8. Pergi Dari Rumah

1014 Words
Rasanya baru sekejap terlelap, hari sudah beranjak pagi saja. Ketika menoleh ke samping, tampak bantal Abella sudah kosong. Sepertinya anak itu telah bangun. Setelah beberapa kali menggeliat malas, aku bangun dan menyibak tirai kamar. Seketika cahaya matahari pagi yang menembus kaca menyilaukan mata. Masih dengan langkah terseok aku berjalan menuju kamar mandi tamu yang terletak di bawah anak tangga rumah. Tadinya mau pakai kamar mandi anak-anak yang masih berada di lantai dua. Namun, sepertinya bilik itu tengah terpakai. Karena terdengar suara berisik Abella yang sedang dibujuk mandi oleh Leha. Sepagi ini gadis itu sudah datang dari rumah Mami. Dia memang ART yang rajin. Ketika aku baru saja meraih kenop pintu kamar mandi tamu, tiba-tiba saja Mas Ferdi ke luar dari dalam dengan badan yang terlihat segar. Sesaat kami tertegun. Lalu saat pria itu melempar senyum manis, aku melengos dengan segera masuk ke kamar mandi. Hanya hati sedikit heran saja, karena di kamar pribadi kami dulu juga ada kamar mandi di dalamnya. Kenapa Mas Ferdi malah mandi di sini? Ah ... sudahlah! Apa peduliku? Yang terpenting sekarang aku harus segera membersihkan badan. Setelah itu lekas hengkang dari sini bersama Abella. Karena didorong rasa tidak nyaman, maka kegiatan mandi kulakukan sekilat mungkin. Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah meninggalkan tempat itu dan kembali menuju kamar Abella. Di tengah jalan terlihat Mami sedang mempersiapkan hidangan di meja makan. Tampak Davin dan Abella duduk bersiap menunggu. Maka niat ke kamar Abella kuurungkan, dengan beralih menuju meja makan. "Hai ... Aya, bagaimana tidurmu semalam?" sapa Mami hangat begitu menyadari kedatanganku. "Tidak cukup nyenyak. Mungkin karena aku sudah tidak begitu betah tinggal di sini." Aku membalas datar. Bagiku sudah tidak perlu lagi berbasa-basi atau beramah-tamah dengannya. Untuk apa? Mami terlihat tercekat mendengar jawaban jujurku. Namun begitu, wanita itu pandai mengontrol diri. Ekspresi kagetnya tidak perlihatkan. Dirinya terus saja menuangkan nasi goreng ke piring, lalu menyerahkannya pada Davin. "Abell Sayang, lekas habiskan sarapanmu! Karena kita harus segera pulang ke Baranang Siang," suruhku pelan. Namun, putri kecil itu langsung merespon perintahku dengan tatapan tajam. "Bunda, sudah berapa kali Abell bilang? Kalo Abell maunya tinggal di sini dengan Kak Davin!" sengit Abella keras. "Abell ...." "Aya, jangan paksa Abell! Kasihan dia!" potong Mami cepat. "Aku harus memaksanya, Mi. Sudah seminggu dia di sini. Dan kini saatnya pulang bersamaku," bantahku bertekad. "Gak mau! Pokoknya Abell mau tinggal di sini!" Abella menyahut disertai penolakan. Gadis kecil itu turun dari kursi dan segera memeluk sang nenek. "Mami, tolongin Abell." Bocah itu mengadu dan terisak. Aku terdiam. Rasa sesak menyergap d**a. Mendapat penolakan dari putri sendiri itu rasanya sedih. Aku menarik napas pelan-pelan. Lalu menghembuskannya lamat. "Baiklah kalo Abell tidak mau ikut, biar bunda pulang sendiri sajs." Akhirnya aku membuat keputusan. "Jangan Bunda!" Davin pun turun dari kursi dan segera mendekap erat perutku. "Tinggallah di sini sampai Davin benar-benar sembuh, Bun!" "Maaf Davin, itu gak bisa," balasku lirih. Aku melepas dekapan Davin. Walau pedih, terapi aku harus pergi. Rumah ini sudah bukan tempatku lagi. Usai memantapkan hati, aku berbalik langkah untuk berlalu. Namun, langkahku terhenti begitu melihat Mas Ferdi mendekat. "Tolong titip anak-anak, Mas," pamitku lirih. "Aya ... kenapa kamu keras kepala seperti itu?" keluh Mas Ferdi kecewa. Tersenyum getir aku mendengarnya. Namun, itu cuma sekejap karena aku bergegas berlalu. Rasanya tidak nyaman berlama-lama di sini. Apalagi ada Nella yang masih berdiam diri di kamar tamu. Itu terlihat dari pintu kamarnya yang separuh terbuka. Ketika aku baru saja menyentuh gagang pintu, terdengar suara serak Nella memanggil. Terseok-seok wanita itu menghampiri. "Jangan pergi dari sini, Ay! Kasihan anak-anakmu. Kalo keberadaanku di sini membuatmu tak nyaman, biar aku yang lekas pergi sekarang juga." Wanita itu bertutur dengan suara yang parau. Tangannya yang menyentuh lenganku terasa begitu panas. Sepertinya dia tengah sakit. Itu terlihat dari mukanya yang tampak begitu pias. "Aku pergi karna memang sudah sepantasnya, bukan karena keberadaanmu," bantahku tenang. Kulepas tangan Nella yang terasa mencengkeram lengan. "Beristirahatlah! Sepertinya kamu demam!" "Aku tidak apa-apa. Biar aku yang pergi saja." Nella bersikeras untuk pergi. Namun, beberapa detik kemudian wanita itu tampak memegangi kepalanya. Aku tersenyum kecut. Kemudian langkah kembali kuayunkan. "Aya!" Panggilan Mas Ferdi dan Mami tak kugubris. Bahkan langkah semakin kupercepat. "Ayaaa ... jangan pergi, Nak!" "Mami ...." Aku menoleh saat terdengar suara Mas Ferdi dan anak-anak menyebut nama Mami dengan panik. Ketika aku membalik badan, di teras rumah terlihat Mas Ferdi tengah menolong Mami. Wanita tua itu tampak meringis sembari memegangi dadanya. "A-a-aya, jangan pergiii!" Wanita itu melolong pilu. Mas Ferdi terlihat membimbingnya duduk di kursi teras. Sesaat aku termangu. Rasa iba melanda jiwa. Namun, sisi hati yang lain menyuruhku untuk terus berjalan pulang. Setelah berpikir sejenak, langkah pergi pun kembali kuayun. Di tengah jalan komplek tampak taksi melintas. Tanganku melambai dengan maksud untuk menyetopnya. Benar saja taksi itu berhenti. Namun, ketika tanganku hendak membuka pintu mobil, tiba-tiba seorang pemuda menyerobot ingin masuk juga. "Maaf saya sudah terlambat," ujarnya sembari mencoba masuk. Sebetulnya aku bukan tipe wanita yang mudah terpancing emosi. Akan tetapi, demi melihat ketidak sopanan pemuda ini rasa kesalku pun meluap. "Mas, taksi ini aku yang menyetopnya tadi." Aku memprotes dengan tenang, tetapi tatapan mata sengaja kutajamkan. Pemuda jangkung yang kutaksir berumur sekitar lima tahun di bawahku hanya menyeringai kecil. "Mba cantik, saya sedang tidak ingin berdebat. Saya udah telat masuk kantor ini." Dia menunjukan jam tangan silver yang melingkar di pergelangan tangannya. Kembali dia mencoba masuk taksi, kembali juga aku menghalangi. "Ayolah, Mba! Jangan buat saya kesal dong!" pinta pemuda itu terlihat gemas. Aku melongo. "Lho seharusnya aku yang pantes kesal." "Eh-eh ... noh ada yang nyariin tuh, Mbak!" ujar cowok itu sambil menunjuk ke arah belakangku. Refleks aku menoleh ke belakang karena kupikir Mas Ferdi atau Davin yang mengikuti. Namun, ternyata tidak ada siapa-siapa. Lalu betapa geregetannya diriku saat pemuda itu bisa masuk ke taksi karena telah berhasil memperdaya. Sialan! Lalu hatiku semakin terasa kesal saat dengan santainya pemuda itu melambaikan tangan, disertai cengiran puas. Aku mendengkus kesal. Namun, itu cuma sebentar. Karena kembali kunormalkan hati dengan menghela napas perlahan-lahan. Sembari berjalan otakku terus saja berpikir, ke mana langkah selanjutnya? Apakah aku pulang ke tempat Ibu Uni? Atau menemui Rudi, agar lekas dicarikan pekerjaan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD