POV Rama
Aku sedang membujuknya agar dia mau pergi ke rumah kedua orang tuaku dengan paksaan yang sangat susah luar biasa. Aku harus merayu dan memaksanya dengan sangat menyebalkn. Selama ini aku tidak pernah merayu perempuan, aku juga tidak pernah memohon-mohon pada manusia mana pun, kecuali Ibuku tercinta tentunnya. Aku pernah memohon padanya ketika dulu menginginkan sebuah mainan.
Setelah itu aku tidak pernah meminta apa pun pada siapa pun, karena semua keinginanku selalu kudapatkan tanpa aku harus memintanya.
"Aku tidak mau!" Itu penolakkan pertama yang Ana katakan padaku. Dia memelototiku dengan geram. Seolah aku ini adalah seorang anak kecil yang sedang ia kasih peringatan atas kesalahanku.
Tapi apakah kalian tau, kalau marahnya gadis itu sungguh menggemaskan. Aku yang masih belum menyukainya pun merasa gemas padanya, bagaimana kalau aku sudah menyukainya. Mungkin saja aku tidak akan bisa melepaskannya.
"Ayolah Ana, kedua orang tuaku pasti ingin bertemu dengan perempuan yang akan melahirkan cucunya, mereka pasti bahagia ketemua kamu," kataku dengan memegang tangannya erat. Aku sungguh tidak akan pernah bisa melepaskannya. Banyak sekali alasan kenapa aku sampai tidak bisa melepaskannya.
Pertama; karena dia adalah perempuan yang sedang mengandung anakku. Kedua; karena aku merasa nyaman saat berdekatan dengannya. Tapi ingat! Kalian jangan berpikir kalau aku sudah menyukainya, aku sungguh belum menyukainya. Aku hanya ingin menjaga anakku, dan membuat perempuan itu tidak merasa susah saat hamil anakku.
Aku akan memberikan apa pun padanya, harta dan segala yang ku punya agar dia mau mengandung dan melahirkan anakku. Tapi hatiku, aku rasa belum bisa. Dan Ana pun aku rasa tidak menginginkan hatiku, jadi aku tidak boleh bertindak gegabah, jangan sampai Ana merasa kalau mulai menyukainya dan membuat gadis itu tidak nyaman.
"Dengarkan aku, Ana. Akan banyak sekali keuntungan untuk kamu, dengan mengandung dan melahirkan anakku. Pertama ; rumahku akan aku beli, dengan harga sepuluh kali lipat dari harga aslinya, tapi rumah itu pun tetap jadi milik kamu. Kedua ; kamu bisa merasakan menjadi seorang perempuan yang sempurna karena pada akhirnya kamu bisa hamil. Dan yang terakhir, kamu bisa membuktikan pada mantan suami kamu, bahwa yang mandul itu dia, bukan kamu!"
Dia terdiam dan menatapku dingin. Apa yang salah dengan kalimatku, aku memang benarkan? Dia bercerai dengan suaminya karena lelaki itu menyangka bahwa Ana mandul.
"Kamu menyelidiki kehidupanku diam-diam ya?" tanyanya dengan bersidekap d**a. Aku mengangkat kedua bahuku masa bodo, lalu duduk di atas kursi kebesaranku.
"Jangan bodoh, Ana. Kamu harus tahu, kalau aku tidak akan menyerang perempuan sembarangan!"
Dia terlihat marah. "Maksud kamu? Kamu menyerangku karena kamu tahu, kalau aku adalah perempuan mandul, dan kamu sudah membuntutiku sejak lama?"
Dia menggeleng. "Tidak, bukan seperti itu Ana. Aku memang tahu kalau kamu dan mantan suami kamu itu bermasalah. Tapi aku tidak tahu kalau kejadian malam itu, bersama kamu. Aku pikir dengan Calysta! Dia ...." Sialan! Aku malah kelepasan dan menyebut namanya.
Ana terdiam, kedua matanya terlihat memerah. Apa dia marah padaku?
"Ana! Ana, dengarkan saya. Tolong kamu jangan salah faham, saya malam itu memang sedang mabuk. Dan kamu pasti tahu sendiri apa yang terjadi pada manusia yang sedang mabuk. Dia akan melakukan apa pun yang diinginkannya tanpa berpikir. Jadi--"
Ana mengangkat kedua tangannya. "Ok, aku udah denger semuanya. Aku tidak akan menyalahkan kamu. Harga rumah itu dua miliar, kamu sudah janji membayarnya sepuluh kali lipat. Jadi bayar saja, dan malam ini aku mau ke rumah Ibumu. " Dia meletakkan cek kosong di atas mejaku.
"Aku akan ganti baju, dan kamu tunggu saja." Dia cuek sekali, seolah apa yang aku katakan tidak berpengaruh apa pun padanya. Seolah semua yang ada padanya tidak berarti apa-apa. Aku tahu dia tidak menginginkanku, dan aku pun sama tidak menginginkannya. Namun ada hal yang membuatku tidak mengerti, bahwa sikap cueknya membuat dadaku sesak.
Ah, ada apa denganku? Ana bukanlah siapa-siapa untukku. Ingat Rama! Calystalah perempuan yang kamu cinta, dan bukanlah Ana.
***
Dia turun dengan dress yang aku belikan. Dia juga berdandan dengan sangat cantik, hingga membuatku terpaku dan bingung. Aku tidak mengerti dengan jantungku berdetak tidak karuan.
"Mana cek nya? Apa kamu sudah mengisinya seperti yang kamu janjikan?" Dia menengadahkan telapak tangannya padaku, menagih apa yang aku janjikan padanya bahwa aku akan membayar harga rumah itu sepuluh kali lipat dari harga yang ia tawarkan.
Memang perempuan pintar!
Aku memberikan cek 20 miliard untuknya. "Ini cantik!" Berhasil meraih tangannya dan menarik pinggan yang masih ramping berbalut dress berwarna peach itu kedekapanku. Membuat kedua mata indah itu membelalak kaget.
"Rama!" tegasnya, dia tampak tidak suka dengan apa yang aku lakukan. Namun tentu saja aku tidak akan pernah melepaskannya begitu saja, dia sudah jadi milikku bahkan sedang mengandung anakku. Kenapa aku tidak boleh menyentuhnya?
"Your'e mine, Ana!" bisikku di telinganya. Dia menjauhkan dirinya dan mendorong dadaku.
"Kita hanya partner! Kita sama-sama membuat kesalahan. Dan kamu, kamu hanya menginginkan anak ini saja. Kamu---"
Siapa suruh dia dandan cantik sekali. Siapa suruh dia bawel sekali, aku tidak tahan melihat kedua bibir indah itu. Aku juga tidak tahan melihat tubuh indah itu. Kalau sudah begini, aku tidak akan pernah melepaskannya. Meskipun aku tidak mencintainya, tapi aku tidak akan rela dia diambil orang. Aku tidak akan membiarkan laki-laki mana pun menatapnya.
Entah apa yang terjadi pada diriku, karena menciumnya sebentar, itu tidak membuatku cukup.
"Rama!" Dia mendorongku dengan kuat, hingga membuat tautan bibir kami terpisah. "Kamu gila!" Lihat! Dia terengah dan mengusap bibirnya yang basah karena ulahku itu.
"Sinting!" Dia meninggalkanku dengan tatapan membunuhnya. Lalu cek itu pun ia bawa. Aku tahu dia adalah perempuan yang tidak akan pernah membiarkan kesempatan apa pun dilepasnya. Lalu apakah ia tidak tertarik denganku?
Aku punya segalanya, aku punya apa pun yang tidak dimiliki mantannya. Harusnya dia membiarkan saja aku menciumnya atau apa pun itu. Seperti Sonia atau gadis mana pun yang aku sentuh.
Dia berjalan tergesa ke arah gerasi, dan aku segera mengikutinya dengan langkah panjangku. Dia yang sedang berjalan tergesa terlihat rambutnya berkibar ke sana - kemari dengan indah. Dia sepertinya marah sekali padaku, hanya karena aku menciumnya tadi. Padahal, ini bukanlah untuk pertama kalinya. Sebelum ini pun, aku pernah menciumnya. Dan rasanya memang menyenangkan sekali. Dia marah padaku hanya karena ciuman itu. Sama seperti baru saja aku menciumnya.
Jika aku lihat lagi, dia itu perempuan yang cukup jual mahal. Dia bahkan memanggilku sinting! Duh, sejak kapan ada perempuan yang seberani ini padaku?
Aku terus mengikutinya, sampai dia berada di depan mobilku berdiri di luar menungguku, karena mobilnya belum aku buka. Jangan lupakan kalau pemilik mobil itu adalah aku. Jadi aku tidak akan membukanya sebelum aku berada di sana.
"Kau menungguku?" tanyaku padanya.
Dan si pemilik wajah cantik itu, hanya diam dengan tatapan datarnya. Judes sekali, tidak tahu kah kalau aku sangat gemas padanya. Aku ingin menciumnya lagi. Eh,
"Buka kan pintunya!" Ok, dia mulai memerintahku sekarang. Dan sebetulnya aku tidak suka diperintah. Tapi ya sudahlah, karena dia sedang hamil. Aku pun sepertinya harus mengalah.
"Silahkan Tuan Putri!" Aku membuka kan pintu mobil untuknya. Dan dia melewatiku, dia duduk di kursi penumpang. Namun sebelum dia menarik sabuk pengaman, akulah yang lebih dulu menariknya dan membuatnya kaget. Aku mendekatkan wajahku padanya, dengan gerakkan lambat memasang sabuk pengaman itu. Membuat wajah cantik itu terlihat gugup, dan takut. Dia menunduk dalam dan menjauhkan wajahnya bahkan sampai menempel di sandaran kursi di belakangnya.
"Jangan lupakan satu hal Ana, kau sedang mengandung anakku. Jadi, sebuah ciuman, bukan lagi hal aneh, iyakan?!"
Aku hanya ingin mengingatkannya, bahwa dia tidak boleh menolakku. Dia akan jadi milikku!