Ajeng berkeliling sendirian di Kawasan Simpang Lima. Matanya sibuk menelaah satu per satu stand yang menjajakan makanan. Setiap stand memiliki sponsor yang berbeda. Memang benar, acara ini disponsori banyak sekali perusahaan yang bergerak di bidang kuliner.
Dalam keadaan biasa, Ajeng akan sangat senang berada di sini. Beragam jenis makanan dengan harga yang bervariasi akan membangkitkan selera makannya. Akan tetapi, kali ini dia tidak merasa senang sama sekali. Pertengkaran dengan Ilham sebelum berangkat tadi membuatnya seolah datang kemari sekadar untuk merenung. Berpikir di antara lautan manusia yang memenuhi Kawasan Simpang Lima.
Sebenarnya, bisa saja Ajeng berdiam diri di rumah. Akan tetapi, rasanya diam saja tidak akan bisa menenangkan pikirannya. Jadi, dengan memelas pada Wira, sang kakak, Ajeng meminta diantar ke halte Transsemarang terdekat.
“Mas antar sampai bawah aja,” kata Wira ketika Ajeng meminta diantar.
Ajeng menggelengkan kepala keras-keras. “Nggak usah, Mas. Kiani mau naik bus aja. Mas Wira, kan, harus berangkat ke Jakarta nanti malam. Capek kalau antar Kiani dulu.”
Di rumah, Ajeng dipanggil Kiani. Terkadang Kia. Hanya untuk lingkup keluarga. Cewek itu tidak membiarkan orang lain memanggilnya seperti itu. Rasanya sangat aneh. Pernah, Rita memanggilnya Kiani setelah pertama kali main ke rumahnya. Temannya itu mendengar panggilan yang disematkan sang kakak. Ajeng merinding. Dia merasa asing terhadap panggilannya sendiri.
Ajeng menghela napas perlahan. Lalu, dengan penuh keyakinan, dia melangkah menunju stand yang menjual satai. Satai adalah makanan favoritnya. Dalam semingu, cewek itu bisa membeli satai lima kali. Satai ayam, sapi, kambing, satai taichan, semua itu bergantian dibelinya. Di antara semuanya, Ajeng paling suka satai ayam. Tidak ada alasan khusus, hanya suka saja memakannya.
Dia ingin melupakan sejenak prahara yang menimpanya tadi. Bagaimanapun, dia sangat ingin memanjakan diri sendiri. Tidak ingin menggantungkan kebahagiaan pada orang lain, terutama pada pacar yang sulit sekali sekadar diajak bertemu.
“Saya mau sate sapinya, ya, Mbak.” Ajeng memberikan senyum terbaiknya pada penjaga stand yang tampak sangat kelelahan.
Antrean di stand ini memang lumayan banyak. Wajar jika penjualnya kelihatan sangat lelah. Apalagi, yang jaga hanya dua orang.
“Antri agak banyak nggak apa-apa, Mbak?”
“Nggak apa-apa, kok. Satu porsi, ya.”
Penjaga stand mengangguk. “Ditunggu, ya, Mbak.”
Sambil menunggu, Ajeng memperhatikan sekitarnya. Banyak sekali orang yang datang bersama pasangan masing-masing. Sebenarnya, dia bukan tipe cewek yang bisa dengan nyaman bepergian sendiri. Akan tetapi, pertengkaran tadi sore membuatnya berani-berani saja. Biasanya, dia akan mengajak Rita atau Naura. Kali ini, tekadnya sangat bulat. Harus pergi sendiri.
Ketika pikirannya berkelana, Ajeng dikejutkan oleh tepukan seseorang di bahunya. Sangat terkejut, mengingat dia sendirian di sini. Bagaimana kalau orang jahat yang menepuknya itu? Akan tetapi, ketakutan itu dia enyahkan. Berganti menjadi rasa kesal dan sesal. Kesal, karena telah bertemu orang itu. Sesal, karena telah nekat pergi sendiri.
“Halo, Ajeng! Sendirian, ya?”
Ajeng mendelik. Menolak untuk merespons.
“Jodoh behaviour banget, nggak, sih? Ini kebetulan, lho. Aku nggak ngikutin kamu.”
Cengiran lebar di wajah orang yang menyapa itu membuat Ajeng semakin kesal. Kakinya dihentak-hentak, menandakan bahwa dia sudah tidak sabar. Ingin segera enyah dari hadapan orang ini.
Bahkan di tempat ramai pun, kenapa seorang Nalendra Al-Ghifari dapat menemukannya? Tempat ini luas dan dipenuhi lautan manusia, kenapa cowok itu bisa melihatnya?
“Aku temenin, ya? Kasihan kalau kamu sendirian.”
“Nggak butuh!”
“Ih, jangan ditolak atuh. Udah malem. Aku temenin aja, ya?”
Ajeng tidak merespons lagi. Bukan. Dia bukan menyerah. Malas saja meladeni si pengganggu ini. Lagi pula, bisa tambah naik pitam kalau dia merespons cowok itu terus-terusan.
Beruntung, satai pesanannya sudah jadi, sehingga Ajeng bisa buru-buru pergi dari sana. Pikirnya, menghindari seorang Nalendra di antara lautan manusia seperti ini pasti sangat mudah. Terlalu banyak orang dan sudah malam. Ale tidak mungkin semudah itu mengawasi pergerakannya.
Akan tetapi, perkiraannya salah. Sampai dia keluar dari arena festival kuliner tersebut, Nalendra Al-Ghifari masih mengikutinya. Ada satu sisi dalam dirinya yang merasa tenang ketika berjalan sendirian malam-malam seperti ini, dan diikuti orang yang dikenalnya. Meski bergitu, dia tetap waspada, karena yang mengikutinya ini bukan orang yang dikenal biasa, melainkan pengganggu.
“Nggak bakal ada busnya, Jeng. Udah malam. Bareng aku aja, yuk?”
Ajeng mendelik kesal. “Nggak perlu.”
“Ya udah, aku tungguin sampai kamu dapat bus, ya?”
Dalam hati, Ajeng berterima kasih. Meskipun banyak orang lain juga yang menunggu di halte Simpan g Lima ini, dia bersyukur ada yang menemaninya. Setidaknya, ada seseorang yang bisa dimintai tolong jika terjadi sesuatu.
“Terserah,” jawabnya pendek. Tidak menunjukkan bahwa dirinya berterima kasih pada Ale malam ini.
Pikirannya kemudian melayang pada sang pacar. Apakah Ilham akan khawatir seperti ini jika tahu dirinya nekat pergi sendiri? Apakah Ilham akan menyusulnya?
“Udah jam delapan. Dari Ngesrep ke dalamnya mau naik apa? Anter aja, yuk?” Ale bersuara lagi. Membuyarkan lamunan Ajeng.
Benar juga. Ajeng lupa bahwa bus menuju kawasan kampusnya hanya beroperasi sampai pukul tujuh. Itu pun sudah yang paling akhir.
“Ada ojol.”
“Udah, ayo! Aku anter aja.”
“Jangan maksa, dong!”
Respons Ajeng kali ini agak keras dan tampak tidak bisa diganggu gugat. Ale sebenarnya cukup terkejut. Cewek itu memang terbiasa bersikap judes, tapi tidak pernah sampai seperti ini. Seolah-olah memang sedang memiliki beban tersendiri.
“Oke. Maaf.”
Mata Ajeng berkaca-kaca. Dia segera berpaling ke arah lain, agar Ale tidak melihatnya menangis. Permintaan maaf dari cowok itu membuatnya kembali memikirkan seandainya Ilham meminta maaf setulus itu. Meminta maaf karena telah melukainya. Bukan untuk membuat dirinya merasa lebih baik.
Malam itu, Ajeng pulang tanpa mengetahui bahwa Nalendra mengikutinya. Menghafalkan nomor lambung dan nomor polisi bus yang ditumpanginya, mengikuti sampai dia mendapat ojek daring. Setelah itu, barulah Ale pulang ke kosnya.
***
Cowok itu merebahkan tubuh di atas karpet. Sebenarnya ia berniat menunggu waktu rapat tiba dengan duduk-duduk saja di tempat tongkrongan favoritnya. Namun, hari ini jadwal kuliahnya selesai pukul 10.00 WIB. Terlalu lama untuk sekadar berdiam diri tanpa melakukan apa pun. Jadi, ia memutuskan untuk pulang dan melanjutkan bacaannya.
Matanya mulai sayu. Tulisan dalam buku biografi B.J. Habibie pun memburam. Lalu secara perlahan netra itu menutup, menghilangkan kesadarannya. Ia jatuh tertidur, dan terbangun oleh dering ponsel. Sambil mengumpulkan kesadaran, Ale menjawab panggilan tanpa melihat nama si pemanggil.
Suaranya yang serak khas orang bangun tidur membuat Galih di seberang sana berdecak, lalu mengomel karena kesal. “Anjir, lah! Lu enak-enakan tidur sementara kami di sini rapat ngalor-ngidul. Ini udah setengah lima, woy!”
Ale melompat, secara otomatis duduk dengan tegak. Cowok itu mengucek mata kemudian melirik jam bergambar klub sepak bola Liverpool yang menempel di dinding, lalu mendesah kasar. “Sori, Gal. Ketiduran gue.”
“Tau, Le, tau. Bodo amat. Sekarang yang penting lu ke sini. Gercep, ya!”
“Udah ngumpul semua?” tanya Ale sambil buru-buru mengambil kunci motor di atas meja belajar.
“Iya.”
“Ajeng?”
“Bangun tidur aja langsung Ajeng yang ditanyain. Dasar, Hantu Kuburan!” Galih mendesis kesal, sedangkan Ale tertawa.
“Sereman juga hantu di kosan lu, Gal.” Ale membayangkan wajah pucat Galih ketika mengatakan hal tersebut.
Temannya yang satu ini memang lebih penakut dari segala jenis penakut yang ada di muka bumi. Galih bahkan tidak mau siapa pun menyebut secara spesifik jenis-jenis dedemit yang eksis di Indonesia itu.
“Jangan bercanda, b*****t! Di kos gue aman. Orang yang punya aja Pak Haji Imron.”
Ale tertawa keras. Sambil mencari sandal jepit berwarna biru kesayangannya, cowok itu membalas, “Hantu kagak takut sama Pak Haji, Gal. Buktinya, kemarin gue liat ada cewek di kamar mandi. Pakaiannya kayak noni-noni Belanda gitu.”
“Mampus, Le, mampus! Malem ini sampai waktu yang kagak ditentukan, gue tidur di kos lu pokoknya. Nggak mau tau!”
Galih menutup sambungan secara sepihak dan Ale tertawa semakin keras. Hantu perempuan itu hanya akal-akalannya saja. Sebenarnya, bentuk hantu saja Ale tak pernah melihatnya secara langsung. Lagi pula, sudah seminggu ini Ale tidak berkunjung ke sana. Jadi, bagaimana mungkin ia bisa mengetahui ada makhlus halus atau tidak.
Bergegas menuju parkiran kos di lantai dasar, kamarnya ada di lantai dua omong-omong, Ale segera memacu Mio hitamnya. Ia membelah jalanan Ngesrep yang sedang macet-macetnya. Matanya terasa perih akibat terpaan angin. Terlebih, ia juga tidak sempat cuci muka. Alhasil, cowok itu menjalankan motor dengan kecepatan sedang sambil mengucek mata, sekaligus membersihkan kotorannya.
Sesampainya di parkiran mobil khusus dosen, yang sekarang sudah sepi, Ale segara mengunci motor lalu tergopoh-gopoh menghampiri orang-orang yag berkumpul membentuk lingkaran di depan perpustakaan FIB yang sudah tutup. Ada lebih dari lima puluh orang di sana.
Netra hitamnya membidik sedikit celah di samping kanan pujaan hatinya. Tanpa ba-bi-bu, Ale langsung duduk di sana. sementara itu, Ajeng yang merasa hari ini tak bisa menghindar pun hanya mampu mendesis kesal.
“Assalamualaikum!” teriaknya.
Cowok itu menatap perempuan gemuk yang memakai kerudung biru, kemudian memasang wajah bersalah yang kentara sekali dibuat-buat. “Sori telat, Bu Komting.” Ale cengar-cengir sambil merapikan rambutnya.
“Tangi turu to kowe?[1]” sinis perempuan yang dipanggil Bu Komting tersebut.
“Kok, bisa tau, sih?” Cowok itu bercanda sambil menaik-naikkan alisnya jenaka.
“Mata lu belekan, k*****t!” seloroh Galih.
Ale membulatkan matanya. “Demi apa, lu!” pekiknya sambil membersihkan mata. Padahal, di jalan sudah dikucek-kucek, pikirnya.
“Najis, yang begini mau ngegebet temen gue,” timpal Rita yang duduk di samping kiri Ajeng.
“Malu sama Ajeng, dih.” Deri tak mau kalah.
“Ya, ampun!” Rita menepuk jidat. “Pantesan aja temen gue tercinta ini nggak mau lu deketin. Lu aja jorok banget gitu jadi cowok.”
Ale mendengus kesal dan menatap Rika dengan tajam. “Yang penting ganteng,” belanya.
Ajeng yang duduk di sampingnya mencibir. “Ganteng kalau otak nggak ada isinya percuma, Le.”
Orang-orang semakin terbahak, sedangkan Ale terkejut sendiri. Ini Ajeng yang bicara, ‘kan? Kenapa rasanya berbeda sekali? Kalau Rita yang mengejek, ia menganggap hal itu biasa, tapi ini Ajeng. Ajeng. Ajeng pujaan hatinya. Gadis itu baru saja mengejeknya. Mengatai otaknya tak berisi.
Ya, Allah, harga diri gue. Cowok itu membatin dengan tatapan terkejut pada Ajeng.
“Anjir! Digituin sama pujaan hati. Sakitnya tuh di mana, Le?” celetuk Aldi tiba-tiba.
“Sakit, sih, tapi tak berdarah.” Rita menambahi.
“Otakku ada isinya, kok.” Ale berusaha membela diri sambil memanyunkan bibirnya. “Buktinya, kamu tiap saat lari-lari di kepalaku.”
Rasa dongkol akibat ulah Ale yang mengganggu rapat MSG kemarin masih bercokol di hatinya. Sekarang ditambah lagi dengan kelakuan absurd-nya, yang membuat Ajeng lagi-lagi menjadi bahan olok-olokan satu angkatan. Ale benar-benar mengesalkan!
“Sudah, teman-teman. Kita mulai lagi rapatnya. Tolong dikondisikan, ya!” Gadis yang dipanggil Bu Komting oleh Ale itu mulai bersuara.
“Oke,” jawab peserta rapat secara bersamaan.
Beberapa saat kemudian kondisi mulai terkendali. Peserta rapat sangat menghargai ketua angkatan mereka. Plus, kegiatan ini akan cepat selesai jika dilaksanakan secara kondusif.
“Baik. Tadi sampai sekretaris, ya? Sekarang Seksi Humas. Ada Nalendra, Derian, Aldi, dan Ajeng.”
Ajeng terkesiap. Namanya ada di jajaran anggota Humas bersama Nalendra. Tuhan pasti sedang bercanda. Ah, tidak, bukan Tuhan. Orang yang menyusun kepanitiaan itu pasti sedang mabuk. Atau menyusunnya sambil tidur, sehingga menempatkan Ajeng dan Ale bersamaan di Humas.
Ajeng merasa dirinya akan merana sepanjang waktu. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan hari-hari yang akan dijalaninya bersama Ale. Gadis itu berpikir, mungkinkah pembagian tugas ini diatur oleh Ale sendiri? Mengingat Ale dan komting berteman cukup dekat.
“Tujuan KKL-nya udah ditentuin?” tanya Ale.
Berbeda dengan Ajeng yang merana, Ale tidak terpengaruh sama sekali. sesungguhnya, kecurigaan Ajeng tepat sasaran. Ale memang mengatur semuanya, memohon pada komting mereka agar menempatkan Ajeng dan dirinya di Humas.
“Udah, lah. Sesuai sama tema semester ini. Kita ke Yogyakarta, terus Jakarta, terakhir Bandung. Nyari arsip.” Kali ini, Nuning Fabiana—Ketua Angkatan—menjawab.
“Oh, gitu.”
Respons yang singkat dari cowok itu cukup menunjukkan ia tak ingin berkomentar apa-apa. Baginya, yang paling penting saat ini adalah sang komting mengabulkan permintaannya. Ia yakin setelah hari ini, akan banyak hari yang mereka berdua lalui bersama.
Allah selalu bersama orang yang berusaha, gumamnya dalam hati sambil mengulum senyum.
Ale tersenyum penuh arti sambil menatap Ajeng sementara Nuning kembali membacakan susunan kepanitiaan KKL.
“Kita setim, lho,” bisiknya.
Ajeng diam. Ia sudah berjanji untuk tidak menghiraukan Ale lagi.
“Nanti kamu boncengan sama aku aja kalau mau ke mana-mana.”
Gadis itu masih diam. Ia berpikir, Ale akan berhenti sendiri kalau diabaikan. Sayang sekali, gangguan-gangguan itu terus saja mampir ke telinganya. Ajeng geram, kemudian menoleh ke arah Ale dengan cepat. Tatapan tajamnya menghunus tepat ke netra cowok itu.
“Diem, Nalendra!”
Ale terperangah. Namun, sesaat kemudian tersenyum sumringah. Binaran di matanya menandakan betapa cowok itu tengah dilanda bahagia. Tentu saja. Mendengar Ajeng menyebut nama depannya, bukan nama panggilan, membuat kupu-kupu di perutnya beterbangan, seolah telinganya disuguhi melodi yang sangat indah.
“Iya, aku diem. Neng Ajeng sama kang Ale pokoknya nanti kalau mau menjalankan tugas negara ini.”
Ajeng speechless. Apakah tidak ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk membuat cowok ini jera? Kalau sudah begini, rasanya Ajeng ingin menenggelamkan diri saja ke rawa-rawa.
Tiba-tiba saja, entah kenapa, dia mengingat kejadian beberapa hari lalu. Ketika mereka bertemu di festival makanan itu. Cewek itu cukup terkejut mengetahui si pengganggu tidak memaksanya, agar mau diantar pulang. Lebih terkejut lagi ketika ujung matanya melihat Ale sudah menunggu di sekitaran halte tempatnya turun.
Cewek itu berterima kasih. Mendapatkan ganguan seperti ini tidak melunturkan rasa terima kasihnya. Oleh karena itu, ketika rapat selesai, dia berencana akan mengucapkan terima kasih secara langsung.
[1] Bangun tidur, ‘kan, kamu?