Selama melakukan pesta ulang tahun sekaligus merayakan keberhasilan Adzran dalam mengerjakan tesisnya, Evelina benar-benar dibuat hangat dengan kebersamaan kedua orang tua Zafran memperlakukannya seperti anak sendiri.
Acara pun berlangsung cukup meriah hingga pukul 10.00 pm membuat Evelina berpamitan lebih dulu, sebab sang ibu sudah berpesan untuk tidak pulang terlalu lambat. Meskipun besoknya weekend, tetapi Evelina benar-benar tidak memiliki waktu luang.
Tentu saja gadis itu harus melakukan rutinitasnya sebagai atlet karate yang berlatih di salah satu gedung ternama pelatihan Kota Jakarta Pusat. Evelina satu-satunya gadis bersabuk hitam DAN 2 yang memiliki banyak sertifikat penghargaan sehingga sayang sekali jika bakatnya disia-siakan begitu saja.
“Ayah, Bunda, Eve pamit pulang dulu, ya?” ucap Evelina menyalimi satu per satu tangan kedua orang tua di hadapannya.
“Iya, sayang. Kamu pasti ada latihan lagi, ya? Bunda jadi enggak enak ngajak kamu pesta malam ini,” balas Yusrina menangkup kedua tangan Evelina yang tenggelam mungil.
“Enggak kok, Bunda. Eve malah jauh lebih senang karena udah lama banget enggak main ke sini lagi,” sanggah Evelina menggeleng pelan, lalu tersenyum lebar memelik tubuh wanita anggun di hadapannya.
“Ya sudah, hati-hati di jalan. Biar Zafran yang ngantar kamu ke rumah, ya. Ini udah malem, takutnya ada sesuatu di jalan. Meskipun komplek perumahan, tapi Bunda sering dengar ada anak nakal yang nongkrong.” Yusrina menatap khawatir ketika mengingat beberapa malam terdengar banyak keluhan warga sekitar akibat keberadaan geng tongkrongan tersebut.
Evelina mengangguk patuh, lalu mencium tangan Kamal dengan penuh hormat. Kemudian, di susul Adzran yang terlihat memanggang daging. Lelaki beberapa tahun lebih tua daripada Zafran itu tampak memberikan beberapa potongan daging panggang untuk diberikan pada Wendy ketika sampai di rumah.
“Buat Tante Wendy, ya, Ve. Jangan kamu cemilin di jalan,” canda Adzran tertawa pelan.
“Abang!” rengek Evelina mengerucutkan bibirnya menggemaskan, lalu tertawa pelan melihat ekspresi geli dari Adzran.
Setelah selesai berpamitan, Evelina pun melangkahkan kakinya menghampiri seorang lelaki yang sudah siap mengendarai mobil. Entah apa yang ada di pikiran Zafran sampai mengantarkan Evelina hanya berbeda beberapa blok menggunakan mobil.
“Lo benar-benar ajaib, Zaf. Ngantar gue ke rumah pakai mobil segala. Padahal di luar masih ada motor sama sepeda,” ujar Evelina menggeleng pelan melihat tingkah sahabatnya yang di luar dugaan.
“Lo lupa perkataan Bunda tadi? Di luar ada geng motor yang mungkin membahayakan. Walaupun pakaian lo sopan, tapi keluar sama cowok seperti gue, mereka bakalan ngira yang enggak-enggak,” papar Zafran ada benarnya.
Evelina mengembuskan napasnya panjang, lalu memangku pemberian Adzran sembari mengenakan sabuk pengaman. “Ya udah, terserah lo aja. Gue yang diantar cuma ngikut.”
Sejenak keduanya pun melenggang pergi dengan mengendarai mobil secara perlahan keluar dari gerbang rumah keluarga Marauder yang lumayan luas. Tentu saja jalanan komplek tampak gelap dengan beberapa lampu mati yang belum diganti baru. Membuat penerangan hanya digunakan dari bulan ataupun kendaraan yang masih melintas.
“Tadi gimana sama kado gue? Terkejut enggak?” tanya Zafran tertawa pelan mengingat kembali ekspresi sahabatnya yang sangat lucu.
“Eh, iya! Lo keterlaluan banget sampai ngado begitu sama Bang Adzran. Untung aja yang tahu cuma gue, kalau orang lain bisa turun martabat Bang Adzran sebagai dosen killer,” jawab Evelina mendadak antusias, lalu tertawa geli masih tidak mempercayai ekspresi Adzran ketika mendapatkan pemberian dari sang adik langsung memerah menahan malu sekaligus kesal.
Lain halnya ketika lelaki itu membuka kado pemberian Evelina yang terlihat senang sekaligus bahagia. Sebab, gadis cantik nan mungil yang merupakan sahabat masa kecil adiknya itu memberikan kamera antik yang selama ini menjadi incarannya. Namun, Adzran tidak kunjung membeli akibat terlalu sibuk melakukan pendidikan magister.
Di saat keduanya melewati pos ronda kecil yang sering dibicarakan banyak anak nakal nongkrong, Evelina dan Zafran tampak mendapati beberapa anak lelaki bersenda gurau di sana dengan sesekali memperhatikan ponselnya. Mereka baik-baik saja selain penampilannya terlihat urakan.
“Sepertinya mereka orang baik, Ve. Enggak ada kesan jahat yang Bunda bilang tadi,” ucap Zafran menatap melalui jendela mobil yang berwarna hitam pekat, sehingga tidak ada pandangan dari luar menembus bagian dalam.
Evelina mengangguk setuju, tetapi tatapannya terpaku pada sesosok berjubah putih dengan rambut panjang tampak sangat besar berdiri di belakang pos ronda memperhatikan anak-anak nakal tersebut nongkrong.
“Ada hantunya di sana, tapi sepertinya enggak ganggu,” timpal Evelina membuat Zafran langsung merinding.
Bulu kuduk lelaki itu mendadak meremang kuat tepat setelah Evelina menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu benar-benar selalu kelepasan dalam mengatakan apa pun pada Zafran tanpa dipikir terlebih dahulu.
“Jangan ngomong yang hantu-hantu dulu, Ve. Gue baliknya sendiri ini, nanti kalau ketakutan gimana?” keluh Zafran mendadak tidak terima dengan kemampuan sahabatnya yang sekarang malah menjadi siksa mental tersendiri.
Evelina meringis pelan, lalu berkata, “Maaf, gue kelepasan tadi.”
“Tapi, itu kunti atau bukan?” tanya Zafran mendadak penasaran.
“Mirip, sih. Cuma lebih tepatnya ratu mungkin, karena itu besar dan kelihatan garang banget. Sepertinya udah jadi penunggu di situ sejak lama,” jawab Evelina mengangguk pelan. “Gue aja sampai takut, tapi belum sampai keintimidasi juga. Mirip seram ke bentuk sosoknya.”
“Oh, oke gue paham,” pungkas Zafran mengangguk pelan, walaupun awalnya sempat bingung mencerna perkataan sahabatnya.
“Lo enggak akan nginap di rumah gue cuma gara-gara kunti, ‘kan?” tanya Evelina merasa sahabatnya hendak memikirkan sesuatu.
“Kalau pun itu satu-satunya cara buat balik ke rumah. Lebih baik gue nelepon Bang Adzran ke sini,” jawab Zafran kesal.
Sedangkan Evelina yang mendengar perkataan itu pun tersenyum geli dan mengangguk-angguk mengerti. Seakan gadis itu mempercayai perkataan sahabatnya yang terdengar masuk akal. Karena Zafran hampir tidak akan pernah menginap di rumah Evelina, kecuali ada Peter.
Sebenarnya alasan Zafran tidak ingin menginap hanya karena takut bosan. Apalagi di rumah itu kebanyakan perempuan sehingga rasanya sedikit aneh ketika Zafran tiba-tiba bercengkrama dengan pembahasan yang mendadak berat.
“Itu … daging dari Bang Adzran?” tanya Zafran membuka percakapan lagi.
“Iya, dia ngasih ini katanya buat Mamah,” jawab Evelina mengangguk pelan memperlihatkan sebuah tempat di pangkuannya.
Zafran mengangguk pelan. “Kalau lo besok ada pelatihan atlet berarti enggak bisa ikut gue olahraga, ya? Padahal besok Rey sama Jo mau ngajak bersepeda 14 km.”