Hurt 7

1034 Words
Ana POV. Dasar lelaki tidak sopan, berani - beraninya ia melakukan itu. Berani-beraninya dia hampir menciumku. "Ada apa Nyonya?" Ethan bertanya padaku. Lelaki tampan itu menelitiku yang sedang mengatur napasku dengan perlahan. "Enggak, saya mau ke kamar!" Aku hampir berbalik, kala Ethan menahan tanganku. "Eh, itu Pak Rama kenapa berisik sekali di kamarnya?" Ethan menunjuk ke arah kamarnya Rama, yang aku yakini saat ini laki-laki itu tengah membereskan pecahan kaca dan mengelap kopi yang memang sengaja aku tumpahkan. Dalam hati aku sungguh kasihan padanya karena kopi itu sangatlah panas. Tapi apakah kalian tahu, dia itu tidak sopan, masa iya dia mau menciumku yang merupakan seseorang yang tidak mempunyai hubungan apa pun dengannya. "Biarkan saja dia! Saya tidak peduli!" jawabku cuek, aku segera masuk ke kamarku. Namun sebelum itu aku mendengar suara Pak Rama yang berteriak. "ETHAN!" Dan bisa kulihat kalau Ethan segera berlari ke arah sana dengan terburu. "Iya Tuan!" Menggelikan! *** Di balik kaca besar ini, aku bisa melihat Rama yang sedang berkuda. Dia sungguh terlihat keren sekali. Punggung tegapnya terlihat gagah saat menerima hentakan dari kuda yang sedang ia kendalikan. Vila ini sungguh asri dan laksana surga. Jujur aku sangat menikmatinya bisa tinggal di tempat ini. Janin ini ... Aku mengusap perutku yang masih datar. Aku sungguh tidak percaya bisa mengandung mahluk suci ini. Tapi ... Dasar pria gila! Berani-beraninya dia melakukan itu padaku. Meskipun dia bilang saat itu sedang mabuk. Tapi tidak sepantasnya dia memperlakukan aku seolah aku adalah mantan kekasihnya yang menolak untuk dia nikahi. Dia ingin membalas dendam pada kekasihnya itu. Kenapa jadi aku yang dihamili? "Nyonya! Ditunggu Tuan, di sana!" Salah satu bodyguard yang lain, mendekat padaku. Aku menatap kearah laki-laki yang menggunakan kemeja warna putih dengan bagian kedua tangannya yang digulung ke siku dan dipadukan dengan celana warna hitam di sana, dia mengacungkan segelas kopi dengan seringaiannya. Sepertinya dia telah selesai berkuda. "Dia mau ngomong apa sama saya?" tanyaku kesal pada lelaki suruhannya Rama itu. Dia menggeleng pelan. "Saya kurang tahu, Nyonya. Tapi mungkin ada yang penting. Makanya dia mau Nyonya segera menemuinya." Aku sungguh malas bertemu dengan lelaki yang tidak tahu sopan santun itu. "Bilang padanya, kalau saya tidak mau menemuinya!" Aku malah melewati lelaki itu. Dan melirik ke arah si lelaki menyebalkan itu. Dia terlihat tidak senang karena aku malah berjalan ke arah yang berlawanan. Wajahnya terlihat tegas, dan kedua mata safir yang semalam hampir membuatku lemah dan membiarkan dia menyentuh bibirku itu, kini terlihat tajam. Hey! Kenapa dia harus marah? Ini urusanku, kalau pun aku tidak mau menemuinya dia tidak ada hak untukku tetap mengikuti kemauannya. Sampai kapanpun dialah yang salah, bukan aku. Dia yang membuatku harus mengandung anaknya. Dia seharusnya dipenjara, bukan malah membuatku dipenjara di rumah megah ini. "Ana!" Aku tahu itu adalah suaranya si penguasa itu. Tapi aku tidak mau mengalah padanya. Aku malah berlari menuju ke kamarku. "Ana! Kamu dengar saya?!" katanya lagi, dia memburu mendekat padaku. Namun aku tentu saja tidak akan peduli padanya, aku hampir berbelok ke arah kamarku. Namun lengan kokoh itu lebih dulu mendapatkanku. "Kamu tidak dengar panggilan saya?!" Aku menatapnya sinis. "Denger ko," jawabku cuek. Aku mengusap rambutku yang berantakan karena berlari dikejarnya. "Lalu kenapa kamu tidak berhenti?" Dia memegang kedua bahuku. "Ya karena saya sedang tidak ingin berinteraksi dengan anda. Kenapa Bapak marah-marah?" serangku. Dia menghela napas. "Saya tidak marah-marah." "Lalu? Kenapa Bapak mengejar dan memanggil saya? Bapak mau m***m seperti malam itu ya?" Dia membelalakkan kedua matanya. Melirik kanan-kiri pada bodyguard yang berdiri tidak jauh darinya. Seolah kalimatku adalah sebuah ancaman jika didengarnya. JA-IM, aku tahu itu. "Pelan-pelan, nanti mereka denger." Dia menutup mulutku. Kedua mata biru safir itu terlihat lekat menyorot padaku. "Ana ..., saya mau bicara serius sama kamu." "Saya tidak mau menikah! Itu kan yang mau kamu bicarain sama aku?" "Kenapa kamu enggak mau nikah sama saya?" Karena aku sungguh tidak bisa. Penikahan dengan cinta saja bisa berakhir. Bagaimana dengan pernikahan yang dilandasi tidak dengan cinta, pasti akan lebih berantakan dari sebelumnya. "Karen--" "Ikut saya!" Dia menarik tanganku, dan membawaku ke arah luar. "Kita mau ke mana?" Mengikuti langkah panjangnya membuatku kewalahan. "Kita pergi ke rumah orang tuaku!" What! Aku berhenti berjalan, membuatnya ikut terhenti dan menatap padaku. "Anda gak waras?" tanyaku kesal. Rama menghela napas. "Ana ..., saya waras. Makanya saya mau bawa kamu ke rumah kedua orang tua saya. Saya mau bilang ke mereka kalau kamu sedang mengandung anak saya. Dan--" "Dan mereka bakal mikir, kalau aku perempuan murahan? Aku tidak mau! Itu kesalahan kamu!" Dia terdiam beberapa saat, dan menghela napas lebih dalam lagi. Kedua tangannya memegang kedua bahuku pelan dan hati-hati. "Dengerin saya. Tidak akan ada yang seperti itu. Mereka tidak akan pernah mengatakan itu. Seperti yang kamu katakan, di sini, sayalah yang salah. Jadi saya yang akan mengakui semuanya pada kedua orang tua saya. Kalau sayalah yang meng--" "Ok, cukup!" Aku sungguh tidak ingin mendengarnya lebih lanjut. Hal itu membuatku sangat malu sekali. Dia tersenyum miring dibalik tanganku. "Jadi mau kan?" Tapi aku harus menikah dengannya. Terus nanti aku tinggal dengannya, lalu setelah kami sering bertemu, sering berinteraksi. Apakah aku akan kuat? Apakah aku yakin tidak akan pernah menyukainya. Bagaimana kalau perasaanku lebih kuat, dari pada cintaku untuk Rehan padanya. Sedangkan dia masih sangat mencintai perempuan itu. Aku tidak mau hidup menderita menanggung perasaan. Luka yang ditorehkan Rehan saja masih basah, dan aku tidak mau menambah luka baru yang aku sendiri belum tahu bagaimana bisa menyembuhkannya. "Aku masih bingung, aku--" "Ana ..., anakku tidak boleh terlahir tanpa status." "Dan kamu pikir, itu anakmu saja? Dia juga anakku! Aku yang mengandungnya! Bukan kamu!" Aku mendorong dadanya, yang aku yakini kalau dia akan marah padaku. Namun itu tidak terjadi, dia malah tersenyum dan menggenggam tanganku. Membuatku gugup, dan berusaha menariknya. "K-kau kenapa?" Dia menggeleng. Dan mengusap pipiku, menatapku lembut sekali. Kedua bibir menawan itu terlihat tertarik ke samping. "Anda mulai gila ya?" Aku menepis tangannya. Dia masih menatapku lembut. Dan menghela napas dalam. "Apa kamu tidak membenci anaku?" Dia sinting! Mana bisa aku membenci anakku sendiri? "Pertanyaanmu aneh sekali." Dia menggigit bibirnya sendiri. "Saya hanya senang, ada seorang perempuan yang malah senang mengandung anak saya." "Dia anakku! Enak saja kamu bilang!" Dia kembali tersenyum. Dan mengangguk-angguk pelan. Dia menggenggam tanganku. "Anak kita!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD