"Maaaas! Maaaas! Banguuun!"
Langit masih berada di alam mimpinya ketika sebuah guncangan hebat dibarengi suara yang menggema keras menghempaskan tubuhnya hingga berbalik. Dilihatnya wajah itu lagi. Seringai kejam dari makhluk satu darahnya.
"Banguuuuun!!!"
Langit membuka kedua matanya dengan berat. "Tau gak sih, ini tuh hari libur?" Gerutunya. Dilihatnya wajah Mentari, sang pengganggu mimpi.
"Ada cewek cantik nyariiiin!" Jerit Mentari lagi.
"Aduuuuh! Ya udah ambil aja makanannya. Biasanya juga langsung balik!" Langit menghempaskan kembali tubuhnya di atas kasur.
"Bukan Kak Via. Cewek lain! Makanya banguuun!" Mentari menarik tangan Langit hingga membuat tubuhnya kembali berbalik.
Tapi langit tak perduli. Ia masih enggan membuka mata. Ia tak percaya rayuan adiknya. Dia pernah melakukan itu sebelumnya. Membangunkannya di hari libur hanya karena teman-teman perempuannya ingin berkenalan dengannya. Dasar ABG ganjen, gerutunya.
"Malia!"
Langit mencerna sesaat nama itu. Perasaan pernah dengar. Dimana, ya? Dicobanya mengingat-ingat. Hah! Perempuan itu lagi?!
"Malia?!" Kini Langit langsung terbangun dan terduduk di atas kasurnya. Mentari mengangguk dengan senyum puas.
"Di sini? Di rumah ini?!" Langit seolah tak percaya. Mentari kembali mengangguk senang.
Langit mengusap wajahnya. Ya, Tuhan! Mengapa kau datangkan makhluk pengganggu itu di hidupku? Jeritnya di hati.
Setelah menyadarkan dirinya dengan basuhan air dingin di wajah, akhirnya Langit berjalan menemui orang yang memaksanya harus bangun pagi di hari termalasnya itu.
"Hai!" Sapa Malia dengan senyuman manis. Dia terlihat sangat segar dengan pakaian olah raga, wajah yang merona merah dan butiran keringat di keningnya.
Sesaat Langit tertegun melihatnya. Kenapa sekarang dia jadi manis? Kagumnya. Namun, ia buru-buru tersadar. Dengan enggan ia duduk di hadapannya, lalu menunggunya kembali berbicara.
"Aku habis lari pagi tadi, terus langsung mampir ke sini. Sekalian bawain sarapan!" Sahut Malia seolah tahu yang dipikirkan Langit.
Tapi Langit hanya menanggapinya dengan acuh hingga sebuah injakan di kakinya membuatnya tersadar. Mentari menatapnya sambil melotot.
"Makasih ya, Kak! Udah repot-repot," Jawab mentari sambil melirik ke arah Langit yang meringis kesakitan sambil mengusap-usap kakinya.
Di atas meja nampak empat gelas karton kopi panas dan satu dus kue-kue pastri dari merk terkenal.
"Aku gak tahu di sini ada berapa orang, jadi mudah-mudahan kopinya cukup?" Ucap Malia.
"Oh! Malah kelebihan kok, Kak. Kita cuma berdua aja di sini," sahut Mentari seraya mengambil segelas kopi lalu menyodorkannya di depan wajah Sang Kakak. "Nih! Biar bangun!" Ucapnya.
"Kamu ke sini cuma mau kasih ini?" Akhirnya Langit mengeluarkan suaranya.
Malia mengangguk.
"Repot amat, kan bisa ojol?" Sambungnya lagi. Namun kemudian ia kembali meringis ketika kaki Mentari kembali menghujam jempol kakinya dengan keras.
"Ok... Thanks... Buat ini semua," ucap Langit sambil memandang kesal adiknya yang tersenyum puas melihatnya kesakitan.
"Aku juga mau... Undang kamu...?" Suara Malia terdengar ragu. "Hmm... Mama sama Papa aku mau ketemu sama kamu..."
"Hah?!" Kini Langit hampir saja tersedak kopinya. "Wait...wait...wait? Kamu minta aku melamar kamu?"
"Iiiihhh, Mas, dengerin dulu! Kegeerean banget!" Mentari mencubit tangan Langit dengan gemas.
"Aduh! Sakit, De! Kamu dari tadi KDRT mulu!" Omel Langit sambil mengusap-usap tangannya. Membuat Malia menutup mulutnya menahan tawa.
"Hmm... Papa sama Mama mau kenalan sama kamu. Mau mengucapkan terima kasih karena kamu udah nyelamatin aku," lanjut Malia lagi.
Mentari menatap Malia dengan terkejut. "Nyelamatin Kakak? Memangnya Kakak kenapa?" Tanyanya. Namun kemudian ia terdiam saat melihat Langit melotot dan memberi isyarat padanya untuk pergi. "Aku ke belakang dulu, ya Kak," pamitnya seraya beranjak meninggalkan Langit dan Malia di ruang tamu. Ia mengerti, ada saat-saat ketika kakak tercintanya itu tidak ingin berbagi cerita dengannya.
"Oh! Bukannya kamu yang bilang ke orang-orang kalau kamu yang nyelamatin aku?" Sindir Langit.
Malia memandang Langit dengan rasa bersalah. "Sorry..." Ucapnya.
Langit tersenyum sinis. "Kamu pasti sering bohong," ucapnya lagi.
Tapi Malia tak menyahut. Ditatapnya Langit penuh harap. "Apa kamu bisa?" Tanyanya.
"Gak!" sahut Langit dengan acuhnya.
Malia menarik nafasnya. Wajahnya mendadak berubah.
"Gak semua kemauan kamu itu bisa dituruti setiap orang, Princess Malia!" Sahut Langit lagi.
"Ini bukan kemauanku. Ini permintaan orang tuaku. Please?" Malia kembali memohon.
"Pokoknya, enggak!"
"Aku boleh tahu alasannya?"
"Loh, aku kan, punya hak untuk menolak atau enggak? Gak ada hukumnya aku harus nurutin semua permintaan kamu, kan?" Sahut Langit dengan puas.
Dan Malia pun kembali terdiam, lalu tertunduk sambil meremas-remas kedua tangannya dengan gelisah.
Langit menyesap kopinya sambil memandangi Malia. Menerka-nerka apa yang akan dilakukannya lagi? Apakah dia akan menunggu di sini sampai ia menyerah dan mengikuti keinginannya? Tidak! Kali ini tidak ada yang bisa memaksanya.
Tapi Malia masih terdiam dengan wajah yang semakin gelisah. Membuat hati Langit pun akhirnya melunak. "Ok. Begini aja, kamu bilang sama Papa Mama kamu kalau aku udah lupain kejadian itu. Gak perlu repot-repot ketemu aku, karena kalaupun bukan aku yang menolong kamu waktu itu, kalau Tuhan masih mau kamu hidup, pasti ada orang lain juga yang akan menyelamatkan kamu. Jadi, itu bukan hal luar biasa. Gak perlu kamu jadi berlebihan ngerasa gak enak sampai ngikutin aku berhari-hari hanya karena mau minta maaf dan ngucapin terima kasih. Ok?" Ucapnya.
Malia ingin kembali menjawab, namun diurungkannya saat melihat laki-laki di hadapannya itu seperti tak tergoyahkan lagi. Ia lalu mengangguk. "Terima kasih!" Ucapnya seraya beranjak dari duduknya dan menghilang dari hadapan Langit. .
Langit menghembuskan nafas lega saat akhirnya mobil Malia meninggalkan rumah.
Dan Mentari buru-buru keluar dari dalam kamarnya. "Siapa sih, Mas? Gebetan baru ya?" Tanyanya penasaran.
Langit menggeleng. "Musuh!" sahutnya.
"Kok, musuh?" Kejar Mentari.
"Dia pasti kerja di gedung perkantoran itu, kan? Atau pelanggan cafe?" Kejar Mentari lagi.
"Iya, kantornya memang disitu. Tapi bukan gebetan. Dia musuhnya Mas. Kalau ketemu kita pasti berantem," sahut Langit seraya memasukan sepotong kue ke dalam mulutnya.
"Berantem itu salah satu tanda cinta, loh, Mas. Kak Malia itu kan, cantik dan baik. Masak sih, Mas Lang gak sukaaaa?" Goda Mentari.
Langit memandang Sang Adik dengan terkejut. "Loh, kamu kok, malah dukung dia? Bukannya kamu fans garis kerasnya Devia?" Sindirnya.
"Aku sih mana aja yang lebih menguntungkan. Kak Malia kan, keliatannya juga lebih ... tajir?" Mentari mengerling dengan usil.
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dasar, ABG matre!" Serunya sambil mengacak-ngacak rambut Mentari lalu masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya. Masih didengarnya suara berisik Mentari yang terus mengganggunya.
"Maaas! Aku serius. Aku merestui hubungan Mas Lang sama Kak Malia!" Jerit Mentari sambil terus menggedor-gedor pintu kamar Langit. Dan jeritannya baru berhenti setelah Langit melemparkan bantal ke pintu kamarnya itu.
Di atas tempat tidurnya Langit merenung memikirkan Malia. Ia tak habis pikir. Mengapa dia repot sekali datang pagi-pagi ke rumahnya yang sempit hanya untuk mengantarkan sarapan? Apa sebenarnya maunya? Apa dia tidak punya orang lain yang bisa diganggunya? Jangan-jangan benar dia naksir dirinya? Ah! Tidak mungkin! Tidak boleh terjadi. Langit mengusap wajahnya, seolah ingin membuang pikiran-pikiran negatif yang kini bermunculan di kepalanya.
Kini Langit berusaha memejamkan matanya kembali. Tapi cafein yang diminumnya barusan membuat matanya tak lagi mengantuk. Akhirnya ia beranjak bangun, lalu keluar dari dalam kamar. Terdengar suara musik yang keras dari dalam kamar Mentari yang tertutup. Ia pun lalu mengeluarkan sepeda dan mengayuhnya keluar rumah.