Menumpuk Dendam

1416 Words
Beberapa hari usai tertabrak bus dan melewati masa kritis, akhirnya Gaby membuka kedua matanya. Meski hanya terlihat samar-samar, namun Gaby merasa bahwa semua yang ada di sekelilingnya begitu asing terkecuali sosok pria yang duduk tepat disampingnya. “Kau….” suara Gaby terdengar begitu lirih bahkan nyaris tak keluar dari mulutnya lantaran kondisi tubuhnya yang masih lemah sekali. “Ya, ini aku!” bisik Henry di telinga Gaby. Gaby melihat banyak selang dan alat medis lainnya yang menempel disekujur tubuhnya meski posisinya tidak terbaring di sebuah ruangan rumah sakit. Suasana ruangan itu tampak mewah dengan plavon yang dilukis indah. Masih melekat dalam ingatan Gaby bagaimana dirinya menyaksikan perselingkuhan yang dilakukan oleh suaminya, Matthew bersama Laura sebelum sebuah bus nyaris merenggut nyawanya malam itu. Gaby hendak turun dari ranjang itu juga melepaskan semua alat-alat medis yang menempel ditubunya, ia ingin pergi menemui suaminya untuk meminta penjelasan atas pengkhianatan yang ia dapatkan, namun dirinya justru tak dapat merasakan apapun pada tubuhnya. Tangan dan kakinya tak bisa ia gerakkan sedikitpun, hal itu membuatnya takut. “Kenapa? Kenapa aku tidak bisa bergerak?” tanya Gaby mencoba mengeraskan suaranya yang masih saja terdengar lirih di telinga Henry. “Kecelakaan itu membuat beberapa saraf ditubuhmu cedera parah sehingga kau tidak bisa menggerakkan tubuhmu.” ungkap Henry perlahan di telinga Gaby. Gaby berusaha mencerna setiap perkataan yang Henry ucapkan kepadanya dan tanpa terasa air mata menetes begitu saja dari pelupuk matanya. “Aku lumpuh?” tanya Gaby lagi dengan perasaan takut yang semakin menjadi-jadi. Henry memang tak mengeluarkan sepatah katapun lagi dari bibirnya, namun dengan diamnya Henry membuat Gaby mengetahui jawabannya. Semua kenyataan pahit yang mendera Gaby secara bertubi-tubi seakan telah menghancurkan dunianya. “Tolong, bunuh saja aku!” kalimat tersebut keluar begitu saja dari mulut Gaby yang merasa putus asa. “Lalu setelah kau mati apa mungkin b******n itu akan menyesali perbuatannya? Itu tidak akan pernah terjadi karena yang diinginkan b******n itu dan wanita selingkuhannya adalah kematianmu!” ucap Henry dengan nada bicaranya yang terkesan dingin. Semula Gaby tak menanggapi semua perkataan yang diucapkan Henry mengenai pengkhianatan yang dilakukan Matthew dan Laura, dirinya hanya terus menangis meratapi nasibnya sampai tangisannya tiba-tiba berhenti ketika mendengar bisikan Henry di telinganya. “Bagaimana kalau mereka saja yang mati? Membunuh tanpa menyentuh… rasanya akan sangat menyenangkan!” Gaby terkesiap menatap Henry yang tampak tenang dengan seringai diwajahnya. Tak pernah terbanyang sedikitpun dalam pikirannya untuk menyakiti orang lain apalagi sampai menghilangkan nyawa suaminya sendiri. “Aku akan membawa dokter kesini untuk memeriksamu,” Henry lantas beranjak keluar dari ruang kamar itu meninggalkan Gaby yang masih terpaku diatas ranjang karena ucapannya. Tak lama kemudian Henry kembali bersama seorang pria berpakaian casual, namun sebuah stetoskop melingkar di lehernya. Pria yang datang bersama Henry tampak tersenyum ramah kepada Gaby. “Apa dia dokternya?” tanya Gaby kepada Henry sembari menatap pria tersebut. “Hai, aku Ziddan!” seru pria itu memperkenalkan dirinya kepada Gaby dengan senyuman ramah yang belum hilang dari bibirnya. “Dokter, aku ingin kau menyuntik mati diriku!” pinta Gaby membuat Henry dongkol. “Sebentar aku akan menghubungi seseorang!” ucap Ziddan sembari meraih ponsel dari saku celananya. “Halo! Apa aku bisa bicara dengan malaikat maut?” Ziddan seolah menelepon dengan ponselnya sementara Gaby menatapnya keheranan. Tak lama kemudian Ziddan kembali menyimpan ponselnya di dalam saku celana seolah dirinya sudah selesai menelepon, lalu kembali tersenyum kepada Gaby. “Aku sudah bicara dengan malaikat maut, dia bilang kau akan panjang umur, jadi suntik mati tidak akan berguna untukmu!” ucap Ziddan membuat Gaby berdecak kesal dan mengalihkan tatapan matanya kearah lain. “Cepat periksa kondisinya!” titah Henry dengan sikapnya yang tidak sabaran kepada Ziddan yang tak lain adalah sahabat sekaligus dokter pribadi untuknya. “Iya, baiklah,” sahut Ziddan sedikit menggurutu. Ziddan mulai memeriksa secara teliti semua bagian tubuh Gaby termasuk alat-alat medis yang akan membantu pemulihannya. “Bagaimana?” tanya Henry kepada Ziddan yang masih sibuk memeriksa Gaby. “Aku rasa minggu depan dia sudah bisa mengikuti terapi yang kita bicarakan sebelumnya dengan dokter terbaik di kota ini.” ungkap Ziddan mengenai kondisi Gaby yang baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama beberapa hari. “Aku tidak ingin terapi!” celetuk Gaby lagi-lagi membuat Henry kesal. “Jadi kau ingin mati dan membiarkan seluruh harta kekayaanmu dinikmati b******n itu bersama wanita selingkuhannya!!!” seru Henry dengan nada tinggi. Air mata Gaby kembali tumpah mengingat kedua orang tuanya yang sudah tiada dan mewariskan begitu banyak harta kekayaan termasuk perusahaan besar yang bodohnya malah ia percayakan begitu saja kepada Matthew dan Laura yang kini justru mengkhianati dirinya. “Kau pikir b******n itu menikahimu karena cinta… buka matamu lebar-lebar!!!” seru Henry lagi semakin menaikkan nada bicaranya kepada Gaby dan membuat Ziddan merasa tak nyaman saat melakukan tugasnya sebagai dokter. “Hei, jangan membentak pasienku… dia butuh istirahat! Apa kau lupa dia baru saja sadar dari koma?” celetuk Ziddan melirik kesal pada Henry. “Huh, lebih baik aku keluar saja!” Henry mendengus kesal dan melangkah keluar dari ruangan itu sementara Gaby masih menangis disana. Beberapa hari kemudian disaat tengah malam Gaby yang masih terjaga teringat dengan semua pengkhianatan yang dilakukan Matthew bersama Laura, ia juga masih ingat dengan video yang ditunjukkan Henry mengenai Lizzie yang sengaja menjebak dirinya pada club malam waktu itu. “Mengapa mereka tega melakukan semua ini padaku? Apa kesalahanku? Apa aku pernah menyakiti mereka? Selama ini aku selalu bersikap baik pada mereka… aku memberikan apa saja yang mereka inginkan!” ucap Gaby dalam benaknya. Sosok wanita cantik yang menjadi wanita selingkuhan dari suaminya pun turut melintas di dalam pikirannya. “Mengapa kau sekejam ini, Laura? Apa salahku? Aku menyayangimu seperti adikku sendiri, tapi mengapa kau mengkhianati kepercayaan yang kuberikan padamu?” ucapnya lagi sembari mengingat bagaimana mesranya Laura mendekap Matthew sebelum Gaby tertabrak bus malam itu. Disaat Gaby sedang meratapi semua rasa kecewanya, tiba-tiba saja pintu ruang kamar itu terbuka. Hanya dengan lirikan matanya saja Gaby melihat sosok wanita paruh baya datang menghampirinya. “Bibi Sophia….” Gaby masih mengenali wanita yang membesarkan Henry. “Maafkan aku, Gaby… seandainya aku tidak membiarkanmu pergi dari mansion itu mungkin kau tidak akan seperti ini.” ucap Sophia merasa bersalah dengan kejadian yang menimpa Gaby malam itu. “Justru aku ingin berterima kasih padamu, Bibi… jika bukan karena kau mungkin mataku tidak akan bisa menyaksikan perselingkuhan yang dilakukan suamiku bersama sepupuku sendiri.” sahut Gaby kembali meneteskan air matanya. “Aku hanya akan terbelenggu dengan cinta buta yang kurasakan pada suamiku yang kuanggap mencintaiku apa adanya.” sambungnya dengan d**a yang terasa sesak. Sophia duduk tepat di samping Gaby, lalu menggenggam tangannya dengan hangat. “Kau akan segera pulih.” ucap Sophia ingin memberikan sedikit semangat hidup kepada Gaby yang sedang lumpuh total akibat kecelakaan yang menimpanya. “Aku tidak ingin hidup lagi!” sahut Gaby putus asa. Dengan sikap yang tenang Sophia menunjukkan layar ponselnya tepat di depan mata Gaby. “Lihatlah, ini fotomu, kan!” ucap Sophia ternyata menunjukkan sebuah berita yang cukup mengejutkan untuk Gaby. “Dua hari yang lalu berita tentangmu membuat geger jagat maya.” sambung Sophia lagi. “Siapa yang melakukannya?” tanya Gaby dengan air matanya yang berlinang sembari menatap layar ponsel itu. “Suamimu!” ungkap Sophia membuat Gaby tak mampu menahan air matanya yang terus tumpah. Sophia kembali menyimpan ponselnya, lalu mengusap air mata Gaby dengan sapu tangan miliknya. “Jangan memilih mati karena yang pantas mati adalah mereka, orang-orang yang sudah menyakitimu!” bisik Sophia di telinga Gaby. “Bibi, hiks-hiks-hiks… dia menuduhku selingkuh dan pergi bersama pria lain! Mengapa dia sekejam itu padaku, Bibi? Padahal malam itu saat aku kecelakaan, dia melihatku sekarat disana bahkan dengan teganya dia tersenyum seolah senang dengan kondisiku!” Gaby pun terisak begitu pilu setelah mengetahui berita yang sengaja dibuat oleh Matthew dan Laura untuk mempermudah segala rencana mereka. “Pria miskin hanya mengejar harta bukan cinta!” ucap Sophia yang sudah mengetahui jati diri Matthew yang terlahir sebagai seorang anak yatim yang miskin dan bekerja sebagai manajer biasa di perusahaan orang tua Gaby. “Kau harus menjadi wanita yang kuat dan buktikan kepada orang-orang yang sudah menyakitimu bahwa mereka tidak mampu meruntuhkanmu!” ucap Sophia lagi kepada Gaby. Setelah mengetahui berita fitnah mengenai dirinya yang sengaja dibuat oleh Matthew, timbullah rasa dendam di dalam hati Gaby. “Benar yang dikatakan Henry dan Bibi Sophia, tidak seharusnya aku mati… merekalah yang pantas mati! Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan mereka setelah aku kembali pulih nanti!” ucap Gaby dalam hatinya yang sudah dipenuhi dengan rasa dendam yang begitu besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD