Menyelamatkan Perempuan Depresi

1301 Words
"Lang, gue balik duluan, ya? Roti masih tujuh biji nanti dibawa pulang aja atau kasih ke satpam," ucap Bima. Ia sudah bersiap pulang. Ditangannya tertenteng boks rotinya yang kosong. "Ok. Hati-hati, Mas!" Sahut Langit seraya membalas lambaian tangan Bima. Kini Langit memandang sekeliling ruangan cafe. Kursi-kursi sudah dinaikan ke atas meja. Lantai sudah dibersihkan. Mas Bima juga sudah membereskan meja konter. Tugasnya sudah selesai. Dari jendela kaca teras, dilihatnya hari mulai gelap. Sebentar lagi Azan Maghrib. Kini ia baru merasakan perutnya keroncongan. Lambungnya hanya diganjal satu buah roti saja selepas Zuhur tadi. Langit pun buru-buru memakai jaketnya, bersiap untuk pulang. Namun, tiba-tiba saja ia mendengar suara mencurigakan yang berasal dari teras belakang. Dengan penuh waspada perlahan Langit membuka kembali pintu belakang. Matanya dengan tajam menyisiri seluruh area itu. Tapi ia hanya mendengar suara kompresor yang masih menyala. Kursi yang didudukinya tadi pun masih kosong. Tak ada satu pun orang di sana. Kini Langit melangkahkan kakinya lebih jauh. Menyusuri teras hingga ke sudut area yang remang. Dan tiba-tiba matanya terpaku pada sesosok wanita yang berdiri membelakanginya, di atas pagar tembok yang sempit. Tampak ia sudah bersiap-siap untuk melompat terjun ke jalanan di bawahnya. Sepatunya sudah dilepaskan di lantai. Dan keduanya kakinya tampak gemetar. "Heiiii!!" Langit berteriak. Seketika wanita itu menoleh dengan terkejut, lalu menatap Langit dengan takut. Samar-samar Langit melihat kedua matanya yang basah. "Jangan mendekat!" Teriaknya dengan suara bergetar. Langit menghentikan langkah dengan kedua tangan diangkat di depan dadanya. Jantungnya berdegup kencang. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Ok! Gue bukan mau ngelarang lu bunuh diri. Tapi please! Jangan disini! Ini tempat gue nyari duit. Kalo lu mati di sini, cafe gue sepi! Gue bisa dipecat, terus ade gue gak bisa makan, gak bisa sekolah. Terus gue mau minta sama siapa? Lu enak udah jadi arwah!" Wanita itu memandang langit dengan kesal. Ia lalu memalingkan wajahnya kembali ke depan, bersiap-siap untuk kembali melompat. "Ok! Ok! Ok! Gini deh, lu kalo mau bunuh diri jangan di sebelah situ. Bawahnya pos satpam. Lu gak bisa langsung mati. Mending geser dikit ke sini yang terang. Bawahnya paaas banget jalanan." Kini langkah Langit semakin mendekat. Jantungnya semakin berdegup kencang. Tangannya gemetar, siap menarik gaun panjang wanita itu yang berkibar-kibar tertiup angin. Dan ketika wanita itu akhirnya menoleh kembali, dengan sigap Langit pun menarik gaunnya hingga wanita itu pun jatuh menimpanya. Dan Langit pun terhempas ke lantai semen yang keras. Ia merasakan sakit luar biasa di kepalanya. Dilihatnya wanita itu langsung bangun dengan wajah yang panik. "Kamu gak pa-pa?" Wanita itu mencoba membantu Langit untuk bangun. Tapi Langit meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Ia merasa pusing tujuh keliling. Samar-samar dilihatnya wanita itu semakin panik. Ia lalu memejamkan matanya menahan sakit. Dan tak ingat apa-apa lagi. Dengan mata yang masih terpejam Langit merasakan kepalanya berada di atas bantal empuk di dalam kamarnya. Perlahan ia pun membuka mata dan menyadari ternyata ia tengah berada di dalam mobil yang melaju. Namun kedua matanya mendadak terbuka lebar saat mendapati wajah itu menatapnya sangat dekat. Seketika ia terbangun sambil menjerit. Membuat mobil berhenti tiba-tiba. "Kok, lu lagi?" Omelnya. Rupanya tadi kepalanya berada di atas pangkuan wanita itu. Dan wanita itu pun tak kalah terkejut. "Gue lagi berusaha nolongin lo. Gue mau bawa lo ke rumah sakit!" Sahutnya dengan kesal. "Gak usah! Gue gak pa-pa. Udah sadar! Gue mau balik aja," sahut Langit seraya memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. "Ke rumah sakit aja kali. Diperiksa dulu. Kalo kenapa-kenapa?" Wanita itu memandang Langit dengan khawatir. "Yang kenapa-napa itu otak lu..." Langit tak jadi meneruskan kalimatnya ketika wanita itu tiba-tiba menempelkan telunjuk di bibirnya seraya melirik ke arah pria yang tengah memegang kemudi. "Pak, saya mau turun disini!" Teriak Langit sambil bersiap membuka pintu mobil. "Ok! Ok! Gue anter lo ke rumah aja kalo gitu," ucap wanita itu akhirnya. Dan Langit akhirnya menyerah ketika menyadari ia sudah terlalu jauh untuk kembali mengambil motornya. Ia lalu menyandarkan punggungnya di kursi sambil memegangi kepalanya menahan sakit Dari samping wanita itu memandangi Langit dengan wajah semakin cemas. Ia meremas-remas jemari tangannya dengan gugup dan menggigiti bibirnya berulang kali. Tapi ia tak berani bersuara lagi. Ia takut akan kembali membuat marah laki-laki yang duduk menjauh darinya itu. Tiga puluh menit kemudian mobil pun sampai di depan rumah. Dan Langit buru-buru meminta wanita itu untuk segera pergi menghilang saat terdengar suara adiknya berlari dari dalam rumah. "Mas Lang? Dari mana aja, sih? Barusan Mas Bima telepon. Katanya Mas Lang jatuh?" Mentari menyambutnya dengan wajah khawatir. "Iya, abis ketabrak orang gila tadi," sahut Langit dengan asal. "Terus? Orang gilanya gimana?" "Hah?!" Langit membelalakan kedua matanya. "Kok, malah orang gilanya yang ditanyain?" Sungutnya. Mentari tertawa. "Ya takutnya dia kenapa-napa? Memangnya Mas Lang lagi ngapain, sih? Kok bisa ketabrak orang gila?" Tanya Mentari lagi sambil membuntuti Langit yang berjalan ke ruang makan. "Enggak lagi ngapa-ngapain, dianya aja yang stres pakai nabrak orang." Langit kembali menjawab dengan asal. "Mana ada orang gila stres? Justru orang kalau kelamaan stres bisa jadi gila," sahut Mentari. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia memang tidak pernah bisa membohongi adiknya yang cerewet itu. "Dan kalau dengerin ocehan kamu terus, Mas juga bisa jadi gila," sahut Langit dengan gemas. Dan Mentari pun kembali tertawa. "Terus tadi Mas, naik apa ke sini? Kok, gak bawa motor?" Kejarnya lagi. "Taksi online. Motornya mogok," dusta Langit lagi. "Kok, mogok?" Langit menatap Mentari sambil melotot. "Kamu cerewet banget sih, De? Udah ah, Mas Laper!" Sahutnya dengan kesal. Dibukanya penutup makanan di atas meja. Dan seketika mata dan mulutnya terbuka lebar. Tampak sepiring Udang Saus Padang kesukaannya yang begitu menggiurkan. "Tumben amat? Siapa yang kasih?" Tanyanya dengan mata berbinar. "Siapa lagi? Dari cewek yang di php-in Mas Lang?" Sungut Mentari. "Lah, siapa yang php-in? Dianya aja yang kerajinan," sahut Langit seraya menyendok nasi ke atas piring dan menumpahkan seluruh udang di atasnya hingga tak bersisa. "Kamu udah makan kan, De?" Tanyanya saat menyadari ia lupa menyisakan untuk adik semata wayangnya itu. Mentari tak menjawab. Ia hanya memandang Langit sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kasian lah, Mas, sama Kak Via. Ajak gitu sekali-kali nonton, biar girang," sungut Mentari lagi. Langit mengangkat kedua alisnya. "Kasian? Biarin aja, dia kan anaknya Bu RT?" Sahutnya sambil mengaduk-ngaduk nasinya dengan sendok. "Lah, apa hubungannya kasian sama Bu RT?" Gerutu Mentari. Langit menarik nafasnya. "Memangnya ngajak nonton cewek cukup lima puluh ribu? Belum minum, makannya, jajannya? Memang kamu mau? Gak dikasih ongkos selama satu minggu?" Sahutnya. "Uuuh! Dasar, pelit!" Mentari mencebikan bibir, lalu beranjak menuju kamarnya. "Nanti nunggu kamu lulus dulu, enam bulan lagi. Itu juga kalau kamu masih gak mau kuliah." "Bukannya gak mau. Aku mau kerja dulu sambil ngumpulin biaya kuliahnya. Lagian, memangnya Mas Lang punya duit?" Sahut Mentari lagi, lalu menutup pintu kamarnya. Langit memandangi pintu kamar Mentari yang tertutup. Lalu kembali menghela nafasnya yang terasa semakin berat. Disuapnya nasi udang ke dalam mulut sambil termenung. Pikirannya kembali menerawang jauh. Andaikan orang itu gak menghancurkan hidup kita De, batinnya kembali pilu. Tapi dengan cepat ia kembali tersadar. Ia tidak boleh terus-terusan meratapi nasibnya. Ia harus bangkit dan berjuang demi Mentari. Langit pun buru-buru menghabiskan makanannya. Ia ingin secepatnya berbaring di atas kasur empuknya. Di dalam kamar, Langit meringis ketika dirasakan sekujur tubuhnya yang terasa sakit. Dasar perempuan sinting! Mimpi apa gue semalem ketiban orang gila! Umpatnya. Perlahan dibukanya seluruh pakaiannya yang kotor. Ia memang tidak ingin adiknya mengetahui apa yang dialaminya. Mentari mudah sekali panik, dan sangat cerewet. Kalau sampai dia tahu, bisa-bisa Devia datang pagi-pagi buta ke rumahnya sambil membawa obat gosok. Dan kini sambil berbaring di atas kasurnya Langit kembali mengingat kejadian itu. Apa yang membuat perempuan itu begitu nekat ingin mengakhiri hidupnya? Ia dapat melihat dengan jelas sorot kesedihan yang begitu dalam di kedua matanya yang sembab. Wajahnya cantik, tapi kulitnya sangat pucat. Dan rambut panjangnya yang ikal sangat berantakan. Dia pasti sangat depresi. Siapa dia? Mengapa dia begitu putus asa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD