Bab IV A Memory

1401 Words
Aneh, udara malam ini terasa tidak seperti biasanya, pikir Oliver dengan pandangan fokus ke jalan. Kini ia melewati area perkebunan jagung dengan penerangan jalan yang seadanya. Pria itu sedikit menambah kecepatan motornya agar segera melewati area perkebunan yang terasa mencekam. Dalam pikirannya ia menyanyikan lagu milik band legendaris The Beatles kesukaannya. Hal itu selalu ia lakukan ketika merasa tidak nyaman dengan situasi sekitarnya. Tak lama kemudian, bibirnya sedikit terbuka bersenandung. Yesterday~ All my troubles seemed so far away~ Song by: The Beatles - Yesterday Seketika nyanyiannya berhenti melihat seorang laki-laki tua yang berjalan tertatih-tatih membawa sekarung kayu bakar dipunggungnya. Laki-laki tersebut menggunakan kemeja putih yang sudah sedikit menguning dimakan usia, celana hitam dan sendal buluk. Laki-laki tua tersebut seperti sudah tidak kuat lagi menanggung beban pikulannya. Hati nurani Oliver berteriak dan menghiraukan permintaan Erick untuk datang dengan cepat. Ia berhenti tepat di depan laki-laki tua tersebut dan turun dari motornya. Rasa takut yang Oliver rasakan sejak tadi hilang seketika. “Permisi, Pak Tua. Apakah Bapak berkenan jika saya mengantar Pak Tua ke tempat tujuan Bapak?”, tanya Oliver dengan sopan. Laki-laki tua itu menatap Oliver dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Begitu dalam dan menelisik. Oliver memperhatikan wajah pria tua dari balik bayangan lampu jalan. Alis tebal, mata yang mulai cekung akibat usia, hidung mancung dan bibir yang berkerut. “Baiklah, saya sudah lelah memikul karung ini sejak tadi”, jawab pria tua tersebut. Oliver tersenyum tipis dan mengambil alih karung besar berisi kayu bakar dan menempatkan karung tersebut diantara lengannya. Pria tersebut menaiki motor tersebut dan Oliver mulai menjalankan motornya. “Kemana tujuan Pak Tua?”, tanya Oliver. Hening sesaat. “sekitar 3 kilometer kedepan, kau cukup berjalan lurus mengikuti jalan, anak muda”, jawab lelaki tua tersebut. “Baiklah. Ngomong-ngomong, apakah Bapak baru Kembali dari hutan?”, tanya Oliver. Ia berpikir, kemana anak-anak Bapak Tua dibelakangnya? Kenapa mereka membiarkan Ayah mereka berjalan ke hutan selarut ini dengan membawa sekarung besar kayu bakar. “Ya, aku mengambil kayu di hutan pinus di balik perkebunan jagung ini”, jawab Lelaki tua itu. “Apakah tidak ada yang mengantar, Pak?”, tanya Oliver dengan hati-hati. “Tidak, aku hanya hidup sendiri disini”, jawab lelaki itu. “Anak dan istri Bapak?”, tanya Oliver lagi. “Istriku sudah lama meninggal dan kami tidak punya anak”, jawabnya. Oliver tersenyum sendu, ia berpikir apakah dirinya akan bernasib sama dengan pria tua dibelakangnya? Hidup sendiri tanpa pendamping dan anak. Jelas ia tidak pernah mengharapkan hal-hal romantis dalam hidupnya yang suram. “Kalau begitu, kita sama, Pak. Boleh saya berkunjung ke rumah Bapak lain waktu?”, tanya Oliver. “Kau hidup sendiri?”, tanya Pak tua. “Ya, kedua orang tua saya sudah meninggal sejak saya umur 12 tahun. Saya tidak punya saudara lain, jadi saya sendiri di dunia ini”, jawab Oliver. Pria tua tersebut Kembali terdiam. “Apa kau lelah dengan hidupmu, anak muda?”, tanya pria itu. Oliver menggeleng. “Tidak juga, walaupun terkadang saya merasa jenuh dengan kehidupan saya yang monoton”, jawab Oliver. “Apapun yang terjadi, jangan pernah kau menyesali hidupmu. Kau akan menemukan titik terang dari kehidupan tergelapmu”, ujar pak tua. Oliver tertawa pelan, “Saya rasa saat inilah kehidupan tergelap saya. Dan titik terang saya saat ini adalah sorotan lampu motor tua peninggalan Ayah saya ini”, balas Oliver. “Hidupmu akan baik-baik saja, percaya pada dirimu maka takdir kehidupan akan membimbingmu”, pungkas Pak tua. “Baiklah, saya akan berusaha sebaik mungkin”, saut Oliver. Tanpa terasa mereka sudah keluar dari perkebunan jagung dan mulai melihat beberapa rumah penduduk. Laki-laki dalam boncengan Oliver menunjuk sebuah rumah bambu dengan lampu pijar sebagai penerangnya. “Berhentikan aku disana, itu tempat tujuanku”, saut pak tua. Oliver mengangguk dan menepikan motornya di depan pintu rumah tersebut. Oliver mengangkat karung dan membawanya ke depan pintu masuk rumah pria tersebut. “Siapa namamu?”, tanya pak tua. “Oliver, Pak Tua”, jawabnya. Oliver menangkap senyum samar dari wajah tua tersebut. Pria tua tersebut menepuk bahu kanan Oliver. “Kau pria yang kuat. Jangan pernah takut dengan kegelapan, itu adalah awal mula kehidupanmu yang sesungguhnya”, ungkapnya. Oliver sedikit mengernyit bingung, “Baiklah, terima kasih atas nasihatnya, Pak Tua. Kapan-kapan aku akan mampir membawakan makanan kesukaan Pak Tua”, jawab Oliver. “Sayur batang bambu muda, bawakan aku itu jika kelak kau kesini”, ucap pak tua. Oliver tersenyum, “Baiklah, kalau begitu saya permisi. Saya harus pergi bekerja”, pamit Oliver. Ia berjalan menuju sepeda motornya. “Malam ini langitnya sangat terang, seperti api yang berkobar dengan kuat!”, seru pak tua sebelum masuk ke dalam rumahnya. Oliver yang sudah menaiki motornya mengernyit dan menatap langit. Hitam tanpa bintang. Lantas mengapa pria tua tersebut mengatakan hal itu? Oliver mengangkat bahunya dan mulai melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di The Mansion, ia mendapati Erick yang sudah memasang tampang kesal pada Oliver. “Bagus kalau kau sudah datang, kami sudah menunggumu cukup lama. Kalau begitu kami pergi dulu, jaga baik-baik The Mansion”, perintahnya. “Baik Mr. Erick, anda bisa percaya saya”, jawab Oliver. Tak berselang lama, bis perusahaan pergi membawa 99,9% pegawai The Mansion. Ya, 0,1% nya adalah Oliver sendiri. Oliver menghela nafas dan menutup gerbang serta menguncinya. Ia meraih senter di pos satpam tak berpenghuni dan mulai mengitari seluruh area The Mansion untuk memastikan semua pintu sudah terkunci dan terkendali dengan aman. Pria itu duduk di mejanya, tentu saja, seorang manajer memang memiliki meja sendiri. Meja Oliver terletak di ujung ruangan yang terletak di bawah tanah The Mansion. Ya, sang pemilik tidak ingin area mewah untuk pengunjung terganggu dengan kehadiran kantor manajemen di tengah-tengahnya. Dari sekian banyak ruangan, entah kenapa Oliver mendapat ruangan paling ujung bangunan, sehingga berjarak cukup jauh dari pintu masuk utama. “Akhirnya sampai”, gumam Oliver. Pria itu memejamkan matanya cukup lelah. Sejujurnya ia ingin menghabiskan waktunya malam ini di dalam kamarnya, namun apa daya, ia harus berakhir di dalam ruang bawah tanah berkedok kantor. Maniknya menangkap sebuah gitar yang biasa dimainkan oleh beberapa rekan kerjanya. Ia menggapai gitar tersebut dan mulai memetik sebuah melody indah dari lagu yang belum ia selesai nyanyikan selama perjalanan ke kantor. Yesterday all my troubles seemed so far away. Now it looks as though they're here to stay. Oh, I believe in yesterday. Suddenly, I'm not half the man I used to be. There's a shadow hanging over me. Why she had to go? I don't know, she wouldn't say. I said something wrong. Now I long for yesterday. Song by: The Beatles – Yesterday Oliver Kembali meletakan gitar tersebut dan bersandar di kursi sehingga terdengar decitan besi khas kursi yang mulai rusak. Ia memejamkan matanya. Aku akan tidur sebentar, pikirnya. Tak berselang lama ia sudah terlelap dalam tidurnya. Sangat nyenyak sampai tidak menyadari terdapat puntung rokok milik seorang pegawai yang belum mati sepenuhnya mulai membakar sebuah kabel. Api tersebut semakin lama semakin membakar sebagian besar kabel yang menyebabkan konsleting listrik dan memadamkan seluruh penerangan The Mansion. Oliver tersadar ketika alarm telah berbunyi kencang dan ceiling water sprayer sudah mengeluarkan air dengan kencang. Oliver yang terkaget langsung berlari menyelamatkan dirinya. Ia berlari dengan kecepatan tertinggi yang ia mampu. Bruk! Ia terpeleset dan terjatuh akibat genangan air pemadam api. Tanpa mempedulikan sakitnya ia Kembali berdiri dan berlari. Tubuhnya berkali-kali menabrak dinding dan pilar dalam The Mansion akibat berlari tanpa penerangan. Ia membenci kegelapan! Setelah berjuang keluar dari kantor bawah tanah ia berlari menuju pintu keluar terdekat. Selamat ia berhasil keluar dari api. Ia mengeluakan ponselnya dan berusaha menghubungi pemadam kebakaran. Duar! Arrgh!!! Teriakan Oliver menggema diseluruh penjuru The Mansion. Ia terkapar kesakitan memegang kedua bola matanya yang terkena pecahan kaca yang baru saja meledak akibat api menyambar aliran pipa gas di dalam Gedung. Telepon tersambung dengan pemadam kebakaran yang mendengar jerit kesakitan Oliver. Tubuhnya sudah bersimbah cairan merah milik manusia. Mati! Mati! Aku akan mati! Pekik Oliver di detik-detik terakhir kesadarannya terenggut. * Oliver terperanjat dari tidurnya. mimpi buruknya datang lagi. ia benar-benar merasakan semuanya seperti kejadian berlangsung. dan sekarang, ia merasa ketakutan dengan peluh mengucur deras di dahinya. Nyata dan kesakitan itu kembali datang. Oliver hanya mampu mengerang pelan sebelum akhirnya berusaha kembakli beristirahat. karena suara burung hantu masih terdengar. itu berarti, hari masih malam dan ia harus tidur kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD