SATU

629 Words
Seperti menjalani pagi yang biasa, kini aku sedang menaiki Busway untuk pergi ke sekolah. Beberapa kali aku menguap, masih merasa mengantuk karena tadi malam hanya tidur sebentar. Pandangan kematian Paman itu, juga orang-orang yang sebelumnya pernah aku lihat membuatku susah tidur. Sebagai akibatnya, aku bangun lebih siang dari biasanya. Ini juga pertama kalinya aku menaiki Busway di jam padat dan krusial seperti sekarang. Busway berhenti di salah satu Halte, beberapa orang turun meski banyak pula penumpang lain yang masuk. Iseng-iseng aku mengamati beberapa penumpang baru walau hanya fokus pada yang memakai seragam sekolah, berharap akan menemukan teman ngobrol di perjalanan yang membosankan ini. Mataku terhenti pada seorang cowok dengan rambut agak berantakan, sepertinya lupa disisir. Dia mengenakan jaket yang cukup tebal di udara pagi yang panas. Lebih aneh lagi adalah tas ranselnya yang kelihatan lusuh dan lama tidak dicuci. Aku rasa itu tidak masalah, mengingat wajahnya lumayan tampan. Aku sedikit mengenalnya. Cowok itu bernama Denis Aditya. Dia bukan teman sekelasku, hanya saja cukup terkenal di kalangan guru karena prestasinya. Dia cukup disenangi para guru dan diabaikan banyak siswa-siswi. Aku bisa menjamin kalau tidak semua orang di sekolah mengingat namanya. Mereka lebih suka memanggilnya Teacher Lovely Dog's. Sangat kasar memang, tetapi kembali lagi. Jarang sekali ada pahlawan kesiangan di zaman sekarang. Denis tiba-tiba mengarahkan pandangannya ke arahku membuatku susah menghindar. Aku ketahuan tengah mengamatinya. Kami beradu pandang sebentar. Tak ingin disalahpahami, aku menganggukkan kepalaku sedikit sebagai tanda untuk menyapanya. Dia membalas sapaan canggungku dengan senyuman tipis. Dia jadi terlihat semakin tampan dengan senyuman itu. Sekarang aku paham mengapa Mia, sahabat sekaligus teman sebangkuku menyukainya. Berkat Mia yang selalu menjadi stalker Denis, mau tidak mau, aku tahu banyak hal tentang cowok yang mungkin bahkan tidak mengenalku itu. Busway berhenti sekali lagi. Kali ini adalah waktunya aku turun. Aku bergegas menghampiri pintu keluar sambil berusaha tidak menyentuh siapapun. Aku tidak pernah tahu kapan penglihatan kematian atau masa depan orang lain akan muncul, jadi harus berhati-hati. Terlebih di hari senin yang cerah ini, aku tidak mau melihat kematian siapapun. Aku berhasil keluar dengan selamat setelah perjuangan yang keras. Aku mencoba setengah berlari menuju jembatan penyeberangan. Setelah melewati ini, aku hanya perlu berjalan beberapa meter untuk sampai ke sekolah. Bruk. Aku tanpa sengaja menabrak lengan Denis yang entah sejak kapan sudah mensejajarkan langkahnya denganku yang setengah berlari. Kami sempat bertatapan sebentar sebelum aku mulai mendapatkan hal yang tidak aku inginkan hari ini ; penglihatan. Seorang cewek terbujur kaku dengan banyak darah di sebuah tempat paling mengerikan di setiap sekolah, toilet! Kalau diperhatikan baik-baik, ada bekas jeratan memanjang lurus dari depan hingga ke samping di lehernya. Wajah cewek itu tidak terlihat jelas karena sebagian wajahnya tertutup oleh rambutnya yang panjang. Penampilannya terlihat berantakan. Samar-samar terlihat matanya terbelalak. Aku terlonjak mundur ketika tangan yang terasa hangat menyentuh tubuhku yang dingin. "Hei, kamu nggak apa-apa?" tanya Denis. Aku tak menjawab, hanya menelan ludah. Keringat dingin merembes turun dari keningku membuat Denis menatapku heran. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya sekali lagi. Aku hanya menggeleng dan memundurkan tubuhku secara otomatis saat dia mencoba meraihku sekali lagi. “Aku duluan,” pamitku lantas segera berbalik dan berlari pergi. Cukup jauh, aku menghentikan lariku lantas menoleh ke belakang, menatap Denis yang masih belum memalingkan pandangannya dariku. Aku mengelus d**a, mencoba menenangkan debaran jantungku yang tidak karuan. Dia memang tampan, aku mengakui itu. Namun bukan itu yang membuatku melarikan diri darinya. Memang, dia bukan korban yang akan mati di dalam penglihatannya. Namun, aku melihat sesuatu yang lebih mengerikan daripada melihat kematiaannya. Denis Aditya, cowok yang baru saja aku puji tampan itu, adalah pembunuhnya! Siapa yang akan dia bunuh atau kapan dia akan membunuhnya, aku tidak tahu. Yang jelas, aku harus segera mencari tahu. Karena bagaimanapun, dia adalah cowok yang Mia sukai dan bisa jadi, korbannya adalah sahabatku, Mia. Aku harus menghentikannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD