Chapter 4

1531 Words
Saat Mike berulang tahun yang ke-25 tahun, ia membawa seorang wanita cantik ke mansion untuk diperkenalkan kepada Papa dan Mama. Aku hanya melongo sepanjang makan malam berlangsung. Mike mengenalkan wanita itu sebagai pacarnya. Harus kuakui aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita bernama Hana itu. Hana sangat cantik dengan wajah oriental, kulitnya putih dengan rambut panjang yang semakin mempermanisnya. Hana sangat anggun berbeda denganku yang pecicilan dan amburadul. Jelas, mana mungkin Mike melirik kepadaku dibandingkan dengan pacarnya yang terlihat seperti bidadari itu. Sepertinya hanya aku yang beranggapan bahwa ciuman itu spesial. Padahal aku mulai merasa jatuh cinta dengan si b******k Mike. Pria b******k yang selalu cuek, pria b******k yang telah mencuri ciuman pertamaku tanpa meminta maaf. Sial, aku benar-benar sial. Sepertinya aku harus menyerah, aku harusnya tahu diri setelah melihat pacarnya. Sebenarnya aku merasa bahwa aku cukup cantik. Mungkin lebih dari cantik. Aku yakin itu bukan hanya perasaanku saja. Karena ada banyak cowok di kampus yang mengatakan demikian. Banyak juga yang mengajakku berpacaran. Bahkan banyak yang terang-terangan bersiul menggodaku saat aku lewat di hadapan mereka. Namun, aku merasa sangat insecure di hadapan Hana. Tak ada yang bisa kubanggakan dari diriku jika berhadapan dengan Hana. Sudahlah, kenyataan memang sangat pahit. Lebih baik aku menyerah sekarang sebelum makin sakit hati nantinya. Setelah membawa pacarnya ke mansion, aku jadi semakin penasaran. Gagallah niatku untuk mundur, aku malah semakin tertantang untuk maju. Awalnya aku merasa insecure, lama-lama aku merasa semakin tertantang karena memiliki saingan. Jadilah aku terus menguntit Mike. Sebelum jam pulang kantor, aku sudah stand by di parkiran untuk menunggunya keluar. Terkadang aku harus menunggu sampai berjam-jam karena Mike harus lembur. Meski begitu aku selalu menunggu dengan sabar. Aku tidak pernah menunggu sendirian. Mana mungkin, aku selalu menarik paksa sahabat-sahabatku untuk menemaniku. Kami menunggu diam-diam dari mobil Nancy. Setelah melihat Mike keluar dari kantor, kami mengikutinya. Arahnya selalu sama sebuah apartemen mewah yang hanya berjarak sekitar 10 menit dari kantornya. Awalnya kupikir itu apartemen milik Mike. Namun, setelah melakukan pengintaian ala detektif, aku mengetahui bahwa Hana yang tinggal di apartemen itu. Sepulang dari kantor Mike selalu mengunjungi apartemen Hana. Sepertinya sudah bisa kuprediksi apa yang mereka lakukan di dalam sana. Tidak mungkin mereka hanya duduk diam sambil menonton TV. Tidak mungkin. Mereka pasti melakukannya. Jika tidak, tidak mungkin Mike betah berjam-jam di dalam sana dan baru pulang saat tengah malam. Berbulan-bulan aku mengikutinya ternyata bukan hanya apartemen Hana yang Mike kunjungi. Tapi, Mike juga bermain-main dengan perempuan lain. Sepertinya saat Mike bosan dengan Hana dia mencari wanita lain di bar atau club malam. Setelah itu Mike dan wanita bayarannya akan ke hotel. Sial, pria b******k itu, aku terlalu membuang-buang waktuku mengikutinya. Suatu hari aku sakit karena kehujanan di kampus. Aku pulang terlambat karena banyak tugasku yang keteteran karena aku sibuk mengikuti Mike. Aku menghabiskan waktu seharian di perpustakaan dan saat aku pulang aku harus kebasahan karena hujan deras. Selama ini aku memang tidak pernah membawa mobil ke kampus karena aku tidak bisa menyetir dan takut untuk belajar menyetir. Setiap hari biasanya aku ke kampus atau membuntuti Mike dengan taxi ataupun dengan mobil sahabat-sahabatku. Namun, hari ini sahabat-sahabatku sudah pulang duluan. Dan sialnya taxi yang kutumpangi malah mogok di tengah jalan. Aku disuruh turun dan akhirnya kehujanan. Sambil menunggu taxi yang lain, aku sudah menggigil kedinginan. Aku sampai di mansion agak larut dengan tubuh menggigil. Mike yang melihatku sampai di mansion dengan seluruh pakaian yang basah langsung memarahiku. Yah, bukan Mike namanya jika ia tidak marah-marah. Papa dan Mama sedang tidak ada di mansion karena menghadiri suatu acara di luar kota. Karena itu, Mike semakin leluasa memarahiku. “Aku sudah hampir mati kedinginan, bisakah kamu marah-marahnya nanti saja.”  Aku berlari menaiki tangga menuju kamarku. Aku segera masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Saat aku keluar dari kamar mandi, Mike masih menungguiku. Aku sedikit heran, namun karena kedinginan aku tak bisa berpikir. Setelah melihatku berbaring di ranjang, Mike keluar dari kamarku. Namun, tak berselang lama ia kembali masuk. Aku semakin mengernyit heran saat Mike menyodoriku dengan segelas s**u hangat. Tanpa banyak bertanya, aku meraih gelas dari tangannya dan meminumnya. Aku menggigil sambil memeluk guling dengan erat. Kueratkan selimutku namun aku masih tetap kedinginan. Gigi-gigiku bahkan saling bergemeletuk, sementara tubuhku meringkuk mencari kehangatan di guling yang kupeluk. Mataku yang terpejam langsung terbuka seketika saat menyadari seseorang berbaring disampingku. Siapa lagi kalau bukan Mike. Mike menyingkap selimut dan melepaskan guling yang kupeluk.  “Kemarilah, aku lebih hangat dari pada gulingmu.”  Mike menarikku ke dalam pelukannya. Seluruh tubuhku lumpuh saat itu juga. Deg…deg…deg…jantungku makin ribut. Meski demikian, pelukannya memang sangat hangat dan sangat nyaman. Jika begini, aku rela sakit seumur hidupku, asalkan dipeluk terus. Tuh kan, bahkan saat sakitpun otakku masih saja koslet. Mike tiba-tiba melepaskan kaosnya hingga aku hampir mengalami serangan jantung.  “Ngapain buka baju?” tanyaku sambil menggigit bibir.  Sebenarnya aku takut jika Mike melakukan sesuatu terhadapku. Namun, sisi lain otakku malah berharap jika Mike sampai khilaf dan melakukannya. Mike terlihat menghela nafas panjang. “Apa yang kau pikirkan huh? Aku hanya gak biasa tidur pake baju.”  Mataku membulat seketika.  “Jadi kamu juga akan melepaskan celanamu?”  Mike langsung menyentil dahiku.  “Itukah yang kau harapkan?”  Mike kembali berbaring setelah melepaskan baju kaosnya. Aku akhirnya bisa bersandar di d**a bidangnya. Deg…deg…deg…jantungku makin ribut. Pikiran nakalku malah mencoba untuk menyentuh perut kotak-kotaknya. Namun, segera kutepis pikiran nakal itu sebelum setan-setan di kepalaku benar-benar menguasaiku. Bisa berabe jika aku sampai khilaf menyentuh perut kotak-kotaknya. Bisa kena semprot. Aku tak bisa berhenti tersenyum di pelukannya. Gila, aku merasa benar-benar gila saat ini. Jantungku sangat ribut, seribut setan-setan di kepalaku yang memaksaku untuk menyentuhnya sana-sini. Sial, kesambet setan apa aku ini. Sepertinya ada setan m***m di dalam kepalaku.  “Tidurlah” ucap Mike lalu bangkit mematikan lampu. Setelah itu ia kembali memelukku. Lengannya bahkan ia relakan untuk menjadi bantalku. Sungguh, aku ingin sakit selamanya. Karena posisi kami yang sangat dekat, saat aku mendongak melihat wajahnya, bibir Mike akan menempel di keningku. Sementara jika aku menunduk bibirnya akan menempel di puncak kepalaku. Wah, habis mimpi apa aku kemarin malam yah. Nafas Mike terdengar teratur, mungkin dia sudah tidur. Sementara aku, bagaimana aku bisa tidur dengan jantung yang menggila ini. Aku bahkan tak berani bergerak karena takut membangunkannya. Aku sepertinya akan mengalami serangan jantung jika begini terus.  “Haruskah kita ke dokter?” tanya Mike dengan suara pelan. Aku mendongak menatapnya.  “Sepertinya kamu tidak hanya kedinginan, kamu juga punya masalah dengan jantungmu. Aku bahkan bisa mendengarnya, kenapa ribut sekali?”  Aku menelan ludah dengan kasar, apakah aku ketahuan.  “Papa mungkin akan menghajarku saat mereka pulang jika melihatmu mati karena penyakit jantung.” Aku kehilangan kata, aku tak tahu harus bicara apa.  “Apa karena aku memelukmu?”  Pertanyaannya membuatku semakin tak berkutik.  “Aku memelukmu bukan karena apa-apa, tapi kamu bisa sakit parah jika dibiarkan kedinginan. Bisakah kita tidur sekarang? Aku memiliki banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan besok.” Aku mengangguk pelan. Kurasakan pelukannya semakin mengerat di tubuhku. Aroma tubuhnya pun tercium jelas menusuk hidungku. Aroma maskulin yang membuat otakku makin gila. Mana bisa aku tidur seperti ini. Tidak akan bisa, rasanya aku mau mati karena jantungku melompat kesana-kemari dengan kencang. Keesokan harinya Mike terbangun dan langsung mengecek suhu tubuhku. Aku menyadari semua itu walau mataku terpejam. Mataku hanya terpejam, seolah-olah aku tertidur. Padahal aku tidak bisa tidur walau hanya sedetik. Mike menarik lengannya yang menjadi bantalku lalu dia melangkah perlahan keluar dari kamarku. Mike menutup pintu kamarku perlahan. Setelah pintu tertutup aku membuka mataku. Aku mulai senyum-senyum seperti orang gila. Aku bahkan mengendus bantal yang ditiduri oleh Mike semalam, aroma tubuhnya masih disana. Oke, bantal itu tidak akan kucuci selamanya. Aku juga mengendus tubuhku yang masih menyimpan aroma tubuh Mike. Oke, aku juga tidak akan mandi sampai aroma ini menghilang. Sepanjang hari aku berguling kesana-kemari, sesekali aku tertawa, sesekali aku senyam-senyum, sesekali aku bahkan menendang udara. Sepertinya aku perlu ke rumah sakit jiwa sekarang. Atau setidaknya aku perlu menemui dokter kandungan. Eh, salah maksudnya psikiater. Jujur, sebelumnya aku tak pernah tertarik dengan laki-laki manapun. Mike adalah yang pertama membuatku gila. Baru kusadari ternyata ada makhluk hot di mansion. Makhluk sexy yang mampu membuatku ketar-ketir dan lemas dengan tatapannya. Saat malam tiba, aku melihat mobil Mike masuk ke pekarangan. Aku sudah menunggunya sejak sore dengan duduk di samping jendela. Aku segera berlari ke ranjang dengan memasang ekspresi lemas agar Mike menemaniku lagi. Yah kali Mike akan memelukku lagi sepanjang malam. Aku tidak akan menolak, bahkan jika Mike khilaf aku malah akan lebih senang. Benar saja, Mike masuk ke kamarku.  “Sudah makan?”  Aku menggeleng perlahan. Mike keluar lagi dan tak lama kemudian pintu terbuka. Aku mengerucutkan bibir karena yang masuk ke kamarku adalah pelayan yang membawa makanan. Pelayan meletakkan makanan di atas nakas di samping ranjangku lalu keluar. Aku membiarkan makanan itu karena masih ingin menunggu Mike. Berharap bisa dimanja, yah kali Mike mau menyuapiku. Satu jam berlalu dan Mike tidak kembali ke kamarku. Sial, apa yang dia lakukan di luar sana. Padahal makananku sudah dingin. Dingin sedingin hatiku saat ini. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, akhirnya yang kutunggu telah muncul. Mike berpakaian rapi dan sudah wangi.  “Aku mau keluar, ada urusan” ucapnya dengan dingin di ambang pintu, “Tidak menemaniku?” tanyaku dengan kecewa.  Mike mendekat dan menaruh tangannya di dahiku.  “Sepertinya kau sudah baik-baik saja.”  Mike melirik ke arah makanan yang sudah dingin di atas nakas.  “Kenapa tidak makan?”  Aku membelakanginya dan menarik selimut.  “Tidak selera.” Aku sedikit berharap akan dibujuk, namun ternyata Mike keluar begitu saja. Saat aku mengintip ke jendela, mobilnya bahkan sudah keluar dari garasi. Sialan, kenapa dia tiba-tiba menjadi cuek. Kemana Mike yang semalam begitu memperhatikanku. Sial, sial, sial, aku menggerutu sejadi-jadinya. Jika saja aku tidak sakit aku pasti sudah mengikutinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD