Tiara Flashback
Mike adalah sepupuku sendiri, yah orang tua kami bersaudara. Papaku dan papanya adalah saudara kandung. Hubungan kami baik-baik saja pada awalnya, tak pernah ada perasaan-perasaan aneh hingga aku tinggal satu atap dengannya. Sejak kecil aku memang tinggal di Singapura bersama kedua orang tua dan kakak laki-lakiku, Christian.
Saat aku berusia 15 tahun, semuanya tiba-tiba berubah. Orang tuaku mengalami kecelakaan hingga mereka meninggal seketika. Hari itu, aku dan kakakku kehilangan kedua orang tua kami. Papa dan Mamaku baru saja pulang dari Australia karena perjalanan bisnis, namun saat dalam perjalanan dari bandara menuju mansion, mobil mereka mengalami kecelakaan. Kedua orang tuaku, sopir mereka, serta dua orang asisten papaku juga meninggal.
Sejak saat itu, Om dan Tanteku yang tinggal di Indonesia membawaku dan Kak Tian ke Indonesia untuk tinggal bersama mereka. Kak Tian tidak bertahan lama di mansion milik Om dan Tante kami karena ia ingin memulai kuliahnya. Saat itu, Kak Tian sudah diterima di National University of Singapore dengan jurusan bisnis.
Waktu itu, aku yang baru saja lulus SMP harus melanjutkan SMA di Indonesia, aku disekolahkan di SMA yang sama dengan Gio. Gio adalah sepupuku, anak dari Om dan Tanteku. Gio adalah adik dari Mike. Saat itu, Gio berusia 17 tahun, dan dia duduk di bangku kelas 3 SMA. Sementara Mike, dia yang berusia 20 tahun saat itu sedang kuliah S1 di Amerika dengan jurusan yang sama seperti Kak Tian.
Saat itu, aku tak banyak berinteraksi dengan Mike, karena kami memang tak tinggal di negara yang sama. Saat ia pulang ke Indonesia, dia sibuk dengan dunianya sendiri. Mike memang sangat cuek, sementara aku juga tak begitu tertarik untuk dekat dengannya. Saat kami berkumpul, yah biasa saja. Tak pernah ada yang spesial di antara kami waktu itu.
Sebenarnya aku lebih dekat dengan Gio, karena kami satu sekolah dan tiap hari berangkat bersama. Aku sampai-sampai harus di-bully oleh kakak kelas karena mereka mengira aku menggoda si tampan Gio. Yah, Gio memang sangat tampan dan tinggi. Makanya tak heran banyak yang mengidolakannya di sekolah.
Aku selalu menjadi bulan-bulanan kakak-kakak kelasku karena Gio sangat dekat denganku. Meskipun aku mengatakan bahwa kami bersaudara, mereka tidak percaya. Karena yang mereka ketahui, Gio tidak memiliki saudara perempuan. Untunglah saat itu aku memiliki sahabat-sahabat yang selalu siap menolongku dari berbagai kejahatan kakak kelasku.
Sejak saat itu hidupku sangat sering tertindas, entah mengapa takdir begitu kejam padaku. Selama tinggal di Singapura aku tak pernah mendapatkan perlakuan kejam dari teman-teman ataupun kakak kelasku. Mereka tidak begitu peduli dengan hidup orang lain, kami lebih sibuk dengan dunia kami sendiri.
Sangat berbeda dengan anak-anak di Indonesia, mereka sangat suka mem-bully dan selalu nyinyir terhadap hidup orang lain, entah karena kebiasaan mereka atau aku saja yang kurang beruntung. Namun, girls squad-ku selalu berdiri paling depan untuk menolongku. Yah, ada bagusnya juga sekolah di Indonesia, aku memiliki geng sendiri dan mereka sangat loyal kepadaku.
Setelah Gio lulus SMA, dia mengikut Mike ke Amerika dan kuliah di sana. Jadilah aku tinggal hanya bersama Om dan Tante. Ah tidak, aku mulai memanggil mereka Papa dan Mama. Mansion terasa sepi karena hanya kami bertiga dan para pelayan di mansion super mewah dan besar itu. Sesekali Kak Tian mengunjungiku saat weekend. Selebihnya, dia fokus kuliah dan mulai bekerja di perusahaan peninggalan orang tua kami.
Tiga tahun tinggal Indonesia, semuanya baik-baik saja, Papa dan Mama sangat baik dan perhatian kepadaku. Mereka memperlakukanku dengan baik seperti anak kandung mereka. Ah tidak, perhatian mereka mungkin lebih dibandingkan kepada dua anak laki-lakinya. Meski demikian, Papa dan Mama tidak pernah mengekang dan membatasi gerak-gerikku untuk berteman. Teman-temanku juga sering berkunjung ke mansion dan beberapa kali menginap.
Setelah lulus SMA, Papa dan Mama memintaku untuk kuliah di Indonesia saja. Mereka tidak bisa tenang membiarkanku tinggal di luar sana. Karena sudah merasa nyaman dengan Indonesia, akhirnya aku setuju dengan mereka. Yah, aku juga tidak yakin untuk kuliah di luar negeri seperti Mike ataupun Gio.
Aku kuliah di salah satu universitas swasta dengan jurusan hukum. Aku tidak ingin mengikuti jejak Kak Tian dan kedua sepupuku yang kuliah bisnis. Biarlah para laki-laki itu yang meneruskan bisnis keluarga kami. Aku ingin belajar hukum dan mungkin suatu hari nanti bisa menjadi seorang hakim dengan jubah kebesarannya. Wah, membayangkannya saja sudah membuatku bahagia setengah mati.
Papa dan Mama mendukung pilihanku untuk kuliah hukum, begitu pun dengan Kak Tian. Perkuliahan berlangsung menyenangkan meski tiap hari aku disuguhkan dengan buku-buku tebal tentang hukum. Tak sedikit waktu yang harus kuhabiskan di perpustakaan untuk membaca teori-teori tentang hukum.
Satu tahun kembali berlalu, Mike pulang setelah menyelesaikan kuliah S2 nya. Kini dia memiliki gelar MBA atau Master of Business Administration. Setelah ia kembali, Mike langsung ditugaskan untuk memegang perusahaan milik papanya. Saat itu aku masih tidak memiliki perasaan apa pun kepadanya, dan kuyakin dia juga tidak.
Kami tinggal seatap namun kami sangat jarang berbicara. Meski begitu, kami selalu sarapan bersama. Karena Mama menetapkan peraturan ketat bahwa setiap anggota keluarga yang tinggal di mansion itu harus sarapan bersama. Kalau soal makan siang dan makan malam, yah kami dibebaskan karena kesibukan masing-masing.
Tiap hari aku duduk di sampingnya dalam diam. Biasa saja, Mike juga tidak pernah menyapaku terlebih dahulu. Aku pun demikian, aku tak tahu caranya untuk menyapanya. Namun, ada satu hal yang kuketahui tentangnya, Mike selalu dikelilingi banyak wanita. Tak jarang aku bertemu dengannya di cafe saat aku bersama teman-temanku, dia sering bersama wanita-wanita sexy.
Aku juga tak pernah mencampuri urusannya. Itu adalah urusan pribadinya. Saat kami bertemu secara tak sengaja, yah aku bersikap cuek saja. Kami bahkan tak saling menyapa di mansion, bagaimana mungkin aku menyapanya saat berada di luar. Meski begitu aku sering kali melirik ke arahnya yang terlihat tak peduli dengan kehadiranku sama sekali.
Suatu hari, Papa dan Mama ke luar negeri untuk berlibur untuk merayakan anniversary pernikahan mereka. Aku ditinggal di mansion bersama Mike dan para pelayan. Saat itu, aku pulang sangat larut. Aku memiliki tugas kuliah dan terlambat mengerjakannya karena terlalu sibuk di organisasi.
Aku mengerjakannya secara terburu-buru dan harus menghabiskan waktu seharian di perpustakaan. Saat perpustakaan tutup aku melanjutkan tugasku di apartemen salah satu temanku. Kami mengerjakan tugas bersama-sama waktu itu. Namun, karena sudah sangat larut salah seorang temanku mengantarku pulang.
Saat aku masuk ke mansion, tanganku langsung ditarik paksa. Yah, Mike yang menarik paksa lenganku dan membawaku ke lantai dua.
“Apa-apaan ini?” tanyanya dengan muka merah padam. “Jadi begini kelakuanmu saat Papa dan Mama tidak di rumah? Pulang malam diantar laki-laki gak jelas?”
Apa-apaan ini, kenapa dia tiba-tiba memarahiku tanpa bertanya baik-baik dulu?
Cengkeraman tangannya sangat kuat di lenganku. Aku sampai meringis kesakitan. Namun, bukannya melepaskanku, Mike malah semakin mencengkeram lenganku dengan erat.
“A-aa-aku mengerjakan tu-tugas” jawabku dengan terbata-bata karena ketakutan. Tatapan matanya sangat menakutkan.
“Tugas?” Mike tertawa mengejek. “Tugas apa yang kamu kerjakan semalam ini? Tugas bersama laki-laki huh? Tugas apa?”
Tatapannya seolah siap menerkamku. Aku sangat takut kepadanya.
“Jika kamu tidak percaya, aku bisa menunjukkan tugasku. Aku baru selesai mengerjakannya.”
Aku berusaha merogoh tasku dengan tangan kiri karena lengan kananku masih dicengkeram olehnya.
“Cih, siapa yang coba kau bodohi huh?”
Mike mendorongku masuk ke kamar. Tubuhku terhempas dan terjatuh di kasur.
“Perhatikan sikapmu!” ucapnya dengan ancaman lalu berbalik keluar sambil membanting pintu kamarku.
Aku tak habis pikir melihat tingkahnya, selama beberapa bulan kami tinggal bersama, dia sangat cuek. Namun, tiba-tiba Mike menjadi sangat menyeramkan. Aku merasa dia hampir memakanku bulat-bulat. Aku bergidik ngeri jika mengingat betapa tajamnya dia menatapku malam itu. Tak kusangka dia sangat berbahaya.
Keesokan harinya, saat baru bangun tidur, aku langsung turun dari kamar untuk sarapan. Meskipun Papa dan Mama tidak ada di rumah, kami tetap sarapan bersama. Lebih tepatnya aku sarapan berdua dengan Mike. Usai menghidangkan makanan untuk kami, para pelayan meninggalkan kami. Aku tak berani menatapnya, aku terus menunduk karena takut kepadanya.
Saat aku selesai dengan sarapanku, aku mendongak dan tatapanku bertemu dengannya. Sial, kenapa aku sangat gugup.
Tunggu, ada yang aneh dengan caranya melihatku.
Dia terus melihatku, namun dengan cara yang berbeda dari tatapannya semalam.
“Kenapa?” tanyaku setelah mengumpulkan keberanian.
“Perhatikan caramu berpakaian!”
Aku menatap pakaianku dan menurutku semuanya baik-baik saja. Aku berpakaian seperti biasanya, karena tak mengerti maksudnya aku menatapnya dengan penuh pertanyaan. Mike terlihat malas lalu bangkit dari kursinya. Aku pun mengikutinya karena membutuhkan penjelasan.
“Apa kau akan keluar rumah dengan pakaian seperti itu?” Mike tiba-tiba berbalik dan berteriak kepadaku. “Jika ingin keluar dari kamarmu, berpakaianlah dengan pantas. Pakai pakaian dalammu terlebih dahulu.”
Aku langsung melihat pakaianku. Sial, aku lupa memakai bra. Dadaku pasti tercetak jelas di balik baju kaosku.
Aku langsung menutup dadaku dengan tangan menyilang.
“Ada banyak pria di mansion ini, termasuk aku.”
Aku gelagapan mendengarnya. Terlebih setelah dia menyeringai. Sekarang aku makin takut kepadanya. Aku segera berbalik dan berlari naik ke kamar dengan tangan masih menyilang di dadaku.
Sial, aku tak henti-hentinya merutuki diri. Terutama saat aku melihat bayanganku di cermin. Bagian puncak dadaku tercetak jelas. Sumpah, mau ditaruh di mana mukaku setelah ini? Kenapa aku tiba-tiba seceroboh ini?
Biasanya aku berpakaian lengkap saat keluar dari kamar.
Ah sial, kenapa harus Mike yang memergokiku seperti ini?
Yah, salahku juga sih. Aku tak memperhatikan pakaianku pagi ini sebelum turun sarapan.
****
Aku tiba di mansion saat sore, aku tak berani pulang malam lagi. Aku takut dimarahi oleh Mike lagi. Karena melihat mobilnya belum ada di garasi, aku bisa bernapas lega dan naik ke kamarku. Sejak kejadian tadi pagi, aku terus memikirkan bagaimana tatapannya kepadaku. Sial, sepertinya otakku mulai aneh.
Kulirik jam di atas nakas, pukul 11 malam. Aku kelaparan, namun tak berani turun mengambil makanan. Aku tak ingin bertemu Mike. Namun, cacing-cacing di perutku sudah terus meminta jatah. Dari tadi mereka sudah menabuh genderang perang karena menanti makanan yang tak kunjung kuberikan.
Aku memang tak makan malam karena Mike pulang lebih awal hari ini. Aku tak berani ikut makan malam dengannya. Dan inilah akibatnya, aku kelaparan sekarang. Setelah lama berpikir, aku akhirnya memutuskan untuk keluar. Sebelum keluar kupastikan aku berpakaian lengkap. Setelah yakin semuanya baik-baik saja, kuputar gagang pintu kamarku.
Aku keluar sambil mengendap-endap karena tak ingin membuat suara. Aku sudah seperti pencuri yang berjalan di kegelapan sambil mengendap-endap ditambah aku sibuk menegok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keadaan. Aku berlari menuruni tangga dan masuk ke dapur. Kubuka kulkas perlahan dan mengambil dua buah apel serta sepiring kue.
Saat aku berbalik aku hampir menjatuhkan piring di tanganku jika saja Mike tidak segera menangkap tanganku. Aku kaget setengah mati karena tiba-tiba Mike sudah muncul di hadapanku dengan posisi yang sangat dekat.
“Eh, emmm a-aku la-laper” ucapku dengan terbata-bata.
“Aku tidak melarangmu untuk makan.”
Sial, Mike membisikkannya ke telingaku. Sial sesial-sialnya karena jantungku berdetak kencang. Otakku lumpuh mendengar suaranya yang begitu pelan di telingaku. Setengah berbisik dan aku bisa merasakan embusan napasnya di telingaku. Gila, aku sepertinya mulai gila.
Mike menarik piring dari tanganku. Mataku bergerak mengikuti arah tangannya yang meletakkan piring itu di atas kulkas. Kedua tangannya mengurungku, sial apa yang akan ia lakukan saat ini? Jantungku bergemuruh kencang.
“Sudah kukatakan, berpakaianlah dengan benar.”
Apa lagi maksudnya? Aku sudah memakai pakaian dalam sekarang.
“Kenapa celanamu sangat pendek huh? Menantangku?” Mike menyeringai.
Sial, aku salah lagi karena aku keluar hanya memakai hotpants. Biasanya aku juga berpakaian seperti ini, kenapa tiba-tiba dia mempermasalahkannya sekarang?
“Aku pria normal asal kau tau.” Suaranya yang begitu pelan kenapa membuat otakku semakin lumpuh.