Cafe Dewa

1342 Words
Langit terbangun ketika dirasakan percikan air dingin membasahi wajahnya. Dipicingkannya kedua mata. Dilihatnya wajah Mentari, dengan seringainya yang menyebalkan. Dia sudah rapi dengan pakaian putih abu dan tas ransel di punggungnya. Di tangannya ada segelas air yang siap dipercikannya kembali. "Cepetan, Maaas! Tukang ojeknya udah nungguin!" Teriaknya. Dengan malas Langit mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari saku celananya dan diberikannya kepada adik perempuannya itu. "Loh, kok?" Protes Mentari. "Sehari dulu. Nanti ditransfer lagi!" Sahut Langit seraya menutup wajahnya dengan bantal. "Ok. Mi nya udah aku buatin tuh, di meja. Buruan bangun. Nanti keburu mekar!" Sahut Mentari seraya berlari keluar dari dalam kamar. "Mi instan lagi?!" Teriak Langit. Dibenamkannya kembali wajahnya ke dalam bantal. Namun, tiba-tiba sebuah suara kembali memaksanya untuk bangun. Terdengar sebuah ketukan di pintu rumah. "Assalamu alaikum..! Mas Langiiiit!" Akhirnya Langit memaksa tubuhnya bergerak. Dipakainya kaus untuk menutupi badannya. "Sebentar!" sahutnya seraya bergegas keluar dari dalam kamar. Di depan pintu sudah berdiri Devia, tetangganya yang manis. Kedua tangannya memegang sebuah mangkuk makanan. "Ini Mas, buat sarapan." Devia mengulurkan mangkuk yang dipegangnya itu pada Langit. "Oh! Ini kamu bikin sendiri?" Tanya Langit seraya mencium aroma manis yang keluar dari dalam mangkuk yang terasa hangat itu. Devia mengangguk malu. "Makasih, ya? Kamu baik banget. Mau sarapan bareng?" Goda Langit sambil melemparkan senyum termanisnya. Gadis itu pun menggeleng sambil kembali tersipu malu. "Saya permisi dulu ya, Mas!" Pamitnya, lalu buru-buru berjalan pulang ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter saja jauhnya. Sambil tersenyum bahagia Langit menyuapkan bubur Sum-Sum itu ke dalam mulutnya. Akhirnya pagi ini Devia kembali menyelamatkan lambungnya dari mie instan buatan Mentari yang membosankan. Setelah menghabiskan sarapan, Langit pun bergegas untuk bersiap-siap berangkat ke tempat kerja. Dengan Vesva tuanya Langit menembus kemacetan jalan Ibu Kota hingga tiba di halaman parkir gedung perkantoran Bagja Tower, tepat pukul tujuh lewat lima belas menit. "Selamat Pagi, Mas Langit?" Seorang pria berseragam keamanan menyapa Langit sesaat ia masuk ke dalam lobby gedung. "Pagi, Pak!" Sahut Langit. Ah! Bantuan datang tepat waktu, senyumnya dalam hati. "Tugas malam nih, Pak Riswan?" Tanyanya. "Iya, Mas, baru selesai. Nunggu pergantian jaga. Sekalian mau minta kopi," sahut Pak Riswan setengah berbisik. Langit tersenyum. "Siap, Pak!" Sahutnya, seraya masuk ke dalam elevator yang membawa keduanya sampai ke lantai 20, tepat di depan sebuah pintu kaca bertuliskan Cafe Dewa. Dan Langit pun mulai melakukan rutinitas paginya untuk membuka cafe. Memastikan kelengkapan meja konter, menyalakan mesin penggiling biji kopi dan pembuat kopi. Serta menurunkan kursi-kursi dari atas meja dan menyusunnya. Dan karena Pak Riswan ikut membantu, pekerjaannya pun selesai hanya dalam waktu tiga puluh menit saja. Di pagi hari pekerjaan Langit memang lebih ringan karena tidak perlu lagi membersihkan ruangan. Ia sudah melakukan itu di sore hari saat cafe sudah tutup. "Ngopi dulu, Pak!" Langit mengulurkan gelas karton berisi kopi hitam yang dibuatnya kepada Pak Riswan. "Terima kasih, Mas Langit!" Ucap Pak Riswan seraya duduk di depan meja konter. Pak Riswan adalah petugas keamanan gedung yang paling akrab dengan Langit. Biasanya ia datang untuk mampir di pagi atau sore hari. Membantu Langit membuka dan menutup cafe sambil minum kopi dan mengobrol seperti saat ini. Sebagai petugas keamanan gedung Pak Riswan selalu punya banyak cerita. Dia mengenal hampir semua penghuni gedung. Bahkan ia juga mengaku mengenal penghuni lainnya yang tak kasat mata. Pak Riswan juga yang sudah berjasa membantu mengenalkan Cafe Dewa kepada para karyawan yang berkantor di gedung ini saat cafe baru dibuka. "Saya minum di pos saja, Mas. Sudah mau buka, kan?" Ucap Pak Riswan setelah menghabiskan setengah kopinya. Langit mengangguk. Sudah pukul delapan tepat. Ia pun menghabiskan sisa kopinya, lalu membalikan papan akrilik bertuliskan 'open' yang menggantung di pintu kaca. Cafe siap dibuka. Tak lama berselang, seorang pria bertubuh tinggi dan berkaca mata masuk ke dalam cafe sambil menenteng sebuah boks plastik besar di tangannya. "Pagi, Mas!" Sapa Langit. "Pagi! Rotinya jangan lupa dihitung lagi, Lang." Pria itu meletakan boks berisi roti yang ditentengnya itu di depan Langit. Langit mengangguk. Dikeluarkannya tumpukan roti dari dalam boks, lalu disusunnya ke dalam etalase kaca. Langit memanggil pria itu dengan sebutan Mas Bima. Ia membuat sendiri roti-rotinya di rumah. Sebelum mendirikan Cafe Dewa, Mas Bima adalah seorang Chef Pastry yang mempunyai toko roti sendiri. Namun toko rotinya tutup setelah ia bercerai dari istrinya, empat tahun lalu. "Pagi, Mas Langit!" Suara bariton seorang pria bertubuh tambun yang masuk ke dalam cafe mengagetkan Langit. "Pagi, Pak Yuda!" Sapa Langit. "Espresso, Pak?" Tanyanya berbasa-basi, yang dijawab pria itu dengan anggukan kepala. Langit sudah hafal kebiasaan pelanggan tetapnya itu. Pak Yudha memang selalu datang ke cafe setiap pagi, sebelum pengunjung lainnya datang. Dia akan duduk di sudut paling belakang. Menikmati secangkir kopi espresso sambil membuka laptop. Ia akan menunggu di sana hingga kantornya buka, tepat pukul sembilan. "Selamat Pagi, cowok-cowok ganteng!" Sebuah suara nyaring terdengar bersamaan dengan pintu yang terbuka. Seorang wanita dengan riasan wajah tebal, dan bunyi sepatu berhak tinggi yang berisik menyapa Langit dan Bima dengan riangnya. Langit tersenyum. Ia membiarkan Bima menyambutnya. "Selamat Pagi, Bu Cynthia!" Sapa Bima dengan ramah. "Saya pesan yang biasa. Hot Capuccino Caramel!" Bu Cynthia memandang Bima dengan tatapan mata yang menggoda. Bu Cynthia adalah pelanggan tetap Cafe Dewa yang juga yang berkantor di gedung ini. Dan dia adalah penggemar berat Mas Bima, dan hanya mau dilayani olehnya. Langit menyembunyikan senyumnya saat Bima meliriknya dengan dongkol. Bu Cynthia membawa kopinya ke meja pavoritnya yang tepat berada di depan etalase roti. Masih dengan senyum yang ditahan, Langit menunggu Bima menawarkan rotinya. "Croissant, Bu?" Akhirnya Bima mengeluarkan kalimat saktinya itu. Yang langsung disambut dengan sebuah anggukan manis oleh Bu Cynthia. Bima lalu mengantarkan sendiri sebuah Cheese Croissant ke mejanya. Dan wanita itu pun kembali melemparkan senyum menggodanya kepada Bima. Langit pun tak bisa lagi menahan senyumnya saat Bima kembali ke meja konter dengan wajah memerah. Mas Bima memang tidak biasa digoda wanita. Dan sepertinya wanita agresif bukanlah idamannya. Pagi itu berjalan seperti biasa. Langit memulai kesibukannya sejak pagi hingga menjelang makan siang, saat dimana pengunjung cafe mulai sepi. Dan di saat itulah ia dan Bima akan bergantian untuk beristirahat sebelum kembali sibuk hingga menjelang tutup cafe. Mas Bima memang tidak suka mempunyai banyak karyawan. Dia lebih suka membayar lebih satu karyawan yang bisa mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Lagipula mereka juga masih mampu melakukannya berduaan saja. Hal itu lah yang membuat hubungan Langit dan Bima menjadi sangat dekat, layaknya adik kakak. Dan membuat Langit betah bekerja selama tiga tahun bersamanya. Karena dengan gajinya sebagai Barista di Cafe Dewa, ia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dan hidup Mentari, adik semata wayangnya. ... Langit menghembuskan asap rokoknya ke angkasa. Tubuhnya bersandar di kursi kayu panjang yang dibawa Pak Riswan entah dari mana. Di sinilah tempat pavoritnya menghabiskan waktu luang diantara kesibukannya melayani pelanggan cafe. Meski tempat itu terasa panas dan berisik dengan suara kompresor pendingin udara, namun Langit sangat menikmati kesendiriannya di teras belakang itu. Di sana ia bisa melepaskan sejenak penatnya seraya memandangi gedung-gedung pencakar Langit yang menjulang tinggi di hadapannya. Mas Bima jarang sekali ke sana. Dia lebih suka menghabiskan waktu istirahatnya sambil mengerjakan admistratif cafe di depan komputer. Bahkan makan siang pun sering dilakukannya di depan laptop. Tapi Mas Bima sangat menjaga tubuhnya. Dia gemar berolah raga dan makan makanan sehat. Dia bahkan tidak pernah merokok. Makanya, di usianya yang sudah hampir kepala empat, dia masih terlihat seperti baru berusia dua puluh delapan tahun. Seperti usianya. Langit menatap rokok di tangannya yang masih setengah. Dihisapnya sekali lagi sebelum kemudian mematikannya di dalam asbak. Ia sudah berjanji pada Mentari untuk mulai berhenti merokok. Mentari selalu takut dirinya akan jatuh sakit. Kini Langit meluruskan kedua kakinya ke pagar pembatas tembok di depannya. Diseruputnya es teh dalam gelas yang dipegangnya. Siang ini ia tidak membeli makan. Perutnya masih terasa penuh oleh Bubur Sum-Sum pemberian Devia tadi pagi. Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Langit. Dibukanya pesan itu. Sebuah pesan yang selalu membuat kepalanya terasa sakit: "Jangan lupa, Maaaas. Ditunggu transferannya. Kalo gak, besok aku banguninnya pake air segayung!" Langit tersenyum. Diceknya saldo tabungan di ponselnya. Lalu ia mengelus d**a. Sabar! Enam bulan lagi Mentari lulus, ucapnya di hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD