42. Kepedulian Sang Kakak Laki-laki

1004 Words
Dua jam berlalu begitu cepat, kedua tim futsal itu pun menyelesaikan pertandingannya yang dimenangkan oleh SMA Catur Wulan dengan skor perolehan 5:4. Mereka memang nyaris mengalami skor yang sama, tetapi Zafran langsung sigap menghalangi bola tersebut memasuki gawangnya. Pada posis pemain terakhir, Zafran merangkap sebagai kiper. Alhasil banyak bola yang ditangkap dengan mudah oleh lelaki itu. Membuat tim lawan sedikit kewalan akibat penjagaan mematikan yang dilakukan oleh Zafran. Kini kedua tim itu pun berjabat tangan satu sama lain untuk mengikrarkan bahwa mereka tidak akan saling memusuhi hanya karena gagal dalam pertandingan. “Cantik ya, cewek yang datang sama lo, Zaf. Jadi, pengen gue gebet,” celetuk salah satu pemain lawan membuat Zafran melebarkan matanya horror. “Jangan coba-coba dekati dia, Vin!” sahut Reyhan mengkode agar lelaki tampan yang kini tersenyum penuh pikat ke arah Evelina untuk mengurungkan niatannya. “Memangnya kenapa? Dia udah punya pacar? Atau … pacarnya Zafran?” Seorang lelaki bernomor punggung 05 itu pun mengernyit bingung. Sebab, Kevin memang hampir tidak melihat Zafran bersama seorang gadis, terlebih kalem dan tenang seperti Evelina. Jordan yang mendengar hal tersebut pun mulai merasa arah pembicaraan mereka sedikit menyinggung asmara. Membuat lelaki itu langsung merangkul kedua sahabatnya untuk melenggang pergi menuju ruang ganti. Meninggalkan Kevin yang menatap kosong pada ruang hampa di hadapannya. Sementara itu, Evelina yang menjadi objek pembicaraan hanya menatap polos. Gadis itu memang tidak mendengar apa pun, selain banyak pandangan mata yang menatap dirinya dengan penuh ekspresi sampai Evelina tidak bisa menjabarkannya satu per satu. Namun, di saat gadis itu menunggu, beberapa kali muncul sesosok arwah yang menjadi tamu sekaligus penghuni tetap di sana. Membuat Evelina sedikit merasa terhibur dengan kehadiran mereka yang tidak terlihat, tetapi mampu menjadikan Evelina tidak terlalu bosan. Jelas Evelina banyak mendapatkan pengalaman, baik itu buruk maupun menyenangkan. Semua itu berkat dari cerita masing-masing hantu tersebut. Bahkan beberapa dari mereka mengatakan bahwa dirinya tengah diperebutkan oleh dua tim futsal tersebut. “Sampai kapan kamu tetap di sini, Eve?” tanya sesosok gadis pucat dengan memeluk boneka di tangannya. “Uhm … mungkin sampai sahabatku selesai,” jawab Evelina berpikir sesaat. “Sepertinya kamu sangat menyukai sahabatmu itu,” sahut seorang lelaki tampan yang mengenakan seragam sekolah khas anak SMP. Ia merupakan korban dari tabrak lari yang tidak jauh dari lapangan futsal. “Tidak, aku hanya terbiasa dengan dia. Karena sejak kecil aku sudah tumbuh dan besar bersama dia,” sanggah Evelina menggeleng pelan. “Apa kamu sulit berteman, Eve?” tanya nenek tua yang mengenakan pakaian jarik ala kejawa-jawaan. Evelina meringis pelan, lalu mengangguk canggung. “Semua ini bermula dari kemampuanku yang sedikit sulit diterima oleh orang banyak. Apalagi tinggal di kota yang rasanya canggung kalau masih memikirkan tentang dimensi makhluk astral.” “Kalau begitu, jangan memikirkan perkataan orang lain, Eve. Kamu tetaplah menjadi diri sendiri, karena kemampuan ini menjadi salah satu kelebihan dari daya tarikmu sebagai seorang gadis. Apalagi sudah tidak banyak generasi muda yang bisa memiliki kemampuan seperti ini,” ungkap seorang gadis kecil yang terlihat ceria, padahal wajahnya sangat pucat membuat Evelina benar-benar merasa disindir dengan sangat keras. Mendengar banyak perkataan yang mengandung hiburan, Evelina pun tersenyum senang. Rasanya sangat melegakan sudah bercerita banyak kepada mereka. Meskipun tidak ada yang bisa Evelina lakukan selain mendoakan agar mereka tetap bisa bertemu dengan keluarganya nanti. Karena sungguh kesepian kalau mereka berada di alam luar tanpa melakukan apa pun. Terlebih mereka yang melupakan jalan pulangnya sendiri. “Ve, ayo balik!” ajak Zafran menghentikan langkahnya sesaat. Evelina mengangguk pelan, lalu bangkit dari tempat duduknya. Sesaat gadis itu melambaikan tangannya singkat. Tentu saja tanpa sepengetahuan Zafran yang mungkin akan terkejut melihat dirinya lagi-lagi berinteraksi dengan sesosok lain. “Zaf, nanti langsung antar Eve ke rumahnya. Jangan lo bawa kabur lagi,” sindir Reyhan sembari mengaitkan tas kecilnya di belakang motor besar. “Tenang aja. Kalau dia enggak boleh balik, dengan tangan terbuka orang tua bakal nerima dia,” balas Zafran santai. “Jadi, adik lo?” sahut Jordan bingung. Zafran tersenyum misterius. “Bukan, tapi jadi menantunya.” Mendengar hal tersebut, spontan Evelina memukul pundak sahabatnya dengan sedikit keras. Lalu, melebarkan matanya tajam untuk memperingatkan lelaki itu lebih menjaga kata-katanya. “Astaga, canda doang, Ve!” keluh Zafra mengusap pundaknya yang terasa panas sembari mencebikkan bibirnya manja. Sontak ekspresi itu pun membuat kedua sahabat Zafran bergidik ngeri, lalu mereka berdua kompak menggeleng tidak percaya. Terkadang otak Zafran yang normal bisa mendadak absurd melebihi Reyhan. “Ya udah, cepat pulang!” pungkas Evelina kesal. Tanpa menunggu lama lagi, Zafran pun langsung melajukan motor besarnya menuju kembali ke ruang sahabat sekaligus dirinya. Hari semakin gelap dengan arloji yang ada di tangan lelaki itu menunjukkan pukul 09.30 pm. Sesampainya di depan rumah bergaya minimalis, Zafran pun turun untuk mengantaran Evelina masuk ke dalam. Lelaki itu memang terbiasa bertanggung jawab dengan segala yang berurusan Evelina. Sehingga tidak dapat dipungkiri gadis itu dijaga dengan baik oleh Zafran, apa pun yang terjadi. “Om sama Tante masih bangun, Ve?” tanya Zafran setengah berbisik, sebab tidak ingin mengganggu orang lain yang mungkin sudah terlelap. “Sepertinya enggak, karena hari ini Papah ada kerjaan dan mungkin Mamah udah tidur,” jawab Evelina tidak kalah pelan sembari menggeleng beberapa kali. Sejenak gadis itu membuka pintu utama dengan sangat pelan dan berusaha tidak menimbulkan suara apa pun. Membuat Zafran mengangguk beberapa kali, lalu menunggu Evelina menyelesaikan kegiatannya. “Gue balik dulu, ya, Ve.” Zafran tersenyum singkat memastikan sahabatnya tetap aman berada di dalam. Sebab, lelaki itu akan bertanggung jawab atas semua yang telah dilakukan oleh Evelina. “Iya, hati-hati, Zaf. Jangan lupa makan malam juga!” balas Evelina mengangguk beberapa kali, lalu menutup pintu rumah dengan rapat. Sejenak Zafran tersenyum geli mendengar balasan dari sahabatnya membuat lelaki itu berbalik sembari mengenakan helm miliknya lagi. Lelaki itu harus segera kembali sebelum sang kakak menyelesaikan kegiatanya. Sebab, Adzran akan mengomel ketika melihat adiknya ternyata belum pulang sama sekali. Selain tidak ingin memulai pertengkaran, jelas Adzran akan tetap mempertahankan kemenangannya. Sampai Zafran merasa benar-benar tidak mempercayai, bahwa sang kakak sangat aneh. Bahkan lelaki itu bisa dikatakan seperti perempuan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD