Tak dapat disangkal, bila kehadiranku kembali di rumah ini membawa atmosfer tersendiri bagi anak-anak. Sepanjang sore Abella dan Davin menempel terus dan juga berlaku manja. Padahal keduanya bukan tipe anak yang kolokan. Karena aku sendiri selalu menerapkan cara hidup yang berdisiplin dan juga bertanggung jawab pada mereka.
Sepertinya kedua anak itu tengah menikmati detik-detik kebersamaan denganku. Karena sudah sebulan ini moment-moment indah ini tidak pernah lagi tercipta. Pun dengan Mas Ferdi.
Sepanjang sore lelaki itu terlihat selalu saja mengulum senyum, bila melihatku tengah mengelus d**a demi menghadapi tingkah polah Abella. Gadis kecil itu cerewet sekali minta dilayani.
Ya ... Abella memang ceriwis. Namun, hari ini tampak dua kali lebih cerewet dibanding biasanya. Sampai gemas aku dibuatnya.
Davin pun tak mau ketinggalan. Tiba-tiba saja jagoan kecilku jadi ikut-ikutan manja seperti Abella. Sebentar-sebentar merajuk, bila keinginan kecilnya tak kupenuhi. Seperti kemauan minta disuapi atau juga minta ditemani saat menjelang tidur malam.
Menurutku ini hari yang melelahkan, tapi membahagiakan juga tentunya. Karena melihat anak-anak tertawa lepas, itu merupakan sesuatu anugerah tersendiri.
Kenapa kubilang begitu? Karena sudah satu purnama ini tawa lepas anak-anak tidak pernah tampak lagi. Yang ada hanya wajah muram nan duka semenjak perceraian kemarin.
Ah ... andai saja tidak terjadi perpisahan antara aku dengan Mas Ferdi, mungkin anak-anak akan selalu tertawa bahagia seperti sore tadi.
Hei ... kenapa aku jadi berandai-andai seperti ini? Bukankah kita tidak diperbolehkan berandai-andai, karena sama saja mencela takdirnya Alloh.
Huftt ... aku menghela napas perlahan dan menggeleng. Ya ... aku tidak boleh menyalahkan takdir. Aku harus menerimanya dengan kuat. Lagi pula perpisahan dengan Mas Ferdi adalah kemauanku sendiri, jadi tak semestinya aku mengeluhkannya.
⛈⛈⛈
Malam kian larut. Jam besar di ruang keluarga telah berdentang sepuluh kali. Abella pun sudah terlelap dari satu setengah jam lalu. Tinggal aku yang masih terus terjaga. Mata ini sepertinya enggan untuk terpejam.
Di luar hujan turun dengan begitu derasnya. Bahkan disertai kilatan petir yang menyambar. Suasana terasa sangat sunyi. Hawa dingin pun mendadak menyergap kulit. Dengan meringkuk di bawah selimut tebal sembari memeluk Abella, kembali kucoba untuk terlelap.
Namun, suara ketukan pintu membuatku membatalkan niat. Apalagi saat gedoran itu semakin jelas di telinga. Rasa kantuk yang mulai menyerang sirna sudah.
Dengan rasa penuh keengganan aku berjalan menuju pintu. Karena sudah tahu siapa yang mengetuk. Pasti Mas Ferdi. Ada perlu apa lelaki itu menemuiku malam-malam begini? Dan benar saja, raut mukanya langsung menyembul begitu aku membuka pintu.
"Bisa kita bicara sebentar?" izinnya lembut.
"Gak bisa! Aku udah ngantuk, Mas." Aku langsung menolak.
"Jangan bohong! Liat mukamu masih seger gitu," bantah Mas Ferdi disertai cengiran kecil.
"Mau ngomong apa, Mas? Kalo mau bahas tentang masalah rujuk, sudah kutegaskan, bahwa aku menolaknya!" terangku to the point.
Walau mendapat penolakan keras dariku, akan tetapi Mas Ferdi tidak kehilangan akal. Lelaki itu berlulut sembari menggenggam erat jemariku.
"Plis, demi anak-anak, Aya!"
Lelaki itu mendongak seraya memasang muka memelas. Muak melihatnya, kubuang muka.
"Kenapa dulu saat mengencani Nella tidak pernah terpikirkan anak-anak di benakmu, Mas?" cibirku sebal.
Mas Ferdi bangkit berdiri. "Aya, sudah berapa kali kubilang? Aku dipelet oleh Nella. Apa yang kulakukan padanya adalah karena pengaruh sihirnya." Mas Ferdi menerangkan seyakin mungkin.
"Bullshit! Sudahlah, Mas! Aku mau tidur. Dan besok pagi harus segera pulang."
Aku memungkas obrolan. Ketika hendak menutup pintu, Mas Ferdi menghalangi.
"Aya, apa yang mesti kulakukan agar kamu mau kembali?" tanya Mas Ferdi putus asa. "Menyebrangi samudra? Mendaki mount everest? Atau ...."
"Stop, Mas! Sudahlah aku mau tidur!" selaku tegas.
Ketika Mas Ferdi hendak membuka mulutnya, terdengar bell rumah berbunyi. Bahkan suaranya kian menggema karena kami tak lekas membukankan pintu.
Ting tong!
Ting tong!
Ting tong!
"Siapa juga malam-malam bertamu?" gerutu Mas Ferdi terlihat kesal. Lelaki itu pun beranjak untuk membuka pintu ruang tamu.
Aku sendiri lekas mengunci pintu kamar dan bersiap tidur dengan menarik selimut. Namun, hati kecil ini serasa tergelitik. Rasa penasaran akan sosok pelawat yang bertandang malam-malam, membuat aku harus menyingkap selimut. Kemudian beranjak menuju ruang tamu di lantai bawah.
Lalu betapa terkejutnya aku begitu melihat siapa yang berkunjung. Adalah Nella, wanita yang saat ini tengah kubenci setengah mati itu.
Mantan istri Rudi itu tampak menggigil kedinginan dengan baju yang basah kuyup. Tangannya terus saja memeluk badan sendiri yang terlihat bergetar. Sementara sebuah koper berdiri di sampingnya.
"Nella?"
Tanpa sadar nama itu tercetus begitu saja dari mulutku. Mungkin karena saking terkesimanya diriku akan keberanian Nella yang menemui Mas Ferdi di tengah derasnya hujan malam ini.
"Aya?"
Nella pun sama terperangahnya. Segera saja wanita itu mendekatiku yang masih berdiri di ambang pintu. Dia tidak memedulikan teriakan Mas Ferdi yang melarangnya masuk.
Nella merangsek masuk dan langsung menyentuh lenganku. Tangan wanita itu sungguh terasa dingin.
"Aya, kamu tinggal di sini? Apakah itu berarti kalian sudah rujuk kembali?" tanya Nella penasaran.
Aku bergeming. Hanya mataku saja yang menuntut Mas Ferdi untuk menjelaskan tentang keberadaanku di sini.
"Itu bukan urusanmu!" sahut Mas Ferdi gusar. Dia mendekati Nella. Lalu menarik lengannya agar menjauh dariku.
"Sekarang pergilah! Aku gak mau ada fitnah, bila kamu terus-terus di sini!" usir Mas Ferdi sembari menutup pintu.
Namun, tangan Nella menghalangi.
"Keberadaan Aya pun bisa menimbulkan fitnah bila dia menginap di sini. Ingat kalian sudah bercerai!" tukas Nella sinis.
"Sebenarnya mau kamu apa, Nell?"
Aku bertanya dengan tenang. Kulewati Mas Ferdi yang terus saja menghalangi niat Nella untuk masuk.
"Aya, bila kamu hendak rujuk dengan Fer-Ferdi. Ma-maka tolong bujuklah Rudi, a-agar mau menerimaku kembali," pinta Nella dengar suara yang bergetar.
Tubuh wanita itu terus saja menggigil kedinginan. Bibirnya juga tampak semakin biru. Kemudian isak tangis Nella mulai terdengar seiring dadanya yang mulai turun naik.
"Kuakui aku memang salah, Aya. Dan kini tengah mendapatkan balasan atas perbuatan yang telah kulakukan," tuturnya lirih di sela isak tangis.
Tanpa diminta, Nella lantas bercerita tentang betapa terlunta-lunta hidupnya usai dicerai oleh Rudi. Dia yang sudah tidak punya orang tua bingung mau tinggal di mana. Apalagi kedua kakaknya sangat membenci, begitu tahu alasan apa yang membuat Rudi meninggalkan dia.
"Dan ... tadi sore, a-aku baru saja di-diusir pemilik kontrakan. Ka-karena menunggak ba-bayaran," papar Nella terbata. Sesekali dia menyusut buliran air bening, yang terus saja luruh membasahi kedua pipinya. "Tu-tujuanku ke mari, adalah hanya u-untuk numpang semalam di-di sini," imbuhnya memelas.
Seketika hatiku tersentuh begitu mendengar penuturan nelangsa dari Nella. Rasa amarah terhadap terhadap tingkah polahnya yang dahulu, kini lenyap sudah. Ditambah lagi setelah melihat penampilan Nella yang begitu memprihatinkan, dengan pipi tirus, mata cekung, serta baju basah kuyup yang melekat di badan. Sisi kemanusianku langsung berteriak. Menyuruhku agar lekas membantu dia.
Maka, ketika Mas Ferdi menolak dengan tegas permintaan dia, aku justru membujuk lelaki itu agar mengizinkan Nella bermalam di sini.
"Apa kamu sudah gila, Aya?" tegur Mas Ferdi tak percaya.
"Aku tidak gila, Mas. Hanya sisi kemanusianku terketuk saja. Kami senasib. Sama-sama sudah tidak punya keluarga. Hanya saja aku lebih beruntung, karena masih mempunyai teman-teman yang baik," terangku tenang. Lalu kupandang Nella dengan lekat. "Dan yang pasti, aku bukan pengkhianat seperti Nella. Sehingga teman-teman selalu ada di saat kubutuhkan," tandasku tajam.
Nella menunduk. Mungkin merasa bersalah. Kembali wanita itu tergugu dalam tangis.
"Sudahlah aku mau tidur. Dan Mas Ferdi, silahkan kamu urus saja tamumu," ujarku kemudian.
Baru dua langkah berlalu, Nella sudah bergerak menghampiri.
"Terima kasih, Aya. Kamu sungguh wanita berhati mulia," ucap Nella terdengar tulus.
Tangannya memegang erat jemariku. Namun, segera kulepas. Tanpa bicara lagi, aku kembali melangkah menaiki anak tangga menuju kamar Abella yang berseberangan dengan kamar Davin. Kamar anak-anak memang berada di lantai dua.
"Arghhhhh!" Terdengar Mas Ferdi mengerang marah. "Kamar tamu ada di sana!"
Lalu suara Mas Ferdi dan Nella tak terdengar lagi. Karena pintu kamar Abella sudah kukunci rapat-rapat. Kembali kutarik selimut tebal sampai ke dagu. Memaksa mata untuk terpejam. Namun, itu susah.