Prolog
Oliver menghela nafas dengan Lelah, ia melihat benda di sudut meja kerjanya dan menumpahkan semua isinya, selembar uang Rp 100.000 dan beberapa koin yang menimpulkan suara kemerincing di atas meja kayu using tersebut memecah keheningan malam di rumah kecil sangat sederhana yang disewa oleh Oliver.
“Hah, tinggal 100.000, sekarang masih pertengahan bulan, bagaimana caranya aku bertahan hidup sampai akhir bulan ini ya? Apa harus berhutang lagi? Tapi ke siapa?”, gumamnya.
Menjadi seorang manager hanya sebuah jabatan semata bagi Oliver. Ya, ia adalah seorang manager operasional dari sebuah mansion besar di salah satu kota bernama Padokia. Kota besar dengan hawa sejuk pegunungan yang membuat siapapun yang datang ke sana akan merasa nyaman dan betah.
Dengan jabatan dan tempat kerjanya, semua orang pasti akan berpikir dirinya memiliki kehidupan yang tercukupi dan gaji yang besar. Tapi itu semua salah, gajinya setara dengan staff lulusan SMA yang tidak memiliki kompetensi dan hanya perusahaan itu yang mau menerima Oliver bekerja di perusahaannya.
“Bensin ke kantor lalu makan, uang ini hanya cukup untuk hidupku tiga hari ke depan. Ya ampun, aku harus bagaimana ini?”, erangnya frustasi.
Ia menyimpan uangnya kembali ke dalam dompet bersamaan dengan dering ponsel. Tertulis nama Mr. Erick, Pimpinannya.
“Halo, dengan Oliver. Ada yang bisa saya bantu Mr. Erick?”, Oliver mengangkat teleponnya.
“Oliver, bisa ke kantor sekarang?”, tanya Erick.
Oliver mengernyitkan dahinya.
“Hari ini hari Rabu, Mr. Erick, jadwal saya libur”, jawab Oliver.
“Ya, aku tau hari ini hari Rabu, aku tanya apa kau bisa ke kantor sekarang?”, tanya Erick lagi.
“Untuk keperluan apa ya Mr. Erick?”, tanya Oliver.
“Saya minta kamu jaga mansion malam ini, karena semua pegawai harus menghadiri rapat kerja dan pelatihan besok pagi di Kota Romson, sehingga harus brangkat malam ini”, jawab Erick.
“Jika semua pegawai harus menghadiri rapat kerja dan pelatihan maka bukankah harusnya saya juga ikut pergi malam ini? Kenapa saya tidak diberitahu perihal ini?”, protes Oliver.
“Oh, maksudku semua karyawan yang bersedia upahnya dipotong 30% karena mengikuti pelatihan ini. Kau dengan upahmu yang terbatas itu tentu tidak mungkin bersedia dipotong bukan?”, ujar Erick dengan lantang.
Oliver bergeming ditempatnya. Penghinaan. Sebuah kata yang sudah tidak asing ia dengar di hidupnya. Bahkan rekan kerjanya tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Ia selalu merasa seperti seekor lalat di tengah makanan yang hampir busuk. Tidak berharga. Ia tidak mengerti apa alasannya. Sebatangkara? Miskin? Entahlah, ia hanya ingin hidupnya tercukupi dengan baik tanpa perlu berlebih.
“Ya, benar. Baiklah, saya akan ke kantor sekarang”, jawabnya.
“Bagus, dan suruh sepeda usangmu itu berjalan lebih cepat karena kami tidak mau menunggumu terlalu lama”, ujar Erick dengan angkuh.
“Baik, Mr. Erick. Saya mengerti”, jawab Oliver.
Ia menutup panggilan tersebut dan tersenyum ketir dan menatap sepeda motor tua peninggalan mendiang ayahnya.
“Justru bagiku dialah satu-satunya penyemangat yang aku miliki saat ini dan mungkin seterusnya. Kau salah Mr. Erick”, gumamnya.
Ia beranjak dari meja usangnya dan berjalan menuju lemari kayu di sudut kamarnya untuk mengganti kaus baseball berwarna putih dan celana training hitam yang sudah menipis dengan seragam. Laki-laki itu membuka pintu hingga terdengar suara gesekan antara pintu kayu dan lantai rumah kecilnya, mengeluarkan sepeda motor dan bergegas mengunci rumahnya dengan aman.
Hawa dingin serta angin yang berhembus menembus kulit seketika saat Oliver mulai mengendarai motornya. Jaket tipisnya ternyata tidak mampu menghalau terpaan angin yang cukup kencang itu. Ia melirik arloji di tangan kiri menunjukan pukul 9 malam. Ia sedikit mengernyit. Hawa malam itu sungguh sangat berbeda dari malam-malam biasanya.
Dingin dan menusuk. Seperti akan terjadi suatu hal yang Oliver pun tidak tahu itu apa. Seharusnya ia sudah terbiasa terpapar udara malam seperti ini, ia bahkan sering pulang tengah malam selepas kerja dan baik-baik saja dengan hal tersebut.
Aneh, udara malam ini terasa tidak seperti biasanya, pikir Oliver dengan pandangan fokus ke jalan.
Kini ia melewati area perkebunan jagung dengan penerangan jalan yang seadanya. Pria itu sedikit menambah kecepatan motornya agar segera melewati area perkebunan yang terasa mencekam. Dalam pikirannya ia menyanyikan lagu milik band legendaris The Beatles kesukaannya. Hal itu selalu ia lakukan ketika merasa tidak nyaman dengan situasi sekitarnya. Tak lama kemudian, bibirnya sedikit terbuka bersenandung.
Yesterday~
All my troubles seemed so far away~
Song by: The Beatles - Yesterday
Seketika nyanyiannya berhenti melihat seorang laki-laki tua yang berjalan tertatih-tatih membawa sekarung kayu bakar dipunggungnya. Laki-laki tersebut menggunakan kemeja putih yang sudah sedikit menguning dimakan usia, celana hitam dan sendal buluk. Laki-laki tua tersebut seperti sudah tidak kuat lagi menanggung beban pikulannya. Hati nurani Oliver berteriak dan menghiraukan permintaan Erick untuk datang dengan cepat. Ia berhenti tepat di depan laki-laki tua tersebut dan turun dari motornya. Rasa takut yang Oliver rasakan sejak tadi hilang seketika.
“Permisi, Pak Tua. Apakah Bapak berkenan jika saya mengantar Pak Tua ke tempat tujuan Bapak?”, tanya Oliver dengan sopan.
Laki-laki tua itu menatap Oliver dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Begitu dalam dan menelisik. Oliver memperhatikan wajah pria tua dari balik bayangan lampu jalan. Alis tebal, mata yang mulai cekung akibat usia, hidung mancung dan bibir yang berkerut.
“Baiklah, saya sudah lelah memikul karung ini sejak tadi”, jawab pria tua tersebut.
Oliver tersenyum tipis dan mengambil alih karung besar berisi kayu bakar dan menempatkan karung tersebut diantara lengannya. Pria tersebut menaiki motor tersebut dan Oliver mulai menjalankan motornya.
“Kemana tujuan Pak Tua?”, tanya Oliver.
Hening sesaat.
“sekitar 3 kilometer kedepan, kau cukup berjalan lurus mengikuti jalan, anak muda”, jawab lelaki tua tersebut.
“Baiklah. Ngomong-ngomong, apakah Bapak baru Kembali dari hutan?”, tanya Oliver.
Ia berpikir, kemana anak-anak Bapak Tua dibelakangnya? Kenapa mereka membiarkan Ayah mereka berjalan ke hutan selarut ini dengan membawa sekarung besar kayu bakar.
“Ya, aku mengambil kayu di hutan pinus di balik perkebunan jagung ini”, jawab Lelaki tua itu.
“Apakah tidak ada yang mengantar, Pak?”, tanya Oliver dengan hati-hati.
“Tidak, aku hanya hidup sendiri disini”, jawab lelaki itu.
“Anak dan istri Bapak?”, tanya Oliver lagi.
“Istriku sudah lama meninggal dan kami tidak punya anak”, jawabnya.
Oliver tersenyum sendu, ia berpikir apakah dirinya akan bernasib sama dengan pria tua dibelakangnya? Hidup sendiri tanpa pendamping dan anak. Jelas ia tidak pernah mengharapkan hal-hal romantis dalam hidupnya yang suram.
“Kalau begitu, kita sama, Pak. Boleh saya berkunjung ke rumah Bapak lain waktu?”, tanya Oliver.
“Kau hidup sendiri?”, tanya Pak tua.
“Ya, kedua orang tua saya sudah meninggal sejak saya umur 12 tahun. Saya tidak punya saudara lain, jadi saya sendiri di dunia ini”, jawab Oliver.
Pria tua tersebut Kembali terdiam.
“Apa kau lelah dengan hidupmu, anak muda?”, tanya pria itu.
Oliver menggeleng.
“Tidak juga, walaupun terkadang saya merasa jenuh dengan kehidupan saya yang monoton”, jawab Oliver.
“Apapun yang terjadi, jangan pernah kau menyesali hidupmu. Kau akan menemukan titik terang dari kehidupan tergelapmu”, ujar pak tua.
Oliver tertawa pelan, “Saya rasa saat inilah kehidupan tergelap saya. Dan titik terang saya saat ini adalah sorotan lampu motor tua peninggalan Ayah saya ini”, balas Oliver.
“Hidupmu akan baik-baik saja, percaya pada dirimu maka takdir kehidupan akan membimbingmu”, pungkas Pak tua.
“Baiklah, saya akan berusaha sebaik mungkin”, saut Oliver.
Tanpa terasa mereka sudah keluar dari perkebunan jagung dan mulai melihat beberapa rumah penduduk. Laki-laki dalam boncengan Oliver menunjuk sebuah rumah bambu dengan lampu pijar sebagai penerangnya.
“Berhentikan aku disana, itu tempat tujuanku”, saut pak tua.
Oliver mengangguk dan menepikan motornya di depan pintu rumah tersebut. Oliver mengangkat karung dan membawanya ke depan pintu masuk rumah pria tersebut.
“Siapa namamu?”, tanya pak tua.
“Oliver, Pak Tua”, jawabnya.
Oliver menangkap senyum samar dari wajah tua tersebut. Pria tua tersebut menepuk bahu kanan Oliver.
“Kau pria yang kuat. Jangan pernah takut dengan kegelapan, itu adalah awal mula kehidupanmu yang sesungguhnya”, ungkapnya.
Oliver sedikit mengernyit bingung, “Baiklah, terima kasih atas nasihatnya, Pak Tua. Kapan-kapan aku akan mampir membawakan makanan kesukaan Pak Tua”, jawab Oliver.
“Sayur batang bambu muda, bawakan aku itu jika kelak kau kesini”, ucap pak tua.
Oliver tersenyum, “Baiklah, kalau begitu saya permisi. Saya harus pergi bekerja”, pamit Oliver.
Ia berjalan menuju sepeda motornya.
“Malam ini langitnya sangat terang, seperti api yang berkobar dengan kuat!”, seru pak tua sebelum masuk ke dalam rumahnya. Oliver yang sudah menaiki motornya mengernyit dan menatap langit. Hitam tanpa bintang. Lantas mengapa pria tua tersebut mengatakan hal itu? Oliver mengangkat bahunya dan mulai melanjutkan perjalanannya.
Sesampainya di The Mansion, ia mendapati Erick yang sudah memasang tampang kesal pada Oliver.
“Bagus kalau kau sudah datang, kami sudah menunggumu cukup lama. Kalau begitu kami pergi dulu, jaga baik-baik The Mansion”, perintahnya.
“Baik Mr. Erick, anda bisa percaya saya”, jawab Oliver.
Tak berselang lama, bis perusahaan pergi membawa 99,9% pegawai The Mansion. Ya, 0,1% nya adalah Oliver sendiri. Oliver menghela nafas dan menutup gerbang serta menguncinya. Ia meraih senter di pos satpam tak berpenghuni dan mulai mengitari seluruh area The Mansion untuk memastikan semua pintu sudah terkunci dan terkendali dengan aman.
Pria itu duduk di mejanya, tentu saja, seorang manajer memang memiliki meja sendiri. Meja Oliver terletak di ujung ruangan yang terletak di bawah tanah The Mansion. Ya, sang pemilik tidak ingin area mewah untuk pengunjung terganggu dengan kehadiran kantor manajemen di tengah-tengahnya.
Dari sekian banyak ruangan, entah kenapa Oliver mendapat ruangan paling ujung bangunan, sehingga berjarak cukup jauh dari pintu masuk utama.
“Akhirnya sampai”, gumam Oliver.
Pria itu memejamkan matanya cukup lelah. Sejujurnya ia ingin menghabiskan waktunya malam ini di dalam kamarnya, namun apa daya, ia harus berakhir di dalam ruang bawah tanah berkedok kantor. Maniknya menangkap sebuah gitar yang biasa dimainkan oleh beberapa rekan kerjanya. Ia menggapai gitar tersebut dan mulai memetik sebuah melody indah dari lagu yang belum ia selesai nyanyikan selama perjalanan ke kantor.
Yesterday all my troubles seemed so far away.
Now it looks as though they're here to stay.
Oh, I believe in yesterday.
Suddenly, I'm not half the man I used to be.
There's a shadow hanging over me.
Why she had to go?
I don't know, she wouldn't say.
I said something wrong.
Now I long for yesterday.
Song by: The Beatles – Yesterday
Oliver Kembali meletakan gitar tersebut dan bersandar di kursi sehingga terdengar decitan besi khas kursi yang mulai rusak. Ia memejamkan matanya.
Aku akan tidur sebentar, pikirnya.
Tak berselang lama ia sudah terlelap dalam tidurnya. Sangat nyenyak sampai tidak menyadari terdapat puntung rokok milik seorang pegawai yang belum mati sepenuhnya mulai membakar sebuah kabel. Api tersebut semakin lama semakin membakar sebagian besar kabel yang menyebabkan konsleting listrik dan memadamkan seluruh penerangan The Mansion. Oliver tersadar ketika alarm telah berbunyi kencang dan ceiling water sprayer sudah mengeluarkan air dengan kencang. Oliver yang terkaget langsung berlari menyelamatkan dirinya. Ia berlari dengan kecepatan tertinggi yang ia mampu.
Bruk!
Ia terpeleset dan terjatuh akibat genangan air pemadam api. Tanpa mempedulikan sakitnya ia Kembali berdiri dan berlari. Tubuhnya berkali-kali menabrak dinding dan pilar dalam The Mansion akibat berlari tanpa penerangan. Ia membenci kegelapan! Setelah berjuang keluar dari kantor bawah tanah ia berlari menuju pintu keluar terdekat. Selamat ia berhasil keluar dari api. Ia mengeluakan ponselnya dan berusaha menghubungi pemadam kebakaran.
Duar!
Arrgh!!!
Teriakan Oliver menggema diseluruh penjuru The Mansion. Ia terkapar kesakitan memegang kedua bola matanya yang terkena pecahan kaca yang baru saja meledak akibat api menyambar aliran pipa gas di dalam Gedung. Telepon tersambung dengan pemadam kebakaran yang mendengar jerit kesakitan Oliver. Tubuhnya sudah bersimbah cairan merah milik manusia.
Mati! Mati! Aku akan mati! Pekik Oliver di detik-detik terakhir kesadarannya terenggut.
*****
Hitam.
Oliver terbangun dengan pandangan paling gelap yang pernah ia lihat. Kegelapan itu jauh lebih gelap dibandingkan malam dengan kelabu. Kepalanya menengok ke arah kanan dan kiri berkali-kali namun tetap sama. Hitam. Ia tak bisa melihat apapun.
Kenapa pandanganku hitam seperti ini? Aku dimana? Tanya Oliver dalam pikirannya.
“Anda sudah bangun Mr. Oliver”, saut seseorang.
Oliver Kembali menengok ke arah kanan dan kiri dengan bingung. Ia tetap tidak bisa melihat apapun.
“Anda siapa?”, tanya Oliver dengan suara parau.
“Saya dr. Wilmar, Saya dokter yang bertugas merawat Anda. Saat ini Anda berada di ruang perawatan intensif rumah sakit St. Antonio”, jawab dokter bernama Wilmar tersebut.
dr. Wilmar menatap tubuh Oliver dengan perban menutupi kedua mata pasiennya. Pria yang malang, pikirnya.
“Saya… kenapa?”, tanya Oliver lamat-lamat.
Perasaannya kalang kabut dipenuhi kecemasan. Ia ingin menampik fakta yang sepertinya mau tidak mau harus diterima.
“Anda mengalami kebutaan akibat terkena pecahan kaca yang pecah dari tragedy kebakaran The Mansion satu bulan yang lalu”, ungkap dr. Wilmar.
Seketika tubuh Oliver terasa luruh, lidahnya kelu tak mampu berkata-kata. Dunianya yang suram menjadi semakin gelap. Rasanya ia tak punya harapan sama sekali sejak dr. Wilmar menyatakan bahwa dirinya mengalami kebutaan.
“Berarti, sudah tidak ada harapan untuk saya bisa melihat Kembali, Dok?”, tanya Oliver berusaha mencari secercah harapan.
“beruntungnya, pecahan kaca tersebut tidak masuk terlalu dalam, sehingga Anda masih bisa memilliki harapan untuk dapat melihat Kembali jika Anda mendapatkan donor mata yang cocok untuk Anda, Tuan Oliver. Dan saat ini kami tengah mengupayakan pencarian donor mata untuk Anda”, jawab dr. Wilmar.
Oliver diam tak bergeming mendengar jawaban dr. Wilmar.
“Berarti, belum ada kepastian kapan saya bisa melihat dunia lagi, Dok?”, tanyanya.
Dokter Wilmar tersenyum sedih menatap Oliver yang pucat bagaikan kertas.
“Benar, Tuan Oliver”, jawab dr. Wilmar.
Oliver tersenyum getir.
“Lalu, jika saya mendapatkan donor mata yang cocok pun tidak akan mungkin bisa karena pasti biayanya sangatlah mahal. Saya tidak mampu untuk itu”, ujar Oliver.
“Perihal tersebut, Anda tidak perlu khawatir, Tuan Oliver. Karena Anda mengalami kecelakan kerja, asuransi pekerja dari pemerintah dapat Anda gunakan untuk membiayai operasi mata Anda”, terang dr. Wilmar.
“Saya sama sekali tidak merasa senang mendengarnya, Dok”, balas Oliver.
dr. Wilmar menepuk bahu Oliver pelan, “Kami akan berusaha untuk segera mencarikan pendonor untuk Anda”, ucap dr. Wilmar.
“Apakah jika saya mendapatkan seorang pendonor itu berarti seseorang yang mendonorkan matanya untuk saya akan buta?”, tanya Oliver.
Dokter Wilmar Kembali menatap Oliver yang tidak bisa melihatnya.
“Ada beberapa kemungkinan, yang pertama bisa terjadi seperti pertanyaan Anda barusan. Dan yang kedua, pendonor dari orang yang bersedia mendonorkan organ tubuhnya apabila terjadi suatu hal pada dirinya, seperti kematian”, jelas dr. Wilmar.
Oliver terdiam sesaat. “Tolak apabila pendonor dengan opsi pertama seperti yang Dokter katakana”, ucap Oliver.
“Boleh saya tau alasannya, Tuan Oliver?”, tanya dr. Wilmar.
“Untuk apa saya Bahagia dan bisa melihat Kembali apabila saya harus merenggut dunia seseorang? Itu sama saja saya seorang kriminal, bukan?”, ucap Oliver.
Dokter Wilmar tercenung mendengar jawaban Oliver yang benar-benar diluar dugaan. Pria didepannya lebih memilih tidak mampu melihat keindahan dunia dibandingkan dengan merenggut penglihatan orang lain. Dia pria yang baik, pikir dr. Wilmar.
“Baiklah, saya akan sampaikan kepada tim perihal permohonan, Anda. Saya sudah mengabarkan pihak kepolisian mengenai Anda yang sudah siuman. Seorang petugas sedang dalam perjalanan kesini untuk berbicara dengan Anda, Tuan Oliver”, jelas dr. Wilmar.
Oliver mengangguk mengerti. “Terima kasih, dan dimana toiletnya? Saya butuh ke toilet”, tanya Oliver.
“Suster akan..”
“Tidak perlu, Dok. Saya akan berusaha sendiri, saya harus berlatih”, sela Oliver.
“Baiklah, toilet berada lurus di sisi kiri Anda saat ini. Kran air dingin diputar ke kanan dan air panas diputar ke kiri”, jelas dr. Wilmar.
Oliver tersenyum tipis. Itu adalah senyum pertamanya hari ini.
“Terima kasih, Dokter Wilmar”, ucap Oliver.
Beberapa saat kemudian, Oliver mendengar pintu tertutup. Pria itu berusaha menurunkan kakinya satu per satu ke lantai. Terasa dingin. Perlahan ia berdiri dan berusaha membangkitkan instingnya. Tangannya mulai diarahkan ke depan dan melangkah perlahan.
Brak!
Ia berjengit ketika tubuhnya menabrak sesuatu. Tangannya mulai meraba. Ternyata meja, pikirnya.
Ia Kembali berjalan perlahan hingga ia bertemu sebuah dinding. Tangannya meraba dinding untuk mencari letak pintu toilet. Tanpa Ia sadari, dokter Wilmar memperhatikannya dengan seksama, dokter itu hanya berpura-pura menutup pintu kamar. Ia ingin melihat dan memastikan bahwa pasiennya tidak menemui kendala saat akan ke toilet. Dilihatnya Oliver sedikit tersenyum ketika tangannya menggapai kenop pintu kamar mandi.
“Gotcha!”, ujar Oliver pelan. Pria itu masuk ke dalam toilet dan menutupnya Kembali. dr. Wilmar tersenyum setelah melihat pasiennya baik-baik saja, akhirnya ia memilih untuk keluar dari ruang perawatan tersebut. Tentunya ia menugaskan seorang perawat untuk berjaga di depan pintu ruang perawatan Oliver.
*****
“Kebakaran berasal dari sebuah punting rokok yang belum dimatikan dengan sempurna dan dibuang ke lantai ruang manajemen The Mansion. Puntung rokok tersebut membakar sebuah kabel yang menyebabkan konsleting listrik. Api terpecik dari sana, kemudian merambat keseluruh Gedung The Mansion, dan tragedi yang menimpa Anda karena api menyambar pipa gas dan seketika terjadi ledakan besar”, jelas Rodrigo, petugas kepolisian yang diutus untuk menemui Oliver.
Oliver yang mendengar penyebab terjadinya kebakaran mengutuk keras orang yang telah sembarangan merokok di dalam ruangan sempit bawah tanah tersebut.
“Penglihatan saya terenggut dengan konyol hanya karena seseorang melakukan perbuatan bodoh di ruangan bawah tanah tersebut”, saut Oliver.
“Kami masih menyelidiki kasus ini lebih lanjut dan mencari tahu siapa pelaku yang merokok di dalam ruanga bebas asap rokok tersebut”, ujar Rodrigo.
Oliver tersenyum miris. “Jika pelakunya tertangkap, apakah akan mengembalikan penglihatan saya Mr. Rodrigo?”,
Rodrigo terdiam menatap Oliver. “Tidak, Tuan Oliver”, jawabnya.
Oliver tersenyum pedih. Ia merasa kehidupan tidak pernah mendukungnya untuk berubah menjadi orang yang lebih baik. Kematian orang tuanya, kehidupan miskin menyedihkan, dan sekarang satu-satunya indera untuknya melihat keindahan dunia harus direnggut oleh sebuah tragedi kebakaran. Sudah pasti sejak ia dinyatakan tidak mampu melihat The Mansion sudah memecatnya. Tidak punya pekerjaan dan tidak punya penglihatan. Entah apa yang akan dilakukan Oliver setelah ini, dirinya yang buta dan tidak memiliki siapapun di dunia ini tidak tau harus hidup seperti apa setelah ini. Bagaimana ia bisa hidup dengan baik setelah ini?