75. Perasaan Bersalah

2006 Words
Evelina sama sekali tidak menyangka bahwa sahabatnya akan datang. Padahal bisa ditebak kalau wajah lelaki itu benar-benar lelah seharian bersekolah dan langsung mengantarkan Azalia membeli banyak buku. Namun, kedatangan Zafran jelas disambut hangat oleh Evelina. Walaupun gadis itu sempat melakukan joke sampai Zafran mendadak kesal sendiri. Padahal yang dikatakan Evelina hanya mengandung guyonan belaka. Kini keduanya berada di ruang tengah sembari menyalakan televisi untuk menonton salah satu film yang telah rilis. Membuat mereka langsung menontonnya tanpa ditunda-tunda lagi. “Ve, lo beli roti banyak banget. Mau dibawa ke mana?” celetuk Zafran membuka kotak bawaan sahabatnya yang masih tertutup rapat. “Niatnya mau beli sedikit, tapi gue lihat di sana udah hampir habis. Jadi, gue borong aja semuanya biar mereka langsung bikin roti yang baru lagi,” balas Evelina mengembuskan napasnya panjang setelah selesai mempersiapkan televisi dengan menyalurkan suara agar tidak terlalu keras. “Mulia sekali hidupmu, Evelina,” puji Zafran tersenyum geli, lalu mulai membuka kotak tersebut untuk mengeluarkan secara satu per satu roti dengan aroma kopi yang begitu kuat. Sedangkan Evelina yang mendengar pujian itu pun hanya mendengkus kesal. Ia menganggap pujian dari sahabatnya benar-benar tidak ikhlas. Sebab, jarang sekali Zafran mengeluarkan kata-kata manis untuk Evelina. Apalagi keduanya terbiasa bertengkar. “Tadi lo balik jam berapa?” tanya Evelina mengalihkan pembicaraan sembari menyandarkan tubuhnya menikmati cemilan berondong jagung yang dibuatkan oleh sang ibu, Wendy. Ketika Evelina dan Zafran masuk ke dalam, keduanya memang langsung mendapati Wendy tengah berada di dapur untuk mengambil beberapa potongan bolu. Wanita itu langsung berinisiatif menyiapkan cemilan untuk sahabat anaknya yang sudah lama sekali berkenalan. Bahkan bisa dikatakan mereka seperti saudara beda orang tua saking dekatnya. “Sore, sih. Gue langsung mutusin balik tepat selesai beli buku,” jawab Zafran mengangguk santai sembari menikmati roti rasa cokelat yang begitu besar dengan toping aroma kopi cukup kuat. “Berarti lo balik langsung makan, habis itu ke sini?” Evelina tampak melebarkan mata tidak percaya. “Dan yang lebih penting lagi, lo jalan?” Mendengar hal tersebut Zafran tertawa pelan sembari mengangguk mengiakan perkataan dari gadis yang ada di sampingnya. Membuat lelaki itu tampak sangat menggemaskan di mata Evelina. Sejenak Evelina berdeham pelan, lalu berkata, “Lo enggak nganter Azalia balik?” “Buat apa?” tanya Zafran terdengar acuh tak acuh. “Ya, buat mastiin dia selamat sampai rumah, Zafran,” jawab Evelina memijat kepalanya lelah. “Terus, lo nemenin dia balik sampai mana?” Zafran mengingat kejadian tadi sesaat, lalu mengembuskan napasnya panjang. “Tenang aja, Azalia gue pesanin taksi tadi. Karena gue takut kalau lo marah.” Salah satu dari kalimat Zafran tampak membuat Evelina terdiam membisu. Tentu saja kalimat terakhir lelaki itu terdengar seakan dirinya seorang kekasih. Padahal mereka berdua hanya seorang sahabat yang sudah berteman sejak lama. “Siapa yang marah? Justru gue marah karena lo mengabaikan perempuan,” sinis Evelina jauh dari lubuk hatinya merasa senang mendengar perkataan Zafran yang seakan memedulikan suasana mood-nya berubah-ubah. Zafran merangkul bahu sahabatnya gemas, lalu menjepit kedua pipi Evelina hingga mulut mungilnya mengerucut. “Iya, iya lo enggak marah. Jadi, dari tadi cuma sensi sama gue.” “Ish, lepas!” keluh Evelina menepis tangan Zafran yang berada di kedua pipinya, lalu menatap penuh kekesalan. Di tengah perdebatan itu, tiba-tiba seorang lelaki menginterupsi keduanya agar berhenti saling mengomel satu sama lain. Tentu saja yang paling terkejut adalah Evelina. Gadis itu tampak melepaskan rangkulan gemas Zafran yang berada di pundaknya. “Papah!” panggil Evelina meringis pelan menebak bahwa sang ayah mungkin tengah menahan kesal melihat anak gadis kesayangannya dipeluk oleh lelaki lain. Sementara itu, Zafran tampak mengusap tekuknya yang terasa meremang. Lelaki tampan yang sudah bersahabat sejak lama itu terlihat berbeda. Mungkin akibat terlalu sering bersama sehingga perubahan ekspresi yang terjadi bisa tercetak jelas. “Sedang apa kalian berdua?” tanya Peter mendekat dengan kaus hitam polos dipadukan celana selutut berwarna cokelat. Lelaki yang segar dengan rambut lembab itu melangkah sembari membawa segelas kopi di tangannya. “Selamat malam, Om Peter,” sapa Zafran tersenyum manis berusaha menetralkan detak jantungnya yang seakan kepergok oleh seseorang tengah melakukan sesuatu. Peter menandangi wajah Zafran dengan tatapan yang berbeda, kemudian lelaki itu tampak mengkode melalui gerakan dagu menunduk sofa kosong tepat di belakang Zafran. Membuat lelaki tampan itu kembali duduk memperhatikan ayah dari seorang sahabatnya menelisik ke arah tumpukan roti beraroma kopi yang begitu kuat. “Eve, kamu beli roti ini lagi? Kenapa banyak sekali?” tanya Peter sedikit terkejut melihat porsi cemilan Evelina yang tidak main-main. “Iya, Pah. Sebenarnya tadi mau beli 3 doang, tapi pas sampai di sana Eve lihat ada beberapa roti lagi yang tersisa,” jawab Evelina mengangguk pelan tepat duduk di samping Zafran, kali ini keduanya sedikit berjauhan. “Jadi, kamu beli semuanya biar mereka buat roti baru?” Peter mengangguk beberapa kali, lalu mengambil salah satu roti tersebut dan mulai memakannya dengan lahap. “Enak! Papah suka yang ini.” Mendengar hal tersebut, Evelina langsung melebarkan mata antusias dan beranjak duduk di samping sang ayah sembari memeluk lengan lelaki itu romantis. “Kalau Papah suka, nanti sebelum kembali ke Swiss, Eve mau beliin ini yang banyak. Lumayan bisa tahan beberapa hari dan cocok buat cemilan nahan kantuk,” ucap Evelina mempromosikan roti kesukaannya kepada sang ayah. Peter tertawa pelan sembari mengacak lembut rambut Evelina, lalu membalas, “Ya udah, nanti beliin buat Papah sekalian sama Grandma. Karena Papah dengar kemarin kalau Grandma mulai suka sama roti-roti seperti ini.” “Grandma ada di Swiss, Pah? Eve pikir ada di Amerika, karena terakhir telepon Tante bilang lagi di Chicago,” tanya Evelina mengernyit bingung. “Enggak, kemarin Grandma sama Anne hadir di fashion walk salah satu brand ternama. Jadi, masih ada di Swiss sekitar empat hari lagi,” jawab Peter menggeleng pelan. “Baiklah, Eve akan belikan buat Grandma.” Evelina mengangguk puas. “Oh ya, Tante Anne minta Papah telepon. Udah, kah?” Peter menggeleng pelan. “Biarkan saja. Dia mungkin sedang menunggu kontrak kerja sama yang akan Papah bawa.” ** Pagi yang sangat cerah untuk memulai segala macam aktivitas. Perasaan segar sekaligus senang ketika disambut matahari cerah membuat Evelina tersenyum hangat menatap sinar mentari yang melesat masuk tanpa permisi melalui celah jendela kamarnya. Evelina tampak sudah siap beraktivitas di sekolahnya dengan mengenakan seragam kotak-kotak khas SMA Catur Wulan. Tak lupa gadis itu membawa tas mungil berisikan beberapa buku pelajaran yang berada di rumah. Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa gadis itu tidak perlu merasa khawatir jika dirinya melupakan buku pelajaran yang akan dibawa. Karena memang hampir seluruh kelasnya memiliki buku cadangan jika sewaktu-waktu terjadinya kelalaian yang tidak disengaja. Dirasa cukup siap, Evelina pun turun ke bawah menemui kedua orang tuanya yang sudah mulai menikmati sarapan. Kali ini Evelina akan menghabiskan makanannya lebih dulu, karena ia sudah berjanji pada Zafran untuk berangkat bersama. Sejujurnya Evelina ingin sekali kabur dari ajakan tersebut, tetapi rasanya sia-sia saja seperti kemarin. Membuat gadis itu memilih untuk mengalah dan membiarkan sahabatnya berbuat sesuka hati. “Morning sweet, Mah, Pah!” sapa Evelina tersenyum manis mencium pipi satu per satu dari sepasang suami-istri yang terduduk menikmati sarapan paginya. Mendengar sapaan manis dari anak tunggalnya, Wendy memegang lengan Evelina dengan lembut. Kemudian, wanita itu menatap penuh kasih sayang ke arah sang suami yang ikut merasakan bahagia melihat Evelina tidak pernah berubah terhadap kedua orang tuanya. Walaupun gadis itu sering kali ditinggal dalam alasan bekerja. “Sarapan dulu, sayang. Nanti biar Papah yang antar kamu ke sekolah,” titah Wendy menatap penuh kelembutan ke arah Evelina yang mulai menarik kursi yang berada tepat di hadapan sang ibu. Evelina menggeleng pelan, lalu menolak dengan halus, “Maaf, Mah. Eve enggak bisa berangkat sama Papah. Kemarin Eve udah janji sama Zafran buat berangkat bareng.” “Zafran mau jemput kamu?” tanya Peter mengernyit penasaran. “Iya, Pah. Semalam Zafran datang ke sini buat ngasih tahu itu doang,” jawab Evelina mengangguk meyakinkan, lalu mulai melahap nasi goreng yang menjadi sarapan pagi. “Oh ya, Mamah nanti jemput Eve atau enggak? Hari ini sepertinya Eve ada demo karate dari sekolah. Kemungkinan berangkat sehabis pulang atau dispen izin setengah hari.” “Demo karate untuk apa?” Wendy mengernyit bingung, sebab pembicaraan kemarin dengan pelatih Evelina sama sekali tidak ada pemberitahuan tentang demo karate. Membuat wanita itu merasa penasaran. “Kata Kang Seop, hari ini ada pembukaan cabang di salah satu pusat kebugaran. Jadi, seluruh sabuk hitam harus ngumpul untuk membuat pertunjukan demo,” jawab Evelina mengambil selembar roti bakar yang sudah dilumuri oleh selai stroberi kesukaan sang ayah. “Uhm! Ini pasti buat Papah, ya?” Peter mengangguk pelan merespon tebakan dari anak semata wayangnya yang sudah mengetahui pelaku di balik roti bakar dengan selai mengejutkan. Padahal biasanya di atas meja makan pagi hanya ada roti lembaran tanpa dibakar. “Ya sudah, Mamah enggak jemput kamu hari ini. Kamu bisa baik taksi, ‘kan? Mamah enggak tenang kalau kamu naik bus,” jawab Wendy mengangguk penuh cemas. Sebenarnya tidak dapat dipungkiri bahwa wanita itu masih merasa cemas dengan keinginan Evelina yang benar-benar di luar dugaan. Gadis itu tampak sangat sederhana, walaupun ia tahu bahwa kedua orang tuanya sangat kaya. “Tenang aja. Mamah ‘kan tahu sendiri kalau di sana enggak ada halte. Kemungkinan pakai taksi yang langsung pesan online dibandingkan parkir. Karena Eve menjaga hal-hal dari yang terburuk,” ucap Evelina tersenyum lebar dan kembali melanjutkan kegiatan sarapannya. Tak lama kemudian, Evelina pun telah menyelesaikan sepiring nasi goreng dan beberapa lembar roti bakar dengan pelayanan gratis dari sang ibu untuk mengoleskan selai. Kini Evelina hanya perlu menandaskan segelas s**u yang selalu diberikan oleh Bi Darwi ketika gadis itu hendak berangkat. “Di mana Zafran? Bukankah dia seharusnya sudah berada di sini?” tanya Peter mencari kedatangan dari sahabat sang anak semata wayangnya yang sejak tadi ditunggu untuk berangkat bersama. “Zafran udah ada di depan, Pah. Sengaja enggak Eve suruh masuk, nanti bukannya berangkat malah numpang sarapan,” jawab Evelina menggeleng pelan membayangkan betapa menyebalkannya lelaki itu ketika diberikan kesempatan untuk sarapan bersama kedua orang tuanya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Zafran terkadang membuat Evelina merasa resah sendiri. Gadis itu benar-benar tidak menyangka bahwa sahabatnya akan sangat tidak tahu malu ketika datang berkunjung. Walaupun sudah gadis itu usir dengan kejam. “Astaga, Eve, kamu benar-benar. Ya sudah berikan beberapa lembar roti ini untuk Zafran. Kasihan dia menunggu di bawah terlalu lama,” ujar Wendy menggeleng penuh takjub, lalu memberikan beberapa lembar roti bakar yang dibungkus dengan paper pack roti kopi pembelian Evelina semalam. Wanita itu memanfaatkan tempat yang masih bisa digunakan, walaupun isi di dalamnya jelas berbeda. “Makasih, Mah. Kalau begitu, Eve berangkat dulu!” pamit Evelina menyalimi tangan kedua orang tuanya dan berlari kecil keluar dari dapur menuju gerbang rumah untuk menemui Zafran. Sejujurnya Evelina memang benar-benar menyuruh Zafran untuk menunggu di luar gerbang tanpa disuruh masuk sama sekali. Membuat lelaki itu ketika dipersilakan masuk oleh Pak Jafra langsung ditolak kembali. Dengan napas tersenggal-senggal Evelina bersusah payah membuka pengait gerbang yang lumayan keras. Gadis itu menggerutu pelan sebelum akhirnya bisa dibuka dengan memperlihatkan seorang lelaki tengah berdiri tepat di samping mobil yang ada digunakannya. Sontak pemandangan mengejutkan itu pun membuat kening Evelina berkerut bingung, lalu menghampiri Zafran yang langsung memasukkan ponsel ke dalam saku celana ketika menyadari kedatangan sahabatnya. “Lo bawa mobil, Zaf?” tanya Evelina mengernyit bingung sekaligus terheran-heran. Zafran mengangguk santai, lalu menjawab, “Iya gue bawa mobil. Kenapa? Berlebihankah?” Evelina mengangguk polos dan berkata, “Sangat berlebihan. Gue pikir lebih baik naik motor aja.” “Enggak, pakai mobil aja. Gue mau nganterin lo demo sekalian,” balas Zafran bersikeras. Kali ini Evelina benar-benar terkejut mendengar perkataan sahabatnya yang di luar dugaan. “Tahu dari mana lo?” Zafran memegang kedua lengan Evelina lembut, lalu menatap penuh percaya diri ke arah sahabatnya yang tampak melebarkan mata. “Eve, apa pun yang berkaitan sama lo, jelas gue tahu. Jadi, kita lebih baik sekarang berangkat daripada terlambat dan dihukum oleh Reyhan. Tadi dia udah mengingatkan gue untuk berangkat lebih awal, karena kebetulan sekarang yang piket kebersihan dia sendiri. Jadi, biar tetap adil kita harus tertib.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD