Niat Ajeng untuk berterima kasih kepada Ale ternyata tidak bisa direalisasikan. Ale dan teman-temannya langsung pergi usai rapat. Cewek itu pun tidak mempunyai keberanian untuk berterima kasih di hadapan banyak orang. Alhasil, ungkapan terima kasih itu ditelannya lagi. Disimpan untuk nanti. Jika cowok itu tidak bersikap menyebalkan.
***
“Gila! Dingin banget, bray!” Galih merapatkan jaket berbahan jeans yang dikenakannya.
Cuaca akhir-akhir ini memang tidak menentu; pagi menjelang matahari sudah muncul, dan beberapa saat kemudian berubah mendung—bahkan bisa dikatakan gelap. Tidak jarang juga turun hujan ketika matahari sedang terik-teriknya. Mahasiswa yang kebetulan sedang berada di luar gedung pun berlarian, menyelamatkan diri dari guyuran hujan. Galih pernah mengalami itu, sehingga pakaian bagian atasnya basah. Alhasil, teman Ale itu pun bolos kelas terakhir.
“Iya. Biasanya panas banget,” timpal Fatir.
“Kalau panas dingin mah namanya meriang.” Ale menimpali, membuat kedua temannya terbahak tak karuan.
“Si any*ng bisa aja, dah.” Galih menepuk keras bahu Ale.
Ale balas menepuk Galih di bagian tangannya.
Beberapa saat kemudian, cowok itu teringat sesuatu. Ada yang kurang dari perkumpulan mereka hari ini. Tidak ada Aldi. Biasanya, yang paling muda di antara mereka itu tidak pernah absen ketika berkumpul, kecuali ada hal penting.
“Aldi ke mana?”
Fatir menjawab dengan santai, “Dia ada tambahan matkul Sinema. Minggu kemarin pengampunya kagak masuk semua di kelas dia.”
“Mampus!” Ale ketar-ketir sendiri mendengar jawaban itu.
Dia baru ingat, benar-benar baru mengingatnya. “Ini, kan, jamnya kelas gue. Ngapain gue di sini, coba? Si Aldi kagak ngabarin gue kalau kelas digabung. Anjir, lah itu orang! Teman terb*ngsat yang pernah gue punya. Najis!”
“Yeee si bedon. Nyalah-nyalahin Aldi segala, orang lu sendiri yang lupa.”
“Makanya jangan kebanyakan bolos. Mampus. Lupa jam kuliah sendiri.”
Cibiran dari Galih dan Fatir membuat Ale semakin meradang. Jatah 25% yang bisa dia gunakan untuk membolos sudah habis pekan kemarin, dan hari ini melewatkan kelas untuk kelima kalinya. Itu berarti, Ale tidak akan bisa mengikuti ujian akhir semester.
Tamat sudah riwayatnya.
Teramat bahaya bagi kelangsungan isi dompet bututnya. Meskipun tidak yakin bundanya akan tega memotong uang saku, sih. Ale tetap ketar-ketir. Daripada kehilangan sebagian pemasukan tetapnya, lebih baik dia memasang wajah memelas pada dosen pengampu.
“Kagak usah sok-sokan menyesal gitu, dah.” Fatir mengejeknya, karena memang sangat langka Ale kelihatan menyesal telah melewatkan kelas.
“Lah? Anjir, ya, kalau nyokap gue tau, dan dia pasti tau, gue bakal miskin dalam sekejap, man. Kagak bakal bisa nemenin lu pada ke burjo.”
Perdebatan soal perlu atau tidaknya menyesali yang telah terjadi pun berlanjut. Ale dengan ketakutannya jika suatu sang bunda benar-benar memotong uang bulanan. Melapor pada papanya pun tidak akan membuahkan hasil. Sesungguhnya, bunda adalah pemegang kendali uang dalam rumah tangga mereka.
“Bukannya lu bilang sendiri, Bunda Yani kagak bakal tega ngebiarin anaknya kelaparan di rantau?”
Skak!
Ale tidak bisa membalas lagi, karena yang dikatakan Galih benar adanya.
Seketika cowok itu merasa konyol sendiri, karena telah berburuk sangka pada sang bunda.
“Pokoknya ini terakhir gue bolos!” putusnya.
Tegas.
Tanpa ragu.
Galih dan Fatir hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Yakin?” tanya mereka berbarengan.
“Yakin!”
“Kita lihat aja seminggu ke depan. Palingan juga lupa.” Fatir memprovokasi.
Ale ingin protes, tapi dirinya sendiri memang tidak yakin apakah bisa berhenti membolos. Dia merasa harus jujur pada dirinya sendiri bahwa dia tidak bisa. Tapi cowok itu juga menyadari tanggung jawabnya terhadap orang tua yang telah memberinya privilese untuk belajar di perguruan tinggi.
Cowok itu mengehela napas, lalu mengembuskannya secara perlahan. Nuraninya memutuskan untuk mengikuti saja alur yang akan dihadapinya nanti. Pasrah ajalah, ujarnya dalam hati.
***
Ale bangkit dari tempat duduknya, lalu beranjak meninggalkan Galih dan Fatir dalam kebingungan. Mereka mengikuti gerakan cowok itu dengan mata masing-masing. Mereka mendesah berbarengan ketika mengetahui tujuan Ale sang teman berlari seperti itu.
Ale mengejar Ajeng yang sedang berjalan menuju Gedung A. Cewek itu tampak sendirian, tanpa kedua teman yang biasanya selalu berbarengan ke mana pun pergi. Di sudut hatinya, Galih, yang tidak melihat keberadaan teman Ajeng, merasa kecewa.
Kembali pada pemandangan Ale yang begitu agresif mengejar seorang cewek, Galih berharap dirinya bisa seberani itu. Meski terkadang dirinya dan Fatir keheranan sendiri. Mereka sungguh tidak mengerti istimewanya cewek itu, sehingga Ale rela bertingkah konyol setiap mereka bertemu. Bahkan, di antara teman angkatan pun, pujaan hati sahabat mereka itu hanya terkenal dengan predikat judesnya; menyapa hanya jika disapa lebih dulu, dan tersenyum jika orang lain duluan tersenyum.
“Neng Ajeng, tunggu!”
Ajeng mendesah kesal, dan memutuskan untuk tidak berhenti. Sudah cukup gangguan-gangguan yang dilancarkan cowok itu untuknya. Dia sudah muak! Meskipun ada saat ketika dirinya berterima kasih, hal tersebut tidak serta merta mendiskreditkan kecacatan perilaku cowok itu terhadapnya.
“Tadi diantar siapa?”
Ajeng terperanjat kaget, sehingga membuatnya hampir tersandung papan yang melintang di jembatan (berfungsi untuk menghalangi pengendara motor melewati kawasan parkir Gedung B). Dia berjalan sangat cepat, tidak menyangka cowok itu menyusulnya. Tiba-tiba saja Ajeng berpikir, Ale pasti punya semangat yang tinggi dalam hal mengganggu perempuan.
Ajeng membalas tanpa berbalik. “Bukan urusan kamu!”
Ajeng mendengar Ale terkekeh-kekeh. “Jutek amat si cantik. Lagi PMS, ya?”
Cewek itu malas menggubris. Tanpa menghiraukan Ale, dia kembali berjalan menuju Gedung A. Sebenarnya, urusan di gedung tersebut tidak begitu mendesak. Dia bisa melakukannya kapan pun. Akan tetapi, keberadaan Ale di sekitarnya membuat dia lebih baik berlari ke gedung utama fakultas tersebut. Siapa tahu, cowok itu akan berhenti mengikutinya dan memberi space, agar bisa mengurus sesuatu di sana.
Bukan Ale namanya kalau tidak bisa menahan Ajeng. Cowok itu dengan gesit menariknya, sehingga mereka kini berdiri dengan jarak yang cukup dekat.
“Kamu mau apa, sih!” teriak Ajeng. Dia terkejut, karena cowok itu berani menyentuhnya.
“Mau kamu.” Balasan santai Ale membuat Ajeng tambah geram.
Cewek itu kemudian melepas tangannya yang digenggam Ale dengan kasar. Tatapannya menyalang, menggambarkan amarah yang luar biasa, akumulasi rasa jengkel yang berbulan-bulan ditahannya. Dipicu oleh keberanian Ale menyentuhnya.
“Berani-beraninya, ya, kamu sentuh-sentuh aku! Kamu pikir, kamu siapa?” napasnya tampak memburu, terbukti dari dadanya yang kembang kempis. “Berhenti ganggu aku! Aku muak, tahu, diikutin kamu terus! Bertingkah kayak mahasiswa normal, coba!”
Kali ini, Ale yang terperanjat karena kaget. Pertama kalinya Ajeng berbicara penuh emosi, dan dia tahu, ini bukan pertanda bagus. Namun, itu hanya terjadi beberapa waktu. Sesaat kemudian, cowok itu menebalkan dinding pertahanannya, agar tidak goyah dan tetap berpegang teguh pada pendirian; suatu saat Ajeng akan luluh dan jatuh ke pelukannya.
Ale mencondongkan tubuh ke arah Ajeng untuk menyembunyikan keterkejutannya. Lalu, dengan tatapan mengintimidasi dan senyum lebar, cowok itu berkata, “Jangan terlalu benci sama aku. Nanti repot jadinya kalau berubah jadi cinta.”
Ajeng sudah kepalang dikuasai amarah. Tatapan mengintimidasi Ale tidak membuatnya gentar. Meski haru dia akui, tatapan dan senyuman cowok itu memang mengintimidasi. Dalam benaknya, dia mempertahankan pemikiran bahwa di sini, saat ini, dirinya tidak bersalah. Seharusnya, yang merasa terintimidasi adalah Ale.
Cowok itu harus meminta maaf atas kelakuannya.
“Kamu bahkan nggak merasa bersalah udah megang-megang tanganku. Kamu pikir, aku bisa jatuh cinta sama cowok yang bisa dengan mudah megang-megang tangan cewek tanpa izin, hah?”
Tubuh Ale membeku. Dia harus menjadi lebih kebal akan respons Ajeng terhadap dirinya, tetapi ungkapan yang dilontarkan cewek itu menampar keras nuraninya. Kali ini, dia akui telah gegabah. Tidak seharusnya dia bertindak impulsif dengan menarik tangan Ajeng, agar cewek itu berhenti dan mau menggubrisnya.
“Aku minta maaf. Aku refleks, nggak seharusnya kayak gitu.”
Permintaan maaf Ale membuat Ajeng terdiam. Bukan berarti kemarahannya mereda. Hanya, entah kenapa, laki-laki di hadapannya ini mudah sekali meminta maaf ketika dituntut. Dia jadi kepikiran, apakah dengan menuntut permintaan maaf seperti ini, masalahnya akan selesai? Ajeng bahkan sangsi cowok itu akan berhenti mengganggunya.
“Jangan pernah berani kayak gitu lagi!”
“Kalau kamu izinin, boleh, berarti?”
“Mimpi!”
“Iya, aku mimpi. Mimpi kamu jadi milikku selamanya.”
Ajeng mengerutkan dahi. Seorang cowok seperti Ale percaya pada kata selamanya? Bagaimana bisa? Dia saja tidak memercayai hal itu. Meskipun saling mencintai, tidak ada jaminan sepasang manusia dapat bertahan selamanya.
Ajeng mendekat pada cowok itu. Tubuh Ale yang tinggi membuat Ajeng mendongak, tatapan penuh kemarahan itu kini berganti lebih tenang dan teduh. Ale pun bingung dibuatnya. Semudah itu Ajeng berubah?
“Berhenti ganggu aku. Perasaan kamu untuk aku, kalau benar-benar ada, itu hak kamu. Tapi, aku juga berhak menolak dan mendapat ketenangan.” Cewek itu tersenyum. “Lagi pula, aku udah punya pacar.”
Ale sudah tahu Ajeng punya pacar, tapi kenapa lebih menyesakkan ketika mendengar langsung dari mulutnya? Dia bahkan sudah bertekad untuk bersaing dengan cowok yang sudah berhasil menarik perhatian Ajeng itu. Tapi .... Ah! Gila, sih. Ini cewek kagak ada simpatinya sama sekali ama gue. Ale menggaruk-garuk tenggorokannya. Dia bingung dengan kondisi hatinya sendiri.
Hening beberapa saat. Ajeng merasa ada yang tidak beres dengan tempatnya berdiri. Lalu, dengan ragu dan sangat hati-hati, cewek itu mengedarkan pandangannya.
Astaga! Ajeng berteriak dalam hati.
Orang-orang sudah berkerumun, mengelilingi mereka. Mungkin, tujuan awal mereka kalah menarik oleh perdebatan antara Ale dan Ajeng. Kondisi ini membuat Ajeng menyesal sudah meladeni Ale. Seharusnya dia membiarkan cowok itu berbicara apa pun sendirian dan langsung pergi saja! Kalau sudah seperti ini, bagaimana dia bisa menyelamatkan wajahnya dari teman-teman sefakultas yang menontonnya itu?
Dia sudah menjadi bahan tontonan teman-teman satu fakultas. Seperti pemeran teater yang sedang melakonkan sebuah peran dalam roman picisan. Menggelikan dan sangat memalukan! Bagaimana ini? Bisa-bisa, dia menjadi pembicaraan di mana-mana!
“Aku maunya kamu, bukan cewek lain.” Balasan tegas Ale di kala hening ini memperkeruh suasana hatinya.
Cewek itu mendesah frustrasi atas kekeraskepalaan Ale. Dia sudah terganggu sejak berbulan-bulan lalu. Seandainya masa depan seseorang tidak menjadi taruhan, Ajeng ingin sekali melaporkan Ale dengan tuduhan mengganggu hak privasi. Selain itu, dia juga tidak yakin akan mendapatkan penanganan serius. Belum ada produk Undang-Undang yang dapat menjerat penguntit selain mengancam keselamatan nyawanya. Atau atas tuduhan pencemaran nama baik.
“Aku udah bilang punya pacar, Ale!”
“Enggak peduli! Suami-istri aja masih bisa cerai, apalagi cuman pacaran.”
“Dasar gila! Capek ngomong sama kamu.” Ajeng menghentakkan kaki dengan kasar. Lalu, beranjak bersama dongkol yang bercokol. Dia sudah tidak sanggup menghadapi kegilaan seorang Nalendra.
“Kamu bakal suka sama aku, Jeng! Ingat baik-baik, ya!”
Teriakan penuh optimisme Ale mengiringi langkah panjang-panjang Ajeng. Mahasiswa yang berkerumun pun menyoraki keduanya. Sebagian sudah terbiasa dan hanya tertawa melihat kejadian itu, sebagian lagi yang tidak mengetahui kisah mereka, terbagi ke dalam dua kubu: menuduh Ajeng cewek tidak tahu diri dan sok jual mahal, dan yang mengernyit jijik mendengar pernyataan Ale yang ingin terlihat memaksakan kehendak.
Sementara Ajeng berjalan cepat demi segera keluar dari tempat (menurutnya) laknat tersebut, Ale mengedikkan bahu sambil berlalu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Ia hanya akan membiarkan segalanya beriringan dengan waktu.
***
Ajeng mendengkus kala melihat ponselnya. Tidak ada pesan atau telepon dari Ilham. Sama sekali nol. Di notifications bar-nya hanya menunjukkan pesan dari grup angkatan dan grup yang berisi hanya tiga orang yaitu dirinya, Rita, dan Naura.
Terhitung empat hari sejak pertengkaran itu, Ilham belum juga menghubungi. Ajeng sendiri berpikir bahwa dirinya perlu untuk bersikap egois. Dia tidak bisa ters-terusan menjadi pihak mengerti. Sesekali, Ajeng ingin Ilham memahaminya. Ingin tahu rasanya menjadi pihak dimengerti dan dimaklumi.
Untuk membuang sejenak kesedihannya, cewek itu membuka group chat yang sudah menumpuk. Rita tampaknya sedang menggoda Naura, karena temannya yang satu itu sudah resmi berpacaran dengan kakak tingkat setelah melakukan pendekatan selama hampir enam bulan.
Rita: Pajak jadi bos
Naura: Siapa yang jadian?
Rita: Ya lau, lah. Siapa lagi? Nggak mungkin Ajeng. Apalagi gue
Naura: Kok, lu tahu, sih?
Rita: Tau, lah. Kalo lu lupa, tu abang-abang tingkat minta nomor lu ke gue
Naura: Dia cerita ke lu?
Rita: Iya, segala pake emot penuh lope lope saking senengnya tuh kang siomay
Naura: Seenak jidat banget lu ngatain orang kang siomay
Rita: Ciyeee pacarnya gak terima. Hahahaha
Ajeng tertawa melihat isi ruang obrolan tersebut. Dia ikut senang untuk Naura. Temannya itu tampak sudah nyaman dengan laki-laki yang merupakan kakak tingkat mereka yang sedang menulis skripsi itu.
Ajeng jadi ingat ketika Naura marah pada Rita, karena memberikan nomornya pada orang lain tanpa izin terlebih dahulu. Setelah diyakinkan bahwa cowok itu baik dan tipe Naura sekali, barulah cewek itu mau untuk sekadar membalas sapaannya. Berjalan beberapa hari, Naura rupanya mulai nyaman. Seolah menemukan rekan diskusi yang asyik untuk diajak bertukar pendapat.
Ajeng: Selamat, Ra! Aku ikut seneng!
Naura: Seneng, sih, seneng. Tapi jangan kayak Rita, ya. Dateng-dateng nodong pajak
Rita: Gue lagi yang salah. Padahal udah bantuin
Ajeng: Hahaha! Nggak, kok. Aku cuman mau minta juga kalau Rita dijajanin
Naura: Gak ada akhlak emang kalian berdua
Ajeng kembali tergelak. Dia bersyukur karena mempunyai sahabat seperti Rita dan Naura. mereka selalu bisa membuatnya tertawa di saat seperti ini. Meski begitu, rasanya pasti akan sangat membahagiakan jika mempunyai pasangan yang juga sama pengertiannya.
Seandainya Ilham seperti itu ....