DUA

1009 Words
"Oi, Nis," tegur Mia sambil melambai-lambaikan tangan kirinya di depan wajahku. "Kamu kenapa, sih?" Aku tak menjawab, hanya menghela napas, sama sekali tidak tertarik untuk melayani ke-kepo-an sahabatku itu. "Duh, kamu dari kemarin kayak ayam yang udah tahu bakal dikurbanin aja, tahu nggak? Nekuk muka kayak mikul beban berat," sindir Mia mencoba menyalakan api kekesalan di hatiku. Aku hanya mencebikkan bibir lalu membuang muka ke jendela. Sesosok laki-laki yang menggangguku sejak kemarin sedang duduk di bawah pohon dekat kantin. Aura kehadirannya sangat lemah sehingga jauh dari perhatian orang-orang. "Mia, kamu masih naksir Denis?" tanyaku ragu. Aku sedikit ragu menanyakan itu tetapi bagaimanapun aku harus menanyakannya. "OH MY GOD!" teriak Mia keras. Dia bahkan berdiri dari duduknya. Aku yang melihatnya begitu segera menarik satu tangannya agar kembali duduk. Mia pun duduk kembali dengan kedua tangan menutup mulut seolah mengekspresikan betapa terkejutnya dia dengan pertanyaan yang baru saja aku ajukan. "Nis, kamu naksir gebetanku?" tanya Mia dengan ekspresi tidak percaya. Kekesalanku memuncak. Dengan tenaga cukup kuat, aku menjauhkan wajahnya yang sempat dimajukan. “Sembarangan!” desisku tidak terima. “Eh?” “Mana mungkin aku naksir cowok kayak gitu,” ungkapku. "Oh. Bercanda aku, Nis,” kata Mia sambil nyengir. “Kalau nggak naksir, kenapa kamu penasaran? Jangan bilang kalau si Denis bakal mati," kata Mia dengan cemas. Bibirnya agak gemetar dan wajahnya sedikit memucat. Mia sudah tahu mengenai kemampuan anehku. Tentu tidak mudah untuk meyakinkannya bahwa kemampuanku ini asli, bukan rekayasa. Meskipun sedikit percaya dan menyimpan banyak keraguan, Mia tidak pernah mengejekku atau menganggapku gila. Mungkin, itu penyebab mengapa kami bisa bersahabat sampai sekarang. Aku melihat Mia yang komat-kamit tanpa suara menunggu dengan bimbang jawabanku. Aku pun menggeleng pelan beberapa detik kemudian membuat Mia menghela napas lega. "Kalau dia nggak bakalan mati, kok kamu penasaran sama Denis, Nis? Kamu bilang nggak naksir dia, lantas kenapa?" tanya Mia lagi. Aku melihat ragu ke arah Mia, sahabatku itu sepertinya menangkap keraguan yang aku perlihatkan dengan pasti. Aku memutar otak sejenak dan mulai panik ketika melihat Denis sudah berdiri di depan pintu kelas. Sejak kapan dia di sana? Dia bukan setan atau makhluk ghaib kan? Denis menatapku dengan mata dingin bak salju, membuatku menelan ludah. Aku bahkan berkeringat dingin saat dia memberikan isyarat dengan tangannya untuk memintaku mendekat. Mia yang melihat Denis melakukan itu padaku mulai protes dengan melotot ke arahku. Aura Mia terasa menakutkan. Sepertinya sahabatku itu sudah salah paham. "Oi! Ke sini!" panggil Denis cukup keras. Denis pasti kesal karena aku masih bergeming di tempat dudukku. Aku pun terpaksa berdiri dan tersenyum dengan enggan melewati Mia yang sudah PMS tingkat dewa lalu mulai berjalan pelan mendekati Denis. "Ada apa?" tanyaku. Denis menunjuk mataku dengan dua jarinya yaitu jari tengah dan telunjuk yang dia arahkan ke matanya lalu ke mataku. Aku hanya terpaku dengan apa yang Denis lakukan itu. "Kamu tuh sejak kemarin selalu memperhatikan aku. Aku jadi salting ( salah tingkah ). Matamu itu nggak bisa ya nggak liatin aku? Risih tahu," omel Denis dengan nada kesal. "Hah?" Bagaimana dia bisa tahu? Selama ini Mia selalu menjadi stalker-nya, bahkan melihatnya lebih lama dari yang aku lakukan, bagaimana bisa Mia tidak ketahuan sedangkan aku langsung di skakmat di hari kedua? "Begini... aku..." Aku mencoba memutar otakku untuk meloloskan diri dari kecurigaannya. Bisa gawat kalau Denis sampai tahu kalau aku tahu tentang niatnya untuk membunuh seorang cewek. "Aku ke toilet dulu," pamit Mia sambil mendengus kesal. Sahabatku itu berjalan melewatiku dan Denis yang sedang bicara dengan bahasa tubuh yang menunjukkan kecemburuan yang sangat jelas. Langkah kakinya agak dihentakkan, wajahnya ditekuk dan bibirnya mengerucut. "Oi, Mia. Tunggu! Ikut dong," pintaku mencoba untuk melarikan diri dari Denis. Mia menggeleng tegas, ekspresi wajahnya seolah berkata 'Makan tuh Denis!'. Mia benar-benar telah salah paham. “Mia, aku…” “Jangan kabur, dong!” Denis menghalau tubuhku dengan tangannya membuatku berhenti berusaha untuk melarikan dirinya. "Jadi, apa motifmu melakukan itu?" tanya Denis membuatku kembali fokus padanya. Aku hanya diam, menatap cowok bermata dingin itu. “Motifmu apa?” tanyanya sekali lagi, kali ini manik dingin itu mengarah tepat ke manik hitam milikku. "Nggak ada," jawabku santai. Denis mengernyitkan keningnya, heran. "Kamu suka aku?" tuduhnya. Aku membulatkan mata mendengar pertanyaannya. Shock. "Hah? Aku suka kamu?” tanyaku mengulang pertanyaan Denis. Tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Denis mengangguk membenarkan. “Ya, kalau bukan itu, apa alasanmu selalu mengawasiku selama dua hari ini?” tanya Denis. “Itu…” "A..............................." Suara jeritan itu membuatku dan Denis segera berlari menuju sumber suara. Suara itu berasal dari toilet cewek. Kami masuk ke dalam dengan segera. Di dalam sana, kulihat Mia sedang terduduk lemas di depan salah satu kamar mandi yang pintunya terbuka separuh. Aku mencoba mendekati Mia dan pemandangan yang tidak asing bagiku kini terlihat di depan mataku. "Bagaimana bisa?" gumamku tidak percaya. Aku menoleh ke arah Denis dan cowok itu tampak ingin muntah melihat mayat di depannya. Cewek yang ada di penglihatanku kini telah mati bersimbah darah. Aku memberanikan diriku mendekat untuk melihat korban lebih dekat. Aku mengeluarkan sapu tanganku lalu membungkuskannya ke tanganku. Dengan hati-hati aku menyingkirkan rambut panjang korban dari wajahnya. Aku tertegun melihat keadaannya di mana matanya terbelalak, wajahnya membiru, lidahnya terjulur dan ada bekas jeratan yang memanjang di sekitar lehernya. “Dia mati karena dicekik dengan tali,” gumamku pelan.   Aku mengarahkan pemandanganku ke sekitar toilet, taka da tali, benang atau sesuatu yang bisa digunakan untuk menjerat lehernya. Juga, tikaman di tubuhnya, bukan satu atau dua. Seseorang yang bunuh diri tidak akan menikam tubuhnya sendiri berkali-kali. Aku mengerutkan dahi saaat melihat  di dinding toilet terukir sebuah tulisan “Mahal” yang ditulis dengan darah. Apakah ini dying message korban? Mahal? Apa maksudnya? Selain itu, kenapa peristiwa pembunuhan ini terjadi hari ini? Penglihatanku biasanya menampilkan kejadian yang akan terjadi 3 hari kemudian. Jika pelakunya Denis, kenapa cewek itu di toilet wanita?             “Ana.”             Panggilan itu membuatku menoleh, menatap seorang cewek yang cukup popular di sekolah sedang menatap sendu ke mayat yang berada di dekatku. Walau dia segera jatuh terduduk dan menangis tersedu, ada kilatan aneh yang aku tangkap dari senyum samar di bibirnya.             Apa-apaan dia itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD