Perempuan Itu Bernama Malia

1589 Words
Suara klakson mobil yang terdengar nyaring membuat Langit buru-buru keluar dari dalam rumah. Setelah mengunci pintu ia pun melompat masuk ke dalam mobil. "Sorry, Mas, ngerepotin!" Sapanya pada pria di balik kemudi. "Emang lu beneran udah gak pa-pa?" Tanya Bima seraya melajukan kembali mobilnya. "Enggak! Dari semalam juga udah gak pa-pa. Cuma pingsan sebentar," sahut Langit seraya memegangi kepalanya yang sebenarnya masih terasa sakit. Tapi ia tak tega membiarkan Mas Bima sendirian incharge di cafe. Apalagi setiap hari Jumat Cafe lebih ramai dari hari biasanya. "Hai, Via!" Tiba-tiba saja Langit menurunkan kaca mobil saat melihat Devia yang tengah menyirami tanaman di halaman rumahnya. Dilambaikannya tangan pada gadis itu seraya menyunggingkan senyuman. Ia ingat pesan sang adik untuk membalas kebaikannya. Devia pun tampak terkejut lalu tersipu malu. "Memangnya dia masih suka donasi makanan?" Tanya Bima yang dijawab Langit dengan seringai di wajahnya. Bima mengeleng-gelengkan kepalanya. "Habis kebentur otak lu jadi tambah ngaco. Lagian, ngapain sih lu semalam pakai naik-naik pagar tembok segala?" Tanyanya lagi. Langit melongo menatap Bima. "Siapa yang manjat? Iseng amat gue?" Sahutnya kebingungan. "Lah, kata Pak satpam cewek itu bilang lu yang manjat ke tembok, terus waktu lu lompat nimpa dia?" Bima ikut kebingungan. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Wah, bener tuh cewek memang stres." Langit menghela nafasnya dengan kesal. Lalu diceritakannya kembali kejadian yang dialaminya itu pada Bima. Dan Bima pun tergelak setelah mendengar ceritanya. "Lu tau gak, cewek itu siapa?" Tanyanya kemudian. Langit menggeleng. "Gak perlu tau. Buat apa juga?" sahutnya malas. "Anaknya Pak Subagja!" Jawaban Bima membuat Langit terkejut. Dipandanginya Bima tak percaya. "Yang punya Bagja Tower? Masak sih? Kok, gue gak pernah liat?" Tanyanya beruntun. Bima menggeleng. "Mungkin baru pulang dari luar negeri. Ketiga anaknya kan, sekolah di luar semua," sahutnya. "Terus kenapa dia stres? Sampai mau bunuh diri?" Tanya Langit lagi, penasaran. Bima kembali menggeleng. "Complicated hidup orang kaya," gumam Langit akhirnya. Dipalingkannya kembali wajahnya ke jalan yang macet di hadapannya. Bima tersenyum. "Jangankan dia. Hidup lu aja complicated," sahutnya seraya melirik jam tangannya dengan gusar. Tiga puluh menit kemudian mobil Bima berhenti di depan lobby gedung. "Sebelum makan siang gue udah balik ke cafe," ucapnya. "Siap, Mas!" Sahut Langit sambil mengeluarkan boks roti dari kursi belakang, lalu masuk ke dalam gedung. "Pagi, Mas Langit!" Pak Riswan menyambut Langit dengan senyuman ramahnya. Dengan sigap dibantunya Langit membawakan boks roti hingga ke dalam elevator. "Thank you, Pak! Hari ini Pak Riswan tugas pagi?" Tanya langit. "Ya, Mas. Maaf nih, gak bisa bantuin dulu," sahut Pak Riswan seolah tahu apa yang dipikirkan Langit. Langit tersenyum. "Gak pa-pa, Pak!" Sahutnya. Ah! Padahal ia sangat berharap Pak Riswan dapat membantunya di saat-saat darurat seperti ini. Ia sudah terlambat hampir setengah jam. Dan ia harus menyiapkan cafe seorang diri karena Mas Bima harus pergi berbelanja. Akhirnya empat puluh menit kemudian Langit pun siap membuka cafe. Dibaliknya tanda 'open' di pintu kaca. Namun seketika ia menyadari, seorang wanita tengah berdiri tepat di depan pintu, memandangi dirinya sambil tersenyum. Sejenak Langit terpaku lalu melangkah mundur saat wanita itu mendorong pintu dan melangkah masuk. "Selamat, Pagi Mas Langit!" Wanita itu menyapa Langit dengan wajah berseri. Tapi Langit masih diam terpaku. Ditatapnya wajah wanita itu. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi tatapan putus asa. Dia seperti bukan wanita yang ditemuinya tadi malam. Lalu seolah tersadar dengan cepat ia berlari ke pintu belakang, menguncinya, lalu memasukan kunci itu ke dalam saku celananya. Dan wajah wanita itu pun mendadak berubah. "Lo pikir gue mau bunuh diri lagi?" Ucapnya dengan kesal. "Lah, terus mau ngapain ke sini?" Sungut Langit. Dihampirinya wanita itu sambil melipat kedua tangannya di d**a. Seolah ingin menjaga agar wanita itu tak melarikan diri ke teras belakang. "Nih! Semalam Jaket lo ketinggalan di mobil." Wanita itu mengulurkan sebuah bungkusan plastik pada Langit. "Thanks!" Sahut Langit acuh sambil mengambil bungkusan itu dari tangannya. Tapi wanita itu masih belum beranjak pergi. Ia masih berdiri memandangi Langit. "Terus? Mau ngapain lagi?" Tanya Langit dengan galak. Sungguh ia masih merasa kesal dengan kejadian tadi malam. Karena wanita itu sudah membuat kepalanya sakit semalaman sampai tak bisa tidur. Dan ia juga takut wanita itu akan melakukan perbuatan nekatnya lagi. "Gue mau minta maaf!" Wanita itu kini mengulurkan tangannya. Dengan malas Langit membalas uluran tangannya. "Ok! Done! Udah gue maafin. Sekarang lu bisa pergi. Gue mau kerja!" Sahutnya seraya masuk ke dalam konter. "Ini kan, tempat umum? Gue mau disini lama juga gak masalah, kan?" Kini Langit menghela nafasnya. "Terserah lu aja, deh," sahutnya pasrah. Tapi mendadak ia merasakan kepalanya kembali pusing. Dipeganginya kepalanya sambil meringis. "Are you ok?" Wanita itu memandangi Langit dengan cemas. "Tadi sih sebelum lu datang, kepala gue baik-baik aja. Sekarang kambuh lagi," sahut Langit acuh. "Gue antar ke dokter, ya?" Wanita itu terlihat semakin cemas. "Gue udah bilang dari semalam, gak perlu! Nih, gue udah beli obat," sahut Langit seraya menunjukan sebutir permen yang diambilnya dari laci konter lalu memasukannya ke dalam mulut. Ditunggunya wanita itu pergi. Tapi wanita itu seperti tak ingin pergi. Dia masih berdiri di hadapan Langit seperti orang kebingungan. "Sekarang lu mau ngapain lagi?" Langit kembali memandang wanita itu dengan gemas. "Ya, udah gue mau pesen kopi." Wanita itu menyahut dengan kesal. "Kopi apa?" "Terserah!" Langit menghembuskan nafas panjang. Berusaha menahan kesabarannya yang setipis kertas. Dibuatkannya secangkir kopi latte panas untuknya. "Oh iya, kita kan, belum kenalan?" Wanita itu kembali mengulurkan tangannya pada Langit. "Lu kan, udah tahu nama gue?!" Sahut Langit lagi dengan cueknya. Dan wanita itu pun menarik tangannya kembali dan membawa kopinya ke meja di sudut ruangan yang tak terlihat. Langit kembali menghela nafas. Diperiksanya saku celananya untuk memastikan kunci teras belakang yang ia sembunyikan masih berada di sana. Ia takut sekali wanita itu akan kembali melakukan perbuatannya. Diam-diam diperhatikannya wanita itu dari jauh. Entah kenapa ia menjadi sangat khawatir dengannya. Beberapa saat kemudian satu persatu pengunjung cafe mulai berdatangan. Sejenak Langit pun melupakan wanita itu. Ia tenggelam dalam kesibukannya hingga siang menjelang. Saat akhirnya Bima datang dengan menenteng dua kantong besar belanjaan cafe. "Ramai, gak?" Tanya Bima. "Pagi ini sih, lumayan, Mas. Baru aja pada bubar," sahut Langit seraya membuka apron dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi. Akhirnya ia bisa meluruskan kakinya sejenak. "Terus itu siapa?" Bima menunjuk ke meja di sudut ruangan yang tak terlihat. Dan Langit pun tersadar jika wanita itu ternyata masih berada di sana. Dipandanginya Bima dengan enggan. Ia malas sekali untuk menjelaskannya. "Perempuan yang semalam itu. Dari pagi dia di sini. Gak tau mau ngapain?" Sungutnya "Loh. Ya, ngopi, lah. Dia beli kopi, kan?" Kini Bima memandang Langit dengan aneh. Langit kembali tersadar, bagi Mas Bima tak ada orang yang dianggapnya aneh di cafe-nya selama mereka tak mengganggu dan membayar kopinya. "Jangan bilang kalau dia lagi nungguin lu?" Bima menatap Langit dengan curiga. Langit menggeleng. "Tadi dia udah minta maaf sama gue, dan udah gue maafin." "Terus...?" Kini Langit menatap Bima dengan bingung. "Ya, udah gitu aja," sahutnya. "Lu pasti cuekin dia, kan?" Bima menatap Langit lebih dekat. Langit memalingkan wajahnya. Berusaha menghindari tatapan Bima. "Lu masih ingat kan, Lang, dia itu siapa?" Kejar Bima lagi. "Tapi gue gak tau dia maunya apa, Mas," jawab Langit dengan malas. Kini Bima menarik kembali wajahnya. "Gak mungkin lu gak tau. Dari dulu kelakuan lu enggak pernah berubah. Lu sering banget cuekin pelanggan cewek sampai-sampai mereka malas datang ke sini lagi." "Gue kan, gak punya waktu buat melayani cewek-cewek centil itu," sahut Langit dengan wajah bersungut. Bima menahan senyumnya. Ia tahu Langit tidak suka dengan pelanggan-pelanggan wanita yang kerap menggodanya di cafe. Ia merasa risih. "Tapi itu kan, bagian dari marketing juga, Lang. Kalau lu bisa sedikit ramah sama mereka, omzet kita bakalan cepat naik." "Gue mendingan disuruh yang lain aja, deh, Mas. Dia itu ribet!" Sahutnya. Bima menggeleng. "Gak bisa! Ini tuh, anaknya Pak Subagja. Sekarang lu samperin dia. Terus duduk di sana lima menit. Atau lu mau gue pecat?" Ancamnya. Langit membelalakan kedua matanya. Dilihatnya wajah Mas Bima yang tampak sungguh-sungguh. "Lu mau dia lapor ke bapaknya karena lu cuekin, terus kita gak bisa sewa tempat di sini lagi?" Ujar Bima lagi dengan mata melotot. "Ya, kali segitunya?" Gerutu Langit. "Ya, memang segitunya, Lang. Dia itu lagi depresi. Dia bisa melakukan hal apa aja yang tak terduga." Dan Langit pun akhirnya menyerah. Dengan enggan ia menghampiri wanita itu. Ah! Mas Bima memang sangat berlebihan. Ia selalu saja mementingkan pelanggan daripada perasaannya, gerutunya. Wanita itu menyambut Langit dengan senyuman. Tapi Langit melihatnya seperti sebuah ejekan. Dia pasti tahu Bima yang memintanya untuk menemuinya. "Malia!" Wanita itu mengulurkan tangannya. Dengan enggan Langit pun menyambut uluran tangannya. "Langit!" Sahutnya. "Aku mau bilang terima kasih karena kamu udah nyelamatin aku. Dan sekali lagi aku minta maaf karena udah bikin kamu jadi sakit kepala," ucap Malia dengan tulus. Langit mengangguk. "Ok. Permintaan maaf diterima! Masalah selesai!" Sahutnya dengan wajah yang masih dingin. "Hmm... Apa aku boleh jadi teman kamu?" Malia menatap Langit dengan ragu. Langit balik menatap gadis itu dengan bingung. Digaruknya kepalanya yang tak gatal. Perasaan gue yang kebentur? Gumamnya. Buat apa dia ingin berteman dengannya? Namun ia tak berani menolak. Dan ia pun kembali mengangguk. Malia menyunggingkan senyumnya. "Aku boleh minta nomor hape kamu?" Tanyanya lagi seraya mengulurkan ponselnya. Langit mengangkat kedua alisnya. Nomor hape? Ah! Dasar cewek ribet! Langit hampir saja menolaknya, saat kemudian ia menyadari Mas Bima tengah mengawasinya dari jauh. Ia pun lalu mengetikan nomornya di ponsel Malia. "Ok! Sekarang udah semuanya. Saya ijin mau istirahat dulu, ya?" Ucapnya seraya menyunggingkan senyum terpaksa. Diliriknya jam di tangannya, waktu lima menitnya sudah habis. Dari balik punggung Langit, Malia memandanginya dengan senyum yang lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD