri di jantung Eropa ini sebetulnya sudah memiliki sistem transparansi keuangan yang baik. Namun, jika seseorang terbukti korupsi, ia wajib mengembalikan seluruh uang yang dikorupsi dan mendekam rata-rata lima tahun di penjara. 9, Korea Selatan (Korsel)Di 'Negeri Ginseng' itu para pelaku korupsi akan mendapatkan sanksi sosial yang luar biasa. Mereka akan dikucilkan oleh masyarakat bahkan oleh keluarga mereka sendiri. Salah satu contohnya adalah mantan presiden Korsel, Roh Moo Hyun. Karena dikucilkan keluarganya dan tidak kuat menahan rasa malu atas kasus korupsi yang menjeratnya, ia memilih bunuh diri dengan lompat dari tebing 10. Amerika Serikat (AS)AS tidak menerapkan hukuman mati bagi para pelaku koruptor karena alasan hak asasi manusia.Biasanya para pelaku koruptor akan divonis 5 tahun penjara plus membayar denda sebesar US$2 juta. Adapun mereka yang masuk dalam kategori kasus korupsi berat terancam hukuman kurung maksimal 20 tahun penjara. (OL-2) Praktik korupsi bukan lagi hal baru bagi kita. Kasus korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia, baik di level pemerintahan maupun masyarakat. Bisa dibilang, kasus korupsi sudah sangat memprihatinkan, seolah menjadi tradisi yang mendarah daging dan tak kunjung menemukan solusi. Nominal uang yang digondol oleh para koruptor pun hingga triliunan rupiah. Tentu saja, tindakan itu merugikan negara. Tidak hanya secara ekonomi, tapi juga mental dan moral bangsa. Belum lagi, penindakan hukum untuk para koruptor masih menjadi polemik. Di Indonesia saja misalnya, hukuman bagi koruptor tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berbunyi: "Setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maka dipidana penjara dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sementara, untuk denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar." Sayangnya, aturan itu tidak sepenuhnya berlaku. Sampai hari ini, penindakan hukum bagi para koruptor di Indonesia masih sangat lemah. Bahkan, mereka seringkali tidak menjalani masa hukuman secara maksimal. Dengan segala remisi, terpidana korupsi bisa keluar lebih cepat dari penjara, melenggang bebas, tampil di layar kaca, dan bahkan mencalonkan diri menjadi pejabat negara. Koordinator Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo mengatakan para pelaku korupsi tidak mendapat efek jera yang sepadan atas tindakan yang dilakukannya. Karena itu, menurutnya, diperlukan sanksi lebih berat daripada hukuman pidana, seperti sanksi finansial agar pelaku jatuh miskin, dipecat, atau larangan untuk maju sebagai pejabat publik. Namun, sejumlah negara menerapkan hukuman ekstrem bagi para pelaku korupsi di negaranya. Berikut ini ulasannya yang sudah dirangkum Indozone dari berbagai sumber, Senin (14/10): 1. Amerika Serikat Amerika Serikat menjatuhkan sejumlah sanksi bagi para koruptor, mulai dari hukuman penjara minimal 5 tahun, denda dengan jumlah besar hingga 2 juta dolar, hingga diusir dari negara. Tidak seperti di Indonesia, Negeri Paman Sam tidak memiliki badan khusus penanganan korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2. China Tahun 2013, tepatnya sejak Presiden Xi Jinping memimpin China, negara ini memberlakukan hukuman mati bagi semua pelaku korupsi tanpa terkecuali. Bisa dibilang, China termasuk negara paling keras dalam penanganan kasus korupsi. Semenjak diterapkan hukuman ekstrem tersebut, ribuan orang telah menjalani eksekusi hukuman mati atas perbuatannya. 3. Jepang Kasus korupsi di Jepang hanya mendapat hukuman penjara maksimal 7 tahun. Jepang tidak memiliki undang-undang khusus tindak pidana korupsi. Namun, negara ini memberlakukan hukuman sosial yang dinamakan 'harakiri', di mana seseorang yang terbukti melakukan korupsi atau suap harus membunuh dirinya sendiri dengan pisau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD