Hurt 5

1192 Words
Semuanya tidak bisa diukur dari semenyakitkan apa yang kita alami. Namun yang lebih penting adalah sekuat apa kita menghadapinya. __Hurt__ "Di sini ada anakku yang sedang tumbuh!" Dia benar-benar lelaki gila. Bisa-bisanya dia memegang perutku. Dia benar-benar b******n dan tidak sopan. Dia bahkan tidak bilang kenapa dia sampai memperkosaku. Bukk! Aku menonjok perutnya, hingga ia meringis dan kesakitan. Jangan salah, aku dulu pernah belajar karate. Jadi bukan hal kecil kalau hanya untuk menonjok b******n seperti dia. "Arrgg!" Dia meringis dan berjongkok. "Kamu jahat sekali Ana ...." Aku hanya mendengus kesal. Kemudian meningalkannya. Ethan mesem-mesem, yang aku yakini kalau dia geli melihat bosnya yang terkena tonjokan dariku. "Kenapa ketawa?!" bentakku. Ethan segera menggeleng. "Ah, tidak Nyonya. Aku hanya sedang merasa kalau gigiku bersih." Apa katanya! Sungguh tidak nyambung. "Terserah." Aku segera berlalu meninggalkannya. Sesampainya di dapur, aku mengambil air. Rasanya aku sangat haus sekali. Ah, mungkin karena aku sedang hamil. Perutku pun mulai lapar, aku bergegas membuka kulkas dan mendapati cake red velvet kesukaanku. "Duh, enaknya." Terhidung beberapa hari aku di sini. Aku selalu mendapatkan banyak makanan enak. Dan seleraku memang naik drastis. Ah, bagaimana kalau aku jadi gendut? Aku sangat takut, tapi mulutku tidak mau berhenti mengunyah. Rasanya memang benar-benar enak. Aku jadi ingat, dulu ketika Rehan membelikan cake yang sama persis dengan cake ini. Dulu dia membelikanku ketika kami masih berstatus pacaran. Dan setelah itu, Rehan tidak lagi membelikaku cake. Dia bilang, dari pada membeli cake, lebih baik membeli terigu dan aku membuatnya di rumah. Ya ... dan setelah Rehan berkata bahwa membuat cake sendiri lebih sehat. Aku pun mulai sering membuat kue, dan berhasil. Kue pertamaku katanya enak. Rehan sangat suka sekali waktu itu. Duh, mendadak kue yang aku makan ini rasanya tidak enak. Aku meletakkannnya di atas meja. "Kamu suka?!" Suara Rama datang dari arah pintu dapur. Membuatku melengos, karena tentu saja masih merasa kesal padanya. Dia tersenyum membuatku melirik sinis padanya. "Tendangan kamu hebat juga." Dia duduk di kursi bersampingan denganku. "Rasanya luamayan sakit. Arrgggh!" Dia pura-pura meringis, membuatku benar-benar kesal. "Anda tidak boleh seenaknya! Saya bukan siapa-siapa anda!" ucapku dingin, tanpa mau menoleh padanya. Dia mengangguk-angguk seolah mengerti dengan apa yang aku katakan. "Ya tentu saja, karena kalau kamu anak saya. Saya tidak akan pernah berani nyentuh kamu!" Bajingan! Aku sungguh marah padanya, sehingga aku menarik kedua sisi bajunya. Dan menatapnya tajam sekali. "Dengarkan aku Rama! Aku tidak akan pernah memaafkan kamu! Kamu biadab! kamu jahat!" Dan sialnya kedua mata itu hanya melihatku saja dengan datar. Membuatku bingung, sehingga perlahan aku melepaskan kedua tanganku dengan gugup. "Sudah?" Dia merapikan kedua sisi jaket walnya dengan perlahan. "Tenaga kamu memang hebat. Dan aku mengakuinya." Aku meringis, dia sama sekali tidak menanggapi kemarahanku. Dia malah menarik tanganku pelan dan mengajaku duduk. "Biar ku jelaskan sesuatu padamu," ucapnya lagi, ketika aku akan menolak tarikan pelan tangannya. "Tolong Rama! Aku benar-benar sedang marah padamu! Aku melihatmu sangat kesal, aku sungguh ingin membunuhmu!" Dan lagi, dia meringis. Seolah ancamanku membuatnya sangat takut. Namun aku tahu, bahwa itu hanyalah sebuah ejekan. "Makanya kamu tenang dulu, biar aku jelaskan sesuatu itu. kamu harus tahu kejadian yang sebenarnya, kenapa aku sampai melakukan itu sama kamu waktu itu." "Karena kamu gila!" serangku. Dan dia terdengar menghela napas. "Aku tahu, aku salah. Tapi coba dengarkan semua penjelasanku ini. Aku tidak ingin Ibu dari anakku terus membenciku!" "Hey! Aku bukan ibu dari anakmu!" Teriakku. Dan dia menutup kedua telinganya. "Ya Tuhan ... telingaku bisa rusak gara-gara kamu." Aku terengah, kesabaranku benar-benar habis karenanya. "Baiklah! Baiklah ..." dia terlihat menyerah dan mulai memperlihatkan wajah tegas dan dinginnya. "Kita mulai penjelasannya!" Dia sejenak menghela napas pelan. "Saya malam itu sedang mabuk, dan bertemu kamu adalah sebuah kesalahan. Aku pikir, kamu adalah ...." "Siapa?" tanyaku. Dia menggenggeleng. "Tidak, bukan siapa-siapa. Tapi intinya itu sebuah kesalahan besar. Aku sungguh meminta maaf, sama kamu untuk itu." "Dan kamu pikir ini cukup dengan meminta maaf?" Di dalam rahimku kini sudah ada kehidupan yang tidak mungkin lagi bisa digagalkan. Dan memang tidak pernah berpikir akan mengagalkannya. Aku akan sangat berdosa jika berani menghilangkan nyawanya. Aku bahkan bercerai karena aku tidak bisa hamil. Jadi mana mungkin aku akan berani membunuh darah dagingku. Meski yang menghamiliku adalah seorang lelaki yang sama sekali tidak mempunyai hubungan apa pun denganku. "Aku akan bertanggung jawab!" Dan kalimat itu terdengar tidak menyenangkan untukku. Bukan karena aku merasa tidak menyukai lelaki ini. Tapi karena aku sungguh belum siap menikah dengan lelaki yang baru saja aku kenal. "Dengan apa?" Dia meraih kedua tanganku. "Aku di desak kedua orang tuaku untuk menikah dan mempunyai seorang anak. Jadi--" "Kamu memanfaatkan aku? Ah, atau jangan-jangan kamu memang sengaja memanfaatkanku dan menghamiliku agar kamu bisa menghindari tekanan kedua orang tuamu itu?" Rama menggeleng. "Tentu saja tidak! Ana. Aku sama sekali enggak kepikiran sampai ke sana. aku bahkan tidak sadar, kalau yang aku tiduri adalah kamu!" Lagi, kalimat itu menghadirkan rasa sakit di ulu hatiku. Jadi dia pikir itu siapa? "Jadi siapa yang kamu pikirkan malam itu?" Dia terdengar frutrasi. "Aku tahu ini gak tepat. Tapi hari itu aku baru saja ditinggalkan olehnya. Dia memutuskanku sepihak karena dia akan pergi ke luar negeri." Iya, lelaki sama saja! Rehan meninggalkanku karena perempuan lain. Dan sekarang Rama menodaiku karena perempuan lain juga. Apakah dunia sekejam ini? Sebisa mungkin aku tersenyum, meski perasaan dongkol sudah berat di hati. "Jadi apa rencana kamu?" tanyaku. "Kita menikah!" Sinting! Aku tergelak. "Kamu tidak mencintaiku, kenapa harus menikah denganku?" "Karena kamu sedang mengandung anakku!" "Kalau gitu, mumpung hamilku masih satu bulan. Bagaimana kalau kita gugurkan saja? Aku rasa itu tidak akan masalah?" Namun percayalah kalimat ini membuat hatiku sakit teramat sangat. Aku sangat menyayangi janin ini meski dia baru saja berumur satu bulan. Rama membulatkan kedua matanya. "Jangan pernah kamu lakukan itu!" tegasnya, seolah aku adalah miliknya. Seolah yang hamil adalah istrinya. Bukankah dia sangat egois! "Kalau gitu, kenapa tidak kamu hamili saja perempuan itu! Kenapa kamu malah merepotkanku!" "Karena ... karena aku tidak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini. Kamu jangan tanyakan kenapa ini terjadi? Karena ini terjadi begitu saja." "Kamu mabuk! Coba aja, kamu gak mabuk waktu itu!" Dia kembali menghela napas dan meremas rambutnya sendiri. "Kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya patah hati! Dia menolak menikah denganku karena dia punya karir. Dia memilih karirnya dari pada aku! Aku patah hati!" "Dan kamu pikir, cuma kamu saja yang patah hati? Aku pun sama, aku juga patah hati. Suamiku meningalkan ku dan selingkuh dengan perempuan lain! Coba kamu pikir, siapa di sini yang lebih patah hati? Aku sudah menikah dan mengikat janji suci! Tapi kalian hanya pacaran." Sejenak aku menghela napas dalam. Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan kisah ini pada siapa pun. Tapi dia harus mengerti, bahwa selalu ada langit di atas langit. Bahwa akan selalu ada titik terendah di antara yang paling rendah. Semuanya tidak bisa diukur dari semenyakitkan apa yang kita alami. Namun yang lebih penting adalah sekuat apa kita menghadapinya. "Aku tidak setuju dengan pernikahan ini! Jadi lupakan saja keinginanmu itu!" Aku segera beranjak dan meninggalkan dirinya. Meski aku tau saat ini dia sedang menatap padaku seolah ingin menusuk punggungku dengan kedua mata biru safirnya itu. Tbc. Jangan lupakan kalau aku mau kalian komen banyak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD