Rodrigo berusaha menarik kembali Olover ke ingatan yang waras saat pria itu sedang meringis mencegkram kepalanya karena semua memori buruknya tiba-tiba berputar kembali dan dunia gelapnya membuat dirinya sangat tersakiti.
"Olover, lawanlah. Semua ada di tanganmu"
Ingatan Oliver lagi-lagi berhasil menguasainya.
*
Oliver memastikan untaian jemuran di depan rumahnya dengan baik, ia hendak mengambil beberapa handuk yang ia jemur dengan susah payah. Sudah tiga bulan berlalu sejak dirinya kehilangan penglihatan, kini dirinya mulai terbiasa dengan kegelapan. Berat? Tentu saja.. Oliver sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya beberapa saat setelah kepulangannya dari rumah sakit.
Tetapi menyerah tidak ada di dalam kamusnya. Bukankah hidupku sudah menyedihkan sejak dulu? Lalu apa bedanya dengan yang sekarang? Hanya ketambahan aku tidak bisa melihat dunia. Mungkin lebih baik daripada aku melihat orang-orang yang selalu tamak dengan kehidupannya, pikir Oliver saat itu.
Tangan pria tersebut meraba dan menangkap helaian handuk yang ia cari, disaat bersamaan kicauan burung terdengar sangat merdu seakan-akan mereka bernyanyi khusus untuk Oliver. Pria itu tersenyum, hatinya begitu tentram mendengar kicauan burung yang ia dengar. Ia bersyukur, hanya penglihatannya yang direnggut dari insiden kebakaran tersebut. Ia masih bisa mendengar alunan nada indah yang dapat menghibur hatinya.
“Terima kasih, nyanyian kalian indah sekali”, ucap Oliver pada burung-burung tersebut.
Oliver tidak peduli burung-burung itu tidak mengerti ucapannya, ia hanya ingin berterimakasih atas untaian indah di pagi hari yang membuat awal harinya terasa lebih menyenangkan dari biasanya. Tak lama kemudian Oliver Kembali ke dalam rumah, tak jarang ia menabrak benda atau dinding rumahnya sendiri. Seperti saat ini, ia baru saja mengaduh karena bahunya menabrak tiang jemuran.
“Sepertinya, jika seseorang melihat tubuhku memiliki beberapa memar kecil”, ujarnya geli.
Kruyuk!
Pria tanpa penglihatan itu menyentuh perutnya yang berbunyi dengan keras. Ia lapar. Sepertinya aku masih mempunyai roti di atas meja, pikirnya.
Perlahan tapi pasti ia berjalan menuju meja kamarnya. Tidak terlalu sulit bagi Oliver mengenali rumah kecilnya, ia telah bertahun-tahun tinggal disana dan sudah memahami seluk-beluk rumahnya. Ia membayangkan posisi rumahnya saat terakhir kali ia lihat, dan hal itu memberi kemudahan untuk Oliver yang berjalan mengandalkan ingatannya. Ia tersenyum menangkap sebuah roti, pria itu menghirup aroma roti tersebut. Tiba-tiba alisnya berkerut.
“Rotinya basi”, sedihnya.
Ia Kembali meraba mejanya dan menemukan roti yang lain dan Kembali menghirup aroma roti tersebut. Lalu Oliver tersenyum senang karena roti kedua yang ia pegang tidaklah berbau jamur seperti roti yang pertama. Ia meraih kursi dan duduk. Merogoh sakunya untuk mengambil ponsel yang ikut diselamatkan saat kejadian kebakaran tersebut.
“The Beatles, Yesterday, putar”, ucapnya pada asisten web audio di ponselnya.
Tak lama kemudian terdengar alunan music The Beatles kesukaannya. Oliver mulai memakan roti ditangannya. Entah kenapa Oliver lebih bisa menikmati hidup saat ini, ia sudah mengikhlaskan semua yang terjadi padanya dan memulai untuk hidup baru. The Mansion? Tentu saja dia diberhentikan dari pekerjaannya. Tetapi pemerintah Paledokia memberi subsidi bantuan untuknya karena ia tidak mampu bekerja karena sudah masuk ke dalam kategori penyandang cacat. Setidaknya ia tidak takut kelaparan.
Tetapi, apa yang bisa aku lakukan? Aku buta dan tidak punya ide apapun, pikir Oliver seraya menikmati kudapannya.
“Mungkin aku bisa mencoba berjalan-jalan sebentar setelah ini. Toh hari masih pagi dan jalanan terdengar sepi”, ujarnya pada diri sendiri.
Tak lama berselang, Oliver bersiap dan mulai berjalan kaki setelah memastikan rumahnya terkunci dengan sempurna. Ia berjalan mengikuti iringan kaki yang melangkah dengan sendirinya. Herannya, ia sama sekali tidak takut akan marabahaya yang bisa saja menimpanya Kembali.
Aku sudah mengalami hal yang paling menyedihkan, jadi untuk apa aku memiliki rasa takut lagi? Cukup ikuti saja kemana kakiku ingin melangkah, pikirnya.
Angin berhembus membelai wajah Oliver dengan lembut. Lagi-lagi pria itu tersenyum. Ia mampu merasakan alam pun mendukungnya, angin segar yang terasa seperti dorongan semangat kehidupan yang fana ini. Pria itu kembali mengikuti kemana Langkah kaki mengajaknya. Terdengar suara daun yang bergoyang akibat angin.
“Oliver?”
Langkah kaki Oliver terhenti ketika seseorang memanggil Namanya. Siapa itu yang memanggil namaku? Tanyanya.
“Oliver?”, tanya orang itu lagi.
Oliver mengernyit. Suaranya terdengar tidak terlalu asing ditelinganya, tetapi Oliver lupa milik siapa suara yang memanggilnya itu.
“Ya, saya Oliver. Maaf tapi Anda siapa?”, tanya Oliver.
“Apa kau ingat, kau pernah menolongku membawa sekarung kayu bakar di tengah malam”, ujar pria tersebut.
Oliver memutar kembali ingatannya dan akhirnya mengingatnya. “Oh, Pak tua? Apa kabar? Lama sekali tidak jumpa”, seru Oliver.
“Ya, sudah lama sekali. Apa yang terjadi padamu?”, tanya Pak Tua tersebut.
“Ayo cerita di rumahku saja”, ujar pak tua.
Oliver mengernyit. “Tapi rumah Anda sangat jauh dari sini, Pak Tua. Ini daerah sekitar rumah saya. Apa yang sedang Pak Tua lakukan di sekitar sini?”, tanya Oliver.
“Bicara apa kau? Sekarang kau berada di depan pekarangan rumahku, Oliver”, ujar pak tua.
Seketika Oliver terdiam, bagaimana mungkin ia bisa berjalan sejauh itu padahal ia baru saja keluar dari rumahnya.
“Tapi Pak Tua..”
“Mari cerita di dalam, akan kubuatkan kopi untukmu”, ujar pak tua tersebut seraya membimbing Oliver ke dalam rumahnya. Rumah kecil yang terbuat dari batang bambu. Oliver duduk di sebuah kursi yang sepertinya terbuat dari kayu hutan.
Oliver menghirup nafas dalam-dalam ketika hidungnya menangkap aroma kopi yang baru saja diseduh.
“Nikmat sekali aromanya, Pak Tua”, ujar Oliver.
“Hirup dan nikmatilah kopimu. Kopi ini hasil dari jerih payahku sendiri, kau pasti suka. Rasanya beda dengan kopi dipasaran, hati-hati masih panas”, jelas Pak Tua.
Oliver menggapai gelas didepannya dan menyesap kopinya perlahan. Lidahnya terasa ingin mengerang merasakan kenikmatan kopi buatan pak tua, kopi terenak yang pernah ia rasakan selama hidupnya!
“Kopi ini nikmat sekali, Pak Tua! Ini kopi tersenak yang pernah kuminum selama hidupku”, seru Oliver senang.
Terdengar Pak Tua itu tertawa senang menerima pujian dari Oliver. “Bersyukurlah karena kau orang kedua yang pernah merasakan kenikmatan kopi buatanku”, seru Pak Tua senang.
“Siapa? Apakah mendiang istrimu, Pak Tua?”, tanya Oliver seraya kembali menyesap kopinya.
Ia berpikir, seandainya ia tidak kehilangan penglihatannya mungkin saja ia tidak bisa merasakan kopi terenak di dunia sekarang. Atau justru, jika ia tidak kehilangan penglihatannya, saat ini ia bisa menikmati secangkir kopi nikmat ini sembari membaca buku favoritnya. Ah, hidup memang sebuah misteri, pikirnya.
“Bukan, istri dan anak-anakku tidak suka minum kopi”, ujar Pak Tua.
“Lalu siapa?”, tanya Oliver.