Chapter 9

2444 Words
Ajeng jadi ingat ketika Naura marah pada Rita, karena memberikan nomornya pada orang lain tanpa izin terlebih dahulu. Setelah diyakinkan bahwa cowok itu baik dan tipe Naura sekali, barulah cewek itu mau untuk sekadar membalas sapaannya. Berjalan beberapa hari, Naura rupanya mulai nyaman. Seolah menemukan rekan diskusi yang asyik untuk diajak bertukar pendapat. Ajeng: Selamat, Ra! Aku ikut seneng! Naura: Seneng, sih, seneng. Tapi jangan kayak Rita, ya. Dateng-dateng nodong pajak Rita: Gue lagi yang salah. Padahal udah bantuin Ajeng: Hahaha! Nggak, kok. Aku cuman mau minta juga kalau Rita dijajanin Naura: Gak ada akhlak emang kalian berdua Ajeng kembali tergelak. Dia bersyukur karena mempunyai sahabat seperti Rita dan Naura. mereka selalu bisa membuatnya tertawa di saat seperti ini. Meski begitu, rasanya pasti akan sangat membahagiakan jika mempunyai pasangan yang juga sama pengertiannya. Seandainya Ilham seperti itu .... *** Nalendra Al-Ghifari menyandarkan punggungnya ke dinding sambil bersedekap, memperhatikan teman-temannya yang saling berebut melempar ide. Beradu argumen demi menunjukkan eksistensi. Menunjukkan bahwa mereka memiliki kepedulian terhadap angkatan. Padahal, bagi Ale, ide yang dilemparkan ke forum kebanyakan preferensi pribadi. Cowok itu mengerjapkan mata berkali-kali sambil menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap. Lagi. Kantuk yang menyerang tiada henti sejak dirinya duduk di forum rapat ini semakin menggila. Matanya bahkan sudah berair. Sempat beberapa kali hampir terlelap, dan tubuhnya hampir jatuh. Semalam, Ale tidak tidur akibat keisengannya sendiri, dan sekarang tidak bisa fokus mengikuti rapat. Galih benar-benar datang ke kosnya sambil membawa beberapa setel pakaian. Keberadaan Galih kemudian diketahui oleh Aldi dan Fatir, sehingga kamarnya yang memang cukup luas itu menjadi tempat pengungsian. Kalau sudah berkumpul, apalagi di kos Ale, tidak ada yang mereka kerjakan selain mengobrak-abrik koleksi PES-nya. Sudah diajak begadang, dikalahkan pula. Padahal, tim yang dimainkannya sedang sangat bagus di dunia sepak bola sesungguhnya. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Kalau sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Galih yang penakut, atau dirinya yang tidak pandang bulu kalau sudah jahil? Setidaknya satu pelajaran telah ia dapat, yaitu jangan menakut-nakuti orang penakut, karena akan berakibat sangat fatal. Contoh nyatanya adalah Galih yang mengungsi dan kamar kosnya berakhir menjadi tempat penampungan manusia-manusia aneh itu. Manusia-manusia aneh, yang sayangnya, merupakan sahabat dekat yang sudah seperti saudara. Dia pun tidak sadar bahwa Aldi dan Fatir yang duduk bersisian sedang merekamnya sambil menahan tawa. Tinggal menunggu waktu saja sampai kedua sahabatnya itu membagikan hasil video tersebut ke media sosial. Benar. Mereka memang berencana untuk menjahili seorang Nalendra Al-Ghifari. Baru-baru ini, setelah memiliki akun i********: dalam beberapa minggu, followers cowok itu meningkat pesat. Aldi membuat akun pada tahun 2014, Fatir dan Galih tahun 2015. Pengikut mereka di platform tersebut tidak mencapai tiga ratus. Aldi yang paling banyak, 397 pengikut. Itu pun karena pernah mengikuti lomba fotografi. Nalendra Al-Ghifari, cowok gaptek (dijuluki oleh teman-temannya setelah ketahuan tidak bisa menggunakan i********:) yang baru membuat akun tahun ini demi melancarkan aksi pendekatannya pada Ajeng itu, diikuti oleh hampir tiga ribu akun. Aldi sempat meledeknya bahwa pengikut itu hasil membeli. Akan tetapi, pernyataan tersebut jelas hanya candaan, karena mereka semau tahu bahwa Ale tidak mengerti hal-hal seperi itu. Nalendra juga sudah dua kali menerima tawaran endorse untuk produk sneakers KW super dan produk aksesoris berupa gelang untuk kampanye lingkungan. Dalam pikiran Aldi dan Fatir, menjahili Ale dengan membagikan hasil rekaman tersebut pasti akan sangat seru. “Yang nembusi surat ke pihak UGM-nya Nalendra, ya. Nanti terserah kamu ke sananya sama siapa,” tutur Ketua Angkatan. Ale menegakkan posisi duduknya, lalu berdeham. Dia terkejut, karena barusan, lagi-lagi hampir terlelap. Untung saja sensornya masih menyala, sehingga tidak perlu mempermalukan diri dengan ketahuan sedang tidur pada momen kali ini. Cowok itu tidak tahu saja bahwa kondisinya sudah terekam sempurna di ponsel milik Fatir dan Aldi. Mereka memang menggunakan ponsel masing-masing untuk merekam, agar ada backup jika sewaktu-waktu Ale mengetahui keberadaan video tersebut. Skenario terburuknya adalah video terhapus. Paling mudahnya, Aldi dan Fatir kena ocehan dan larangan datang ke kosan. “Siap, Buketu! Laksanakan!” Setelah itu, Ale ingin mengumpat terus-menerus selama rapat, karena setiap individu antusias sekali dalam mengemukakan opini. Saling bergantian, padahal, wkatu sudah sangan sore. Mendekati waktu malam. Alhasil, dia harus menahan kantuk hingga beberapa saat kemudian. *** “Lu nyupir, Gal! Ngantuk banget gue, t*i!” Galih pun dengan sigap menangkap kunci yang dilempar Ale secara tiba-tiba. Cowok itu mendelik, mengutuk perbuatan Ale yang secara tiba-tiba melempar kunci tersebut. “Kagak usah dilempar, kan bisa, b*****t—si babi, gue dicuekin.” Tangan sahabat Ale membentuk gesture mengepal di udara dengan mata mendelik. Cowok itu tidak terima. Dalam pikirannya, bukan hanya Ale yang begadang. Mereka semua juga. Fatir dan Aldi terkikik melihatnya diabaikan si pembuat onar. Pembuat onar yang sekarang sedang melancarkan aksi pendekatan kepada sang gadis pujaan hati. Ale menyejajarkan langkahnya dengan Ajeng dan Rita yang sedang beriringan. Cowok itu cengar-cengir sambil menggaruk kepala bagian belakang. Dia selalu lupa segalanya jika sudah menyangkut cewek bernama lengkap Nilakandi Ajeng Kiani tersebut. Kantuk yang sejak sore menyerangnya, hilang entah ke mana. Digantikan oleh semangat menggebu kalah melihat kecantikan Ajeng yang masih terlihat segar meski hari sudah mulai gelap. Bahkan, Galih yang memakinya di belakang pun tidak dia pedulikan. “Halo, partner humas aku.” “Huek! Jijik banget, najis!” Bukan Ajeng yang merespons, melainkan Rita. Sahabat Ajeng yang satu itu memang paling sering mengejek Ale. Selain itu, juga yang paling dekat dengan si pembuat onar. Mereka pernah sekelas waktu semester awal, ketika sistem pembagian kelas masih per mata kuliah. Setelah diganti dengan kelas tetap untuk seluruh mahasiswa, keduanya berada di kelas yang berbeda. Ale mendelik garang. Tatapannya dibuat seolah dirinya terganggu oleh keberadaan cewek itu. Padahal, jika ditelaah lebih dalam sesuai dengan perasaan Ajeng dan Rita, justru Ale lah yang mengganggu. “Diem, lu. Gue lagi nyepik cewek cantik di sebelah lu, bukan remahan rengginang dalam kaleng Khong Guan.” “Dih, t*i ayam mau sok-sokan nyepikin temen gue. Mimpi ae terus, bosque!” Ajeng tidak mengerti lagi kenapa Rita mau-maunya meladeni kekonyolan cowok itu. Menurutnya, mereka berdua tidak ada yang waras. Sama-sama gila kalau sudah saling berbalas ejekan. Tidak ada yang mau mengalah sama sekali. Daripada berlama-lama menjadi pendengar ‘obrolan’ antara dua orang itu, Ajeng memutuskan berjalan lebih cepat, agar dapat mendahului mereka. Dia berencana akan menunggu di pos satpam saja sampai Rita sadar bahwa ada dirinya yang sedang menunggu untuk diantar pulang. Lagi pula, Ajeng masih dongkol pada Ale. Dia kesal, karena sudah menjadi bahan tontonan mahasiswa satu fakultas gara-gara teriakan cowok itu. Setidaknya, mengobrol dengan penjaga keamanan selalu menghasilkan pelajaran hidup yang pantas dipetik, yang tidak diajarkan di kelas. Seperti saat ini. Pak Bahar dengan pakaian khas yang nyentrik untuk ukuran seorang satpam; kaus putih, kopiah, dan celana hitamnya sudah berdiri di pintu pos. Laki-laki setengah baya itu tersenyum ke arah Ajeng. Dia mengembuskan napas lega ketika dilihatnya Ale dan Rika masih berdebat ketika dirinya sampai di pos satpam. Syukurlah, gumamnya. “Rapat terus, Mbak.” Pak Bahar langsung menyapa begitu Ajeng sampai di hadapannya. Ajeng tersenyum. “Iya, Pak. Banyak yang harus dibahas buat KKL.” “KKL-nya kali ini ke mana?” Departemen Sejarah adalah jurusan di FIB yang paling sering mengadakan kuliah kerja lapangan atau yang biasa disingkat KKL. Tidak heran jika pak Bahar bertanya seperti itu. Setiap semester genap, mahasiswa dituntut untuk ikut, agar mendapat nilai penelitian dalam masing-masing mata kuliah. Semester kedua, mahasiswa Sejarah mengunjungi situs peninggalan kerajaan Majapahit di Jawa Timur (Blita-Mojokerto-Malang). Semester keempat, untuk penelitian sosial, Karimunjawa dipilih sebagai ruang lingkup penelitian. Pulau yang termasuk dalam administrasi Kota Jepara tersebut sudah menjadi langganan departemennya. “Jakarta, Pak.” Ajeng duduk di kursi panjang di depan pos satpam. “Biasa, buat persiapan skripsi.” Semester keenam, memang dipersiapkan khusus untuk mahasiswa yang akan mulai skripsian. Meskipun tidak semua mengambil tema nasional yang sumber primernya terdapat di Arsip Nasional Republik Indonesia dan sumber sekunder di Perpustakaan Nasional RI, kunjungan tersebut dapat memberikan insight bagi mahasiswa. “Owalah, begitu. Semangat, Mbak. Jangan lupa berdoa. Apa pun yang kita lakukan harus diawali basmalah. Supaya kegiatan kita dilancarkan. Barokah dunia dan akhirat. Bermanfaat untuk sesama makhluk hidup.” Ajeng tidak tahu apakah waktunya akan cukup untuk mendengarkan wejangan pak Bahar sampai Rita datang, tapi dia berusaha memasang telinga dan perhatiannya. Cewek itu memang irit bicara. Akan tetapi, bisa memosisikan diri sebagai pendengar dan pemerhati yang baik. “Kalau kita bermanfaat untuk sesama, hidupnya rasanya tenang, Mbak. Damai. Kita bisa tersenyum dari hati ketika melihat orang lain tersenyum karena kita.” Ajeng tersenyum simpul. Semenjak tahun lalu, dia memang sering mendengarkan wejangan pak Bahar. Sedikit atau banyaknya keputusan-keputusan yang diambil dalam hidup sejak saat itu, terpengaruh oleh kalimat-kalimat ajaib pak tua tersebut. Tidak berapa lama kemudian, Rita sudah berdiri di hadapannya dengan ngos-ngosan. Terjadi lagi. Tingkah kekanakan sang sahabat dan Ale sepertinya sedang kambuh. *** “Eh, hantu kuburan kampus, bae-bae lu! Bentar lagi gue jadi pacar temen lu. Gue larang maen ama dia baru nyaho[1] lu!” “Najis! Pede banget, lu, jadi manusia!” Mulut Rita membentuk gesture ejekan. “Ajeng mana mau sama cowok yang belum apa-apa aja udah main larang-larang dia.” “Eh—“ Ale celingukan ke sana-kemari. Dia baru menyadari ketidakberadaan Ajeng di antara mereka. “Gara-gara lu, nih! Pergi, kan, pujaan hati gue, ah!” Rita tertawa saja. Dia sebenarnya tidak mau terlalu memikirkan urusan orang lain. Namun, kegigihan Ale dan penolakan Ajeng yang persisten membuat dia sedikit bersimpati pada cowok itu. Kalau dia jadi Ale, mungkin baru sebulan mengejar sudah menyerah duluan. Cewek itu mengedikkan bahu, lalu mengambil ancang-ancang. Setelah itu, dia berlari menuju pos satpam. Rita sudah sangat hafal kebiasaan Ajeng yang satu ini. *** Ale berniat menyusul Ajeng ke pos satpam ketika kerah bajunya ditarik dari belakang. Lehernya tercekik, sehingga dia mengaduh. “Eh, babi! Katanya ngantuk! Malah nyepikin anak orang. Dikira lu doang, apa, yang begadang? Gue juga ngantuk banget ini. Ayo, balik!” “Gal, bentaran doang! Buset, dah.” Galih menggeleng sambil kembali menarik kerah Ale. “Kagak ada! Ayo!” Ale pasrah. Dia tidak bisa menolak Galih, karena memang dirinya juga sudah sangat mengantuk. Tangannya melambai-lambai ketika akhirnya melewati pos satpam. Kedua sudut pada bibirnya membentuk senyum lebar yang sangat cerah. Meski begitu, lingkaran hitam di matanya tidak bisa berbohong. Bahwa dirinya sudah sangat kelelahan. *** Rita bersedekap sambil menatap garang pada Ajeng. Tatapan garang yang dibuat-buat, hanya untuk pura-pura menunjukkan bahwa dia tidak suka ditinggalkan. “Kan, kamu tahu sendiri, Ajeng. Aku nggak pernah bisa menang kalau adu bacot sama cecunguk yang satu itu. Kenapa malah ditinggalin, sih!” Ajeng tersenyum simpul. “Aku pusing lihat kalian debat gitu. Jadi, mending nunggu di sini aja.” “Adu bacot, bukan debat.” “Iya, itu. Terserah, kamu nyebutnya apa.” Rita mengembuskan napas tanda akan protes. Namun, Ajeng menahannya dengan mengajak pulang. Hari sudah sore menjelang malam. Mereka juga butuh asupan untuk perut yang sedari rapat tadi berteriak minta diisi. “Ayam geprek, kan?” tanya Rita. Ajeng mengangguk saja. Sedari awal, ayam geprek dekat kampus memang menjadi tujuan makan mereka. Selain dekat, makanan di sana juga murah. Ajeng bisa saja langsung pulang dan memakan masakan ibunya, tetapi dia sedang ingin menghabiskan waktu dengan sang sahabat. Lagi pula, tidak setiap hari mereka makan bersama seperti ini. *** Ajeng salah tingkah. Tatapan intens Rita, tidak tahu kenapa, membuatnya mati kutu. Pasalnya, langka sekali temannya itu bertingkah serius dan menghunuskan tatapan tersebut. “Kenapa? Ada yang aneh sama aku?” tanya Ajeng ragu-ragu. Matanya bergerak ke sana-kemari demi menghindari tatapan sang sahabat. Rika menggeleng. “Aku lagi bingung aja, kenapa curut satu itu ngotot banget ngejar-ngejar kamu, ya?” Dahi Ajeng mengerut. “Siapa?” “Si Ale-Ale, lah, siapa lagi!” “Nggak tahu. Emang dasar aneh, tuh, Ale alay.” Rita mengangkat alisnya sebelah. “Cieee, udah punya nama kesayangan aja, nih, buat dia.” Ajeng pun memutar bola matanya. “Enggak usah ngelebih-lebihin, kali. Emang dia alay, kan?” “Iya, deh, iya. Ale emang alay,” balas Rika dengan nada mengejek. “Apa, sih!” “Nggak usah ngambek gitu, kali. Muka kamu jelek kalau lagi ditekuk gitu. Sumpah. Nanti si Ale alay nggak sayang lagi, lho.” Rita menaik-naikkan kedua alisnya, sedangkan Ajeng mendelik sebagai respons dan melanjutkan kegiatan makannya. Bukan sekali ini Rika menggodanya, tapi dia tidak pernah terbiasa. Membahas perasaan orang lain terhadapnya sangat sensitif, apalagi jika rasa itu tidak mungkin dia balas. Terkadang, Ajeng berpikir, bagaimana jika seandainya dia tidak berpacaran dengan Ilham? Apakah saat ini dirinya sudah jatuh ke dalam perangkap seorang Nalendra? Bagaimanapun, setelah diperhatikan, Nalendra tidak terlalu buruk sebagai manusia. Hanya sikap pengganggu dan tukang bolosnya saja yang membuat Ajeng tidak menyukai cowok itu. Ajeng tahu Ale humoris. Dalam beberapa kesempatan, dia dapat melihat Ale bercanda dengan teman-temannya. Cowok itu juga tampak ramah kepada siapa pun. Akan tetapi, sekelebat pemikiran itu pun lenyap dalam sekejap. Dia merasa mengkhianati perasaannya, karena telah memikirkan cowok lain. Pemikirannya berganti harap. Harapan akan kisah cinta yang mulus seperti orang lain. Setidaknya, dia ingin Ilham memahami posisinya sebagai seorang pacar. Ajeng tidak menuntuk untuk selalu diberikan waktu. Dihubungi sekali dalam sehari saja dia sudah sangat senang. Tidak perlu dibawakan buket bunga atau hadiah lainnya. Dia hanya ingin Ilham dapat meluangkan waktu meski hanya sebentar. Dua jam dalam seminggu untuk sekadar makan bersama pun saat ini rasanya sangat sulit. “Woy!” Gebrakan pada meja membuatnya terperanjat. Netra hitamnya berganti fokus ke arah sang sahabat yang lagi-lagi menatapnya dengan intens. “Ngelamunin apaan, sih?” Ajeng menggeleng. Senyum simpul di wajahnya tercipta untuk menghindari kecurigaan Rita. Rasa curiga yang nantinya akan berdampak pada timbulnya pertanyaan-pertanyaan yang dia sendiri tidak bisa menjawabnya atau tidak. “Nggak ngelamun. Tadi ngelihatin cabe di gigi kamu.” Bagus, Jeng, pengalihan yang bagus! pekiknya dalam hati. Rita sangat memperhatikan penampilan. Sang sahabat tidak akan membiarkan sesuatu merusaknya. Muncul keringat sedikit saja, dia langsung touch up setelah membersihkannya. Terbukti ampuh. Sahabatnya itu langsung mengambil cermin kecil dari tas, lalu mencari-cari letak cabai seperti yang diberi tahu Ajeng. Matanya menatap nyalang. Dahinya pun mengerut. “Nggak ada cabe! Ngarang aja lo! Bikin panik.” Tawa Ajeng pecah. Sesekali, menjahili sang sahabat ternyata asyik juga. Dia berpikir bahwa dirinya harus lebih sering melakukan itu. Jangan Rita saja yang mengerjainya secara terus-terusan. *** “Makan dulu, kagak?” Ale menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Kantuk yang sejak tadi ditahannya, kini tidak bisa lagi ditolerir. Pertanyaan Galih barusan sama sekali tidak tertangkap indera pendengarnya. Secara perlahan, tubuh itu tak bergerak. Mata sayu yang sejak tadi menahan kantuk pun menutup. Ale telah lelap, membalaskan dendam akibat begadang bersama teman-temannya. Galih pun tidak jauh berbeda. Pertanyaan yang dia lontarkan kepada sang sahabat, terlupakan. Tubuhnya yang lelah ikut berbaring di kasur yang lain. Ale memang sengaja mempunyai kasur busa lebih, untuk berjaga-jaga jika temannya menginap. Kedua sahabat itu pun terlelap tanpa mengisi perut terlebih dulu. Pun tanpa membersihkan diri. [1] (Basa Sunda) tahu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD