Rama POV.
"Maaf, aku tidak bisa menikah dengan kamu!"
kalimat yang calista ucapkan sungguh menyayat hatiku, dan perlahan membuat tanganku yang menggenggam tangannya erat terlepas. Padahal untuk mengatakan semua keinginanku itu, aku harus mempersiapkan diriku dari jauh-jauh hari.
"Kenapa?" tanyaku pilu. Calista adalah satu-satunya gadis yang aku cintai. Dia adalah primadona di sekolahku dulu. Aku mengejarnya sejak kami sama-sama duduk di sekolah SMA kelas sepuluh. Awalnya adalah dengan dia yang jatuh di sampingku ketika berlari. Saat itu kami sedang melakukan MOS. Kami tergesa karena harus pergi mencari sampah dan mengumpulkanya.
Tali sepatu Calista terlepas. Sehingga dia malah menginjak tali sepatunya sediri.
"Mari aku bantu!" Aku mengulurkan tanganku kala itu, dan membuatnya mengerjap beberapa saat. Aku yang waktu itu adalah seorang murid baru yang menjadi pavorit Kakak kelas perempuan. Mungkin membuatnya agak sungkan, karena takut mendapatkan serangan dari kakak senior tersebut.
Terlalu lama berpikir, aku malah meraih tangannya dan mengajak gadis itu bangun. Dia pun berdiri, sementara aku berjongkok dan menalikan tali sepatunya. Dan sejak itulah kami dekat. Tidak! Akulah yang terus mendekatinya, aku memang menyukainya sejak pertama kali bertemu.
"Aku ada pekerjaan di luar negri!" jawabnya dengan tanpa menatap padaku.
"Tapi kita bisa tetap menikah meski kamu kerja, sayang. Kita bisa menikah di mana saja, kalau kamu ada pekerjaan di luar negri. Kita bisa menikah di sana. Di mana pun kita menikah, itu sama saja kan?"
Dia menggeleng dan meraih tanganku. "Bukan itu masalahnya, Ram. Aku tahu keluargamu sudah meminta mau menikah dan segera memberikan cucu. Aku belum siap untuk itu."
"Kita bisa tunda untuk anak, mungkin satu tahu kedepan sampai kamu siap."
"Tapi aku tidak siap punya anak?" Dia terlihat frustrasi.
"Maksud kamu?"
"Ram ..., aku ini model. Badanku akan rusak kalau aku punya anak. Dan aku akan cepat tua! Badanku melar, wajahku pasti bakal enggak cantik lagi. Dan aku pasti susah kalau mau jadi model lagi!"
Aku terdiam beberapa saat. Kenapa rasanya dadaku sesak. Aku mencintainya, dan tentu saja aku ingin sekali dia mengandung anaku. Dan jawaban ini sungguh mematahkan hatiku.
"Calista ..., aku mengerti. Menjadi model, banyak ko yang punya anak. Kamu libur dulu, dan kita sewa bebi siter. Kamu tidak akan capek, akan aku pastikan."
Dia menggeleng. "Kamu tahu apa tentang melahirkan dan ngidam?"
Dia tersenyum sinis. "Aku akan kehilangan nafsu makan, terus pas hamil tubuhku gendut. Terus pas melahirkan, organ milikku rusak! Kamu tahu apa?! Sakitnya juga parah. Aku tidak mau! Aku tidak mau punya anak! Aku tidak mau sakit!"
Aku termenung. Aku tidak pernah melihat dia semarah ini selama kami pacaran. Dan atas apa yang dia ucapkan itu, cukup membuatku bingung. Bukankah setiap perempuan memang harus mengandung dan melahirkan?
Dan biasanya perempuan yang mencintai lelakinya dia akan bangga ketika mengandung janin dari lelaki yang dicintainya. Kenapa dia tidak?
Apakah selama ini dia tidak pernah mencintaiku?
Aku sungguh tidak mau menerima kenyataan itu. Aku sangat mencintai Calista, aku tidak pernah mencintai perempuan lain selain dia. Aku tidak pernah tertarik pada perempuan mana pun selama di sekolah, selain dirinya.
Hal ini sangat memukulku.
"Calista ...." Aku meraih tangannya. Demi Tuhan seorang anak tidak masalah bagiku. Calista bukanlah seorang perempuan yang aku peruntukkan untuk membuat anak. Aku ingin dia menjadi pendampingku.
Kalaupun dia tidak mau mempunyai anak. Maka dia tidak perlu hamil. Aku akan mengadopsi atau apa pun asal dia bahagia dan tetap berada di sisiku.
"Aku tidak akan memaksamu untuk memiliki anak. Mari kita menikah, kita adopsi anak lain saja. Atau kita nyari ke panti asuhan saja. Pasti banyak anak yang bisa kita rawat. Ya ..."
Dia menatapku beberapa saat. Kedua mata cantik itu mengerjap dan seolah sedang menilaiku.
"Kamu yakin?" Dia bertanya dengan pelan.
Aku mengangguk, dan menggenggam tanganya. "Aku yakin sekali, dan aku tidak pernah seyakin ini."
Tapi di dalam hatiku, aku pilu. Aku sungguh ingin memiliki seorang anak dari perempuan yang sangat aku cintai seperti Calista. Aku ingin darah daging kami, dan bukan dari orang lain.
Tapi aku tidak akan bisa memaksanya, kalau Calista sendiri tidak mau memiliki anak dariku. Aku tidak boleh egois dan memaksakan keinginanku.
"Rama, aku kurang yakin?" Dia menarik tangannya.
"Kenapa?"
"Aku gak yakin aja."
"Apa yang menyebabkan kamu gak yakin? Apa kamu gak yakin kalau aku cinta sama kamu?"
Dia menggeleng dan membingkai wajahku. "Aku yakin sama cinta kamu ke aku. Tapi kedua orang tuamu tidak akan mengijinkan ini. Rama ..., carilah perempuan lain."
"Maksud kamu?" Dadaku mulai terasa sesak, dan kedua mataku memanas.
"Aku minta maaf, tapi aku tidak pernah ...." Dia terdiam.
"Tidak pernah apa?" Aku sungguh takut dia memberikan jawaban seperti apa yang aku bayangkan.
Dia terdengar menghela napasnya. "Aku tidak pernah mencintaimu!"
***
Air mataku hampir menetes jika ingat itu. Kami berpacaran hampir delapan tahun, lalu jawaban ini yang dia berikan.
Tuhan ...
Ternyata aku dibohongi.
Prangg!
Aku membanting gelas ke arah dinding kamarku, tepat ketika pintu terbuka menghadirkan Ana yang membawa baki dan kopi di atasnya.
"Ma-maaf Pak, say--"
Sialan!
Kenapa gadis itu ke sini. Aku segera menghampiri dan memeriksa tubuhnya dengan seksama. Dia sedang hamil anakku, dia tidak boleh terluka.
"Kamu baik-baik saja?" Aku membingkai wajahnya, membuat Ana mengerjap dan menatapku gugup.
Kalau dilihat lebih dekat lagi, dia ini cantik sekali.
Tapi aku belum menyukainya.
Aku harap suatu saat bisa menyukainya sebesar aku menyukai Calista.
"E-enggak apa-apa. Pak."
Aku tersenyum dan mengusap pipinya. Dan menatap sepasang bibir merah indah itu. Padahal aku yakin sekali kalau dia sedang tidak berdandan.
Ah, aku heran dengan suaminya. Maksudku mantan suaminya, kenapa dia berani meningalkan perempuan secantik ini.
"Ada apa kamu ke sini?" tanyaku, padahal beberapa jam yang lalu dia marah padaku karena aku ajak menikah dia malah menolak.
Padahal dia sedang hamil anakku. Apa dia tidak ingin aku bertanggung jawab atas kehamilannya itu?
"Saya ...." Dia menatap tanganku yang bertengger di pipinya. Seolah dia ingin aku menjauhkan tanganku dari pipinya.
Tapi aku tidak akan melakukan keinginanya itu. Aku malah mendekat, dan seolah akan menciumnya. Membuatnya semakin gugup, dan kedua pipinya menjadi merah.
Dia menggenggemaskan!
"Eh, ke-kenapa dekat sekali?" Dia protes?
"Kenapa aku tidak boleh dekat?" tantangku. Dan semakin mendekat hingga jarak kami hampir bersentuhan, dan aku hampir mendapatkan sepasang bibir indah itu.
Namun karena dia memang dasarnya liar. Dia menumpahkan kopi yang dibawanya ke dadaku. Sehingga terasa panas dan otomatis melepaskannya.
"ANA!" Bentakku. Dia tidak menjawab, dia malah berlari meninggalkanku.
Gadis itu ....
Tapi aku hanya bisa menghela napas dalam.