Chapter 10

2415 Words
“Makan dulu, kagak?” Ale menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Kantuk yang sejak tadi ditahannya, kini tidak bisa lagi ditolerir. Pertanyaan Galih barusan sama sekali tidak tertangkap indera pendengarnya. Secara perlahan, tubuh itu tak bergerak. Mata sayu yang sejak tadi menahan kantuk pun menutup. Ale telah lelap, membalaskan dendam akibat begadang bersama teman-temannya. Galih pun tidak jauh berbeda. Pertanyaan yang dia lontarkan kepada sang sahabat, terlupakan. Tubuhnya yang lelah ikut berbaring di kasur yang lain. Ale memang sengaja mempunyai kasur busa lebih, untuk berjaga-jaga jika temannya menginap. Kedua sahabat itu pun terlelap tanpa mengisi perut terlebih dulu. Pun tanpa membersihkan diri. *** "Salamlekum!" Galih yang sedang berbaring sambil memainkan ponsel terkejut begitu suara pintu didobrak bersahutan dengan sapaan salam sang teman. Cowok itu mengambil bantal kemudian melempar benda tersebut hingga mengenai muka temannya itu. Dia tidak suka ketika seseorang membuatnya terkejut. Terlebih, jika itu teman dekat yang sudah hafal betul kondisi tersebut. Kebiasaan Aldi yang satu ini memang tidak pernah hilang. Selalu membuat teman-temannya naik pitam. Akan tetapi, seolah tidak terusik oleh penerimaan para sahabatnya, Aldi suka sekali melakukannya. "Ngucap salam tuh yang baik dan benar, Ndes! Gue doain masuk neraka lu entar. Mainin ucapan sakral aja lu." Galih menggerutu sambil melanjutkan kegiatannya dengan ponsel. "Jahara kamu, Mas, doain aku masuk neraka." Aldi mencebik, melempar tas ke sembarang arah, berjalan ke arah Galih, kemudian menjatuhkan diri di atas tubuhnya. Semakin dimarahi, cowok itu semakin tertantang untuk membuat temannya tambah marah. Galih mengerang kesakitan. Tenaganya yang melemah akibat serangan Aldi ia gunakan untuk menyingkirkan cowok itu dari atas tubuhnya. Dia menggulingkan diri ke samping. Lalu, kedua tangannya memegangi ulu hati yang terkena dampak paling parah akibat kelakukan bar-bar temannya itu. "b*****t! a*u!" Galih merintih, sedangkan Aldi cengar-cengir menyebalkan bak orang yang i***t. "Kenapa lu, Gal?" tanya Ale sambil menyimpan tasnya. Ia baru datang, merapikan Mimi—Mio hitam kesayangannya—terlebih dahulu, sehingga tak menyaksikan kebrutalan Aldi terhadap Galih. "Tanya aja sama teman lu yang b*****t itu." Galih kepalang kesal. Sakit di perutnya saat ini sungguh tidak bisa dijabarkan. Seandainya Aldi adalah anak kecil, dia mungkin tidak akan merasa sesakit ini. Sayangnya, sang sahabat adalah manusia dewasa yang berat tubuhnya di atas lima puluh kilogram. Lemahnya suara yang Ale dengar membuat cowok itu spontan melirik Aldi dengan tatapan tajam. Tatapan yang hanya ia perlihatkan ketika teman-temannya jika melakukan kesalahan, dan itu benar-benar mampu membuat mereka mengkeret. Aldi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membalas tatapan Ale dengan wajah memohon ampun. Bagaimana pun, seorang Nalendra tidak akan memaklumi k*******n. Bahkan jika dimaksudkan untuk bercanda. Menurutnya, bercanda tidak perlu menyakiti. "Gue lemparin badan gue ke atasnya dia, niatnya bercanda doangan, Le. Serius dah." Tanpa diminta pun, Ale sudah mendapatkan penjelasan yang diinginkannya. Tidak ada aturan tertulis, tetapi setiap individu dalam kelompok itu memahami satu sama lain. Dapat membaca suasana hati masing-masing. Aldi langsung tahu jika saat ini, Ale tidak dalam keadaan yang bisa diajak bercanda. Apalagi mengenai hal-hal prinsip seperti ini. Tatapannya semakin tajam, begitu lekat memperhatikan Aldi dan Galih secara bergantian, menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata lalu mengembuskannya dengan kasar. "Gue paham, Aldi, paham banget. Lu berdua emang demennya bercandaan, tapi gue nggak habis pikir, kok bisa sampai tindih-tindihin badan orang kek gitu?" Aldi tertunduk, sedangkan Galih masih merintih karena sakit di ulu hatinya tak kunjung membaik. "Kayak bocah, Di. Gimana kalau ada apa-apa sama Galih? Lu mau nyelakain teman lu sendiri, hah!" Ale berteriak, membuat Aldi mengangkat kepalanya, terperangah. Bahkan Galih langsung berhenti meratap. Ada sedikit perasaan bersalah pada Aldi, karena Ale jadi marah gara-gara dirinya. Namun, sebagian lain dalam diri cowok itu meyakinkan bahwa Aldi memang bersalah. Mencelakai orang lain meskipun bercanda, tetap tidak boleh. "Maafin gue, Le. " "Minta maaf sama Galih, t***l! Orang yang lu celakain itu Galih, bukan gue!" Ale menghardik, bahkan memotong kalimat yang hendak Aldi ucapkan. "Seharian ini gue di kampus terus. Gue capek, mau tidur. Kalau lu berdua mau tetap di sini, stay quiet." Kemudian Ale berjalan pelan menuju kasur, merebahkan tubuhnya yang lunglai di samping Galih, sedangkan Aldi masih menunduk takut. Ale memang konyol, suka bercanda, dan hal-hal buruk lain yang diketahui secara luas oleh teman-temannya di kampus. Namun, jangan pernah menyepelekan marahnya orang semacam Ale. Apalagi ketika ia kekurangan tidur seperti hari ini. Nalendra yang baru saja dilihatnya bukanlah Nalendra yang biasa dipertunjukkan di hadapan orang-orang. Mungkin, bisa dikatakan bahwa kemarahan Ale, hanya Galih, Fatir, dan Aldi yang pernah melihatnya. Di luaran, jika ada yang membuatnya marah, pemuda itu hanya mengambil sikap diam dan membiarkan mereka berbuat semena-mena. Aldi menghela napas dalam-dalam, menggaruk-garuk kepalanya dengan kasar, lalu merebahkan tubuhnya di atas karpet. Dia merasa bersalah, karena telah mencederai sang sahabat. Selain itu, cowok itu juga merasa kesal. Ada sesuatu yang harus dia beritahukan pada Ale. Akan tetapi, dia tidak bisa melakukan apa-apa, karena Ale sudah terlelap. Telah larut dalam mimpi yang mudah-mudahan saja, mimpi indah. "Tertundalah rencana yang udah gue susun tadi. k*****t!" maki Aldi pada diri sendiri. Dia berencana memberitahukan pada Ale mengenai rencananya. Demi melancarkan aksi pendekatan sang sahabat. Akan tetapi, perbuatannya barusan membuatnya harus menahan diri sampai besok. Sampai Ale bangun. *** Ajeng tiduran telentang sambil menatapi ponselnya yang terus-menerus berdering, menampilkan nama Ilham yang sejak tadi meneleponnya. Sejak pertengkawan mereka waktu itu, Ajeng sang pacar saling mengabaikan. Tidak ada pesan atau pun telepon untuk saling meminta maaf. Benar-benar hening. Tanpa kabar. Ajeng merasa, sesekali mengikuti permainan Ilham sepertinya tidak apa-apa. Sang pacar harus menyadari bahwa menjadi seorang Nilakandi Ajeng Kiani, pihak yang selalu menunggu dan memahami, tidak mudah sama sekali. Ia mendecak sebal ketika sekali lagi Ilham menelepon. Meski begitu, ada perasaan senang dalam hatinya mengetahui sang pacar akhirnya mau menghubungi. Lalu, dengan berat hati gadis itu menerimanya. "Akhirnya, Yang, kamu jawab telepon aku. Kamu ke mana aja, sih? Kamu nggak tau kalau aku khawatir banget? Aku samperin ke rumah kamu nggak ada, di-chat nggak bales." Seperti Ilham yang biasanya, banyak omong tapi tidak peka. Terlalu mangkhawitrkannya tapi hanya ditunjukkan melalui perkataan. Memang menyebalkan, tapi Ajeng menyayanginya. Terkadang, Ajeng mempertanyakan konsep saling menyayangi antara versi Ilham dan versi dirinya. Apakah sama, sepaham, atau justr sangat jauh berbeda? Kalau sama, kenapa rasanya dia seperti berjuang sendirian? Jika konsep itu berbeda ... tidak, Ajeng bahkan tidak berani membayangkan itu. Terlalu menyakitkan dan membuatnya sesak. Dia ... belum siap menerima kenyataan jika konsep itu berbeda. "Dasar nggak peka. Datang-datang langsung nyerocos nggak jelas. Kamu pikir aku kayak gini gara-gara siapa, hah!" Ajeng tidak bisa bersikap lembut lagi. Biasanya, dia akan bertanya dengan pelan. Menuntut jawaban dalam sabar. Akan tetapi, kali ini, perasaannya seperti sedang dijungkir balikkan. Campur aduk, sehingga dirinya sendiri mempertanyakan sebenarnya apa yang terjadi. "Iya, aku yang salah, Sayang. Aku minta maaf, oke?" Semudah itu Ilham meminta maaf? Ajeng mendengkus. Dia kesal. Permintaan maaf Ilham tidak terasa tulus baginya. Sebelum peristiwa ini, Ajeng akan memaafkan dengan mudah. Bahkan jika Ilham hanya meminta maaf tanpa menyadari kesalahannya. Akan tetapi, saat ini rasanya melakukan hal itu sangat sulit. "Kamu sadar, nggak, Ham sama apa yang kamu lakuin kemarin? Dan kemarinnya? Dan kemarinnya lagi?" Pertanyan yang dilontarkan oleh Ajeng membuat Ilham mendesah kasar, dan Ajeng dapat mendengar itu. Sesungguhnya, ini bukan kebiasaan Ajeng sama sekali. Untuk pertama kalinya ia mengeluarkan semua unek-unek yang bersarang di kepala. Setelah melakukannya, dia menjadi berpikir, kenapa tidak dari dulu saja dirinya seperti ini? Kenapa harus menyiksa diri dengan terus menerus menjadi pihak yang mengalah? Ternyata, jujur sangat melegakan. Berkata baik baik saja ketika keadaan sebenarnya tidak begitu, selalu menyisakan ganjalan tak kasat mata di hatinya. Terasa begitu berat dan menyesakkan. Menimbulkan ragu yang dipenuhi tanda tanya. "Kan, kamu tahu sendiri aku sibuk banget sama urusan kuliah. Sebelum ini juga kamu fine aja, kenapa sekarang malah kayak gini?" "Karena aku udah terlalu lama menahan semua unek-unek ini, Ham. Aku paham, paham banget kalau kamu itu anak teknik yang super sibuk. Masku sama kayak kamu, dia sibuk juga, tapi masih punya waktu buat ngabarin pacarnya." Ajeng tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan Ilham dengan Wira, tapi ... entahlah. Kalimat-kalimat itu keluar dengan sendirinya, seperti burung yang terbang melepaskan diri begitu si pemilik membuka kurungnya. “Aku juga dengar, kok, waktu kamu minta maaf. Tapi cara kamu minta maaf, sama sekali nggak menunjukkan kalau kamu benar-benar menyesal. Kenapa, sih, Ham, kamu ngak pernah mencoba untuk menempatkan diri berada di posisi aku? Setiap saat selalu berusaha mengalah, mengerti kondisi kamu yang sibuk terus.” Setelahnya, hening. Ajeng menghela napas panjang-panjang secara perlahan, lalu mengembuskannya. Cewek itu mencoba mengatur amarah. Hubungan cintanya dengan Ilham akhir-akhir ini terasa tidak sehat. Selalu saja ada yang membuatnya ragu dan bertanya-tanya akan keseriusan sang pacar dalam menjalin hubungan ini. "Ajeng, Sayang, aku minta maaf, ya? Aku janji akan lebih perhatian sama kamu." Ajeng menerawang, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna hijau, seolah dapat melihat seluruh kenangan yang ia miliki bergerak-gerak di sana. Mengingatkannya pada fakta bahwa kenangan antara dirinya dan Ilham sangat sedikit. Momen romantis, momen jalan-jalan berdua, sedikit sekali yang bisa ia recall. "Mudah untuk mengucap janji, Ham," gumamnya pelan. Sudah terlalu banyak janji yang dibatalkan. Terlalu banyak pula harap penuh kebahagiaannya dipatahkan. Jika boleh memilih, Ajeng ingin sekali memutar waktu, agar dirinya bisa berpikir ulang ketika memutuskan untuk menerima Ilham dalam hidupnya. Ajeng tidak bisa menyalahkan diri sepenuhnya. Saat itu, ketika Ilham mendekatinya, sang pacar sangat perhatian. Selalu mempunyai waktu untuk sekadar menemaninya makan ketika Rita dan Naura tidak ada. Selalu bersedia menjadi sandaran seorang Nilakandi Ajeng Kiani ketika kedua sahabat cewek itu sibuk dengan urusan kuliah masing-masing. Ajeng tahu, sebagai mahasiswa teknik, kesibukannya berbeda dengan dirinya yang mahasiswa Sejarah. Akan tetapi, saat itu, tindakan yang Ilham tunjukkan membuatnya berpikir bahwa cowok itu tidak akan berubah seperti ini. Sering membatalkan janji. Bahkan tidak lagi menyediakan waktu untuk mendengarkan ceritanya. Keluh kesahnya. Suatu hari, Ajeng sedang sangat sibuk. Laporan penelitian sejarah yang harus dikumpulkan berbarengan satu sama lain. Sejarah Terapan, Sejarah Lisan, dan Sinematografi. Mata kuliah yang mneuntutnya untuk turun ke lapangan dalam satu semester. Ajeng merasa sangat lelah. Butuh tempat untuk mengeluh. Dia akhirnya memutuskan untuk bercerita pada Ilham. Sayang sekali, respons yang didapat saat itu membuatnya tambah terbebani. Saat itu, Ajeng hanya ingin didengar. Namun, Ilham malah membandingkan dengan dirinya yang seorang mahasiswa teknik. Helaan napas berat di seberang sana terdengar, menandakan betapa frutrasinya Ilham menghadapi Ajeng yang seperti ini. Kewalahan, jelas, karena selama ini Ajeng tak pernah mengatakan apa-apa perihal kesibukannya. Ilham tidak pernah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi semacam ini. "Yang." "Aku belum selesai, Ham." Ajeng menangkasnya, Ilham terdiam. Ya, Ilham berpikir, biarkan Ajeng mengeluarkan semua unek-unek yang selama ini dipendamnya. "Aku mencoba memahami semuanya, Ham. Kesibukan kamu, kuliah kamu yang jadi prioritas, segalanya. Aku mencoba, tapi entah usahaku yang kurang atau memang ini alamiah dirasakan semua perempuan, rasa kesal itu selalu ada. Apalagi setelah kejadian kemarin." Ajeng pun terisak. Kenangan-kenangan yang ia miliki itu benar-benar berputar di kepalanya. Menghantam dengan kuat nalurinya sebagai seorang perempuan yang menginginkan perhatian lebih dari orang terkasih. Ketika ia tertidur dengan ponsel masih dipegangnya, menantikan Ilham memberinya kabar. Ketika ia berlama-lama memandangi ponselnya yang menampilkan foto Ilham, karena meridukan laki-laki itu. Terakhir, ketika Ilham berbincang dengan gadis bernama Nindi dan mengabaikan keberadaannya. Mengenai Nindi, Ajeng pernah bertemu cewek itu ketika Ilham mengajaknya makan. Beberapa waktu sebelum pertengkaran itu terjadi. Ilham dan Nindi terlihat sangat akrab. Sang pacar bahkan membiarkannya sendirian seperti kambing congek di antara dua love birds yang sedang bertukar informasi. Ajeng tidak mempermasalahkan hal tersebut di hadapan Ilham, tetapi perasaan dongkol dan cemburu itu bercokol kekal dalam hatinya. "Aku pacar kamu, kan? Apa jangan-jangan selama ini kamu nganggap aku cuma sebagai pelarian ketika kamu merasa jenuh sama tugas-tugas kamu itu, iya?" Gadis yang beberapa bulan lagi akan berusia genap dua puluh tahun itu menenggelamkan wajahnya ke dalam selimut. Menahan agar tangisnya tak terdengar siapa-siapa, meski itu hanyalah sia-sia. Di ujung sana, Ilham dapat mendengarnya, memunculkan rasa bersalah yang kian membiak. Cowok itu tidak pernah berpikir untuk menjadikan Ajeng tempatnya berlari dari menumpuknya kegiatan. "Aku cinta kamu, Ajeng, jangan berpikiran jelek gitu, ah!" Gadis itu mendengkus kesal. Mudah sekali Ilham mengatakan cinta di saat seperti ini. Kalau cinta, kenapa harus membuat kesal terus? Gerutuan itu tentu saja hanya diungkapkan dalam hati. Dia berusaha untuk tidak terlalu memprovokasi sang pacar. "Terserah kamu, lah. Aku mau tidur, telepon lagi aja besok, itu juga kalau kamu ada niat. Good night!" Kemudian sambungan terputus, Ajeng dengan sengaja melakukannya. Kalau berlama-lama mengobrol dengan Ilham, ia takut akan cepat luluh. Tidak boleh, Ajeng harus membuat Ilham sedikit lebih peka lagi. Tangisnya sudah berhenti, membayangkan pacarnya itu kelimpungan memikirkan perkataannya membuat ia tersenyum puas. Sebenarnya, kelegaan telah menyebar ke seluruh nadinya. Mengucapkan apa yang ingin diutarakaan sejak lama benar-benar membuat dadanya lapang. Akan tetapi, kembali ke niat awal, yaitu membuat Ilham merasa bersalah dan meratapi dinding derita akibat ketidakpekaannya itu. Siulan dari ponselnya membuat gadis itu mengerjap, jemarinya menari membentuk pola-pola rumit yang sengaja dipasangnya, lalu membuka pesan yang masuk. Pesan yang membuatnya ingin mengubur diri di Gurun Sahara, atau menghilang saja di Segitiga Bermuda. Belum selesai permasalahannya dengan sang pacar, muncul lagisi pengganggu. Mengirimnya pesan yang membuatnya sangat kesal. Rasanya, ingin sekali Ajeng menyewa orang untuk mengusir seorang Nalendra Al-Ghifari dari hidupnya. Minimal, tidak lagi mengganggunya di kampus terutama di luar kampus. +62 812-xxxx-xx09: Halo, Cantik. Besok ada rapat. Jangan telat, ya ☺ Cewek itu mendengkus. Dia benar-benar penasaran, kenapa Ale bisa mengganggunya sampai seperti ini? Sebagai mahasiswa, bukankah cowok itu seharusnya paham soal privasi dan perasaan tidak nyaman ketika seseorang diikuti dan diganggu sedemikian rupa? Mahasiswa. Ajeng mendesah kasar. Nalendra, mahasiswa yang sangat kekanakan. Kelakuannya tidak mencerminkan status yang disandang. Kalau saja hal-hal seperti ini memiliki payung hukum yang jelas dan tidak berbelit, dirinya pasti sudah melaporkan cowok itu sejak lama. Atas tuduhan penguntitan. Sayangnya, jika tidak membahayakan nyawa korban, langka sekali diproses. Ajeng melempar ponsel ke sembarang arah dengan pelan. Dia masih menyayangi ponsel yang dibelikan sang kakak dua tahun lalu itu. Tidak mungkin cewek itu merusaknya, karena ponsel tersebut merupakan hadiah ulang tahunnya yang kesembilan belas. Cewek itu pun memutuskan untuk tidak menggubris pesan Ale. Dia sangat kesal. Gara-gara kepanitiaan ini, dirinya dan si pengganggu itu berada di bagian yang sama. Humas. Yang paling membuatnya merasa s**l adalah Nalendra Al-Ghifari jadi tahu nomor ponselnya. Rasa syukur karena tidak masuk ke grup angkatan, sekarang sudah tidak berlaku lagi. Pengganggu itu sudah memiliki media sosialnya yang paling pribadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD