Chapter 6

2068 Words
Ale baru saja rebahan di atas kasur tipisnya ketika ponselnya berdering; pesan w******p dari Arin, adiknya. Cowok itu menantikan laporan apa lagi yang akan dikirim sang adik. Kakak beradik itu sudah berjanji untuk selalu melaporkan apa pun, terutama Arin, agar adiknya itu selalu memberitahu kondisi rumah. Pernah, satu kali, bundanya sakit sampai dirawat selama tiga hari. Tidak ada yang memberitahu, karena dilarang oleh bunda. Dia diceritakan Arin seminggu setelah bundanya keluar dan dalam masa pemulihan. Ale sempat marah, tapi kemudian sadar bahwa keluarganya melakukan itu agar tidak mengganggu konsentrasi. Alasan utamanya, Ale sedang ujian akhir semester. Tanpa menunggu pengumuman remedial, dia segera pulang ke Bandung.     Narin Ratu Gladis: Aa lagi apa?   Nalendra Al-Ghifari: Lagi rebahan Nalendra Al-Ghifari: Atu lagi apa?   Narin Ratu Gladis: AA GHIFAR IH Narin Ratu Gladis: Udah dibilangin jangan panggil Atu!   Ale tertawa. Ia sudah menduga Arin akan bereaksi seperti itu jika dipanggil Atu. Atu dan Ghifar adalah nama kecil mereka, yang tak ingin lagi keduanya gunakan setelah kakak-beradik itu beranjak remaja. Katanya, lebih bagus dipanggil seperti teman-teman sekolah memanggil mereka. Namun, tetap saja, Ale dan Arin tidak bisa menghilangkan panggilan itu begitu saja.   Narin Ratu Gladi: Arin lagi makan di KFC sama Nda nih Narin Ratu Gladis: sent a photo   Girls day out, gumamnya dalam hati. Di keluarga mereka ada kebiasaan pergi ke luar, ke mana pun, hanya berdua saja. Girls day out untuk bunda dan adiknya, dan boys day out untuk dia dan sang papa. Ide ini muncul dari papanya ketika Ale duduk di bangku SMP. Katanya, supaya Ale dan Arin tidak mencari tempat yang salah untuk mencurahkan keluh dan kesah. Gagasan itu cukup berhasil. Ale dan Arin tumbuh menjadi anak yang dekat dengan orang tua. Menjadikan orang tua tujuan utama untuk bercerita. Kejadian-kejadian di sekolah selalu diceritakan pada hari itu.   Nalendra Al-Ghifari: Bawa motor apa mobil? Kamu yang bawa, kan? Nalendra Al-Ghifari: Salam kangen peluk cium dari anaknya yang paling ganteng buat Bunda Yani   Gara-gara Arin mengirim foto bundanya yang memakai gamis berwarna hijau sedang memakan ayam goreng di KFC, Ale jadi semakin ingin mudik. Andai saja UNDIP di Jatinangor, sudah pasti dia pulang seminggu sekali. Ale memejamkan mata sambil menunggu balasan dari Arin. Ponselnya ditaruh di atas d**a kemudian bersedekap. Pemuda itu menyunggingkan senyuman khas orang jatuh cinta ketika paras cantik Ajeng berkelebat di benaknya. Benar. Ale memang sedang terjatuh ke dalam kubangan rasa yang disebut cinta, sehingga tak ingin malam datang menggantikan siang. Ale juga berharap Sabtu dan Minggu menghilang dari jajaran hari dalam kalender, agar dia bisa melihatnya tanpa terhalang tanggal merah. Walau terkadang kesal karena selalu ditolak, Ale tidak pernah  berpikir untuk berhenti. Entah dari mana datangnya, tetapi keyakinan itu membulat di hati dan pikirannya; bahwa Ajeng pantas untuk diperjuangkan. Cowok itu terperanjat kaget kala ponselnya kembali berdering, lalu mengusap wajah dengan kasar.   Narin Ratu Gladis: Sent a photo Narin Ratu Gladis: Kata bunda gak usah alay. Narin Ratu Gladi: Terus katanya, sekali lagi A Ghifar manggil Bunda Yani, jatah bulan depan bakal dipotong banyak   Alih-alih kesal karena diancam dengan pemotongan uang jajan, Ale tertawa saja. Bundanya memang kerap kali protes jika dipanggil Bunda Yani. Sering mengancam juga, tapi tidak pernah dilaksanakan. Bunda Yani tidak akan tega membiarkan anak-anaknya kekurangan uang jajan, apalagi yang sedang jauh dari rumah. Jangankan merantau seperti Ale, Arin mengikuti study tour ke Yogyakarta selama satu minggu saja sudah dibekali macam-macam; selimut, pakaian hangat, snack, dan masih banyak lagi. Uang sudah jangan ditanyakan. Bunda Yani selalu tepat waktu mengisi rekening anak-anaknya.   Nalendra Al-Ghifari: Ya udah. Aa mandi terus tidur, ya. Nalendra Al-Ghifari: Titip salam buat Papa juga   *** Keesokan harinya, ketika ia baru saja turun dari Mio hitam kesayangan yang selalu menemaninya sejak duduk di tingkat pertama SMA, wajah Ale berbinar seketika. Tuhan memang tahu cara membahagiakan hamba-Nya, pikir cowok itu. Di hadapannya, Ajeng dan beberapa orang berseragam biru sedang berjalan menuju Gedung A. Cowok itu baru tahu belakangan bahwa Ajeng tergabung dalam salah satu organisasi di kampusnya, yang berhubungan dengan kelautan. Ale menyisir rambut dengan jari, merapikan kemeja yang warna birunya sudah belel, lalu mulai berjalan mengikuti gerombolan itu. Melihat dari banyaknya orang yang mengenakan pakaian dinas lapangan (PDL), ia yakin bahwa mereka akan mengadakan rapat penting di lobi. Setiap langkahnya diiringi senyuman lebar khas Nalendra Al-Ghifari si tukang bolos. Tak lupa, dia juga menyapa siapa saja yang berpapasan. Pemuda itu mempercepat langkahnya saat melihat sebuah lingkaran berwarna biru telah terbentuk di lobi. Ia bergegas menghampiri kerumunan itu, mendorong seorang junior yang akan duduk di samping Ajeng. Anggota organisasi tersebut mendesah kasar menyaksikan tingkah Ale. Mereka sudah terbiasa mendapatkan tontonan semacam ini, tapi sekarang yang semua orang inginkan adalah kesadaran cowok untuk enyah dari kelompok. Seminggu ke depan, mereka akan mengadakan workshop yang berhubungan dengan pembinaan desa. Membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan tenaga ekstra, agar acara berjalan sesuai harapan, dan kehadiran Ale hanya akan memperlambatnya. Rapat untuk pembinaan desa biasanya menimbulkan diskusi yang cukup alot. Setiap anggota ingin memberikan yang terbaik, sehingga sulit untuk mencapai kata sepakat. “Halo, Ajeng.” Ale menyapa tanpa peduli tatapan malas peserta rapat lainnya. Satu dari banyak kebiasaan mengganggu yang Ale lakukan, yang sangat dibenci Ajeng adalah mengacau di setiap dirinya melakukan rapat dengan banyak orang. Dalam pembahasan penting dan sangat krusial pula. Berkat cowok asal Bandung ini, dia selalu menjadi bulan-bulanan seluruh anggota. Mereka menerornya dengan dorongan agar menerima perasaan Ale saja. Tidah hanya itu, ada juga yang sinis, karena ternyata Ale memiliki penggemar. “Kasian, Mbak Ajeng. Mas Ale udah banget-banget gitu kayaknya suka sama Mbak Ajeng.” “Nggak baik nolak cogan macam Bang Ale, Jeng.” “Deket-deket dulu aja, Jeng. Nggak usah dipikirin dulu pacarnya. Selingkuh dikit mah nggak apa-apa.” Omongan-omongan lain bahkan banyak yang lebih s***s daripada itu, yang membuat telinganya pengang. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan Ale selain bersikap dingin dan berdoa, agar pemuda itu segera kelelahan. Lelah mengganggunya. Lelah mendapatkan sikap dingin darinya. Lelah meneror Ajeng di setiap kesempatan. “Rapatnya kubuka dulu, ya,” ujar Ajeng. Gadis itu mengabaikan Ale yang menatapnya dari samping meskipun sebenarnya merasa risih dan sangat kesal. Menurutnya, jika ia meladeni si pembuat onar ini, pertemuan yang sudah dirancang jauh-jauh hari ini akan kacau. Diskusi pembinaan desa pun terancam gagal. “Jangan buka-bukaan di sini, ah, Cantik. Nanti mereka pengin, lagi.” Ujaran Ale sontak membuat anggota rapat melupakan rencana awal untuk berkumpul di tempat ini. Mereka bersorak, menyuarakan kegelian terhadap  gombalan cowok itu.  “Sembarangan!” hardik Ajeng. “Sana, pergi! Kami mau rapat penting, jangan ganggu-ganggu!” Ajeng memberikan tatapan menusuk. Berharap, setidakany, sedikit saja, Nalendra Al-Ghifari bersedia memberinya ruang. Supaya hal yang menjadi kesukaannya ini tidak berantakan. Agar proyek yang dirancang sejak lama ini berjalan tanpa hambatan. Cowok itu sudah bisa ditolerir lagi. Kekesalannnya sudah di ambang batas, terbukti dari wajahnya yang berubah merah padam. “Pergi dulu, Le.” Abdul menengahi.  Sebagai ketua, cowok itu mengerti kondisi anak buahnya. “Entar kalau udah kelar, boleh lu ganggu tuh gebetan lu. Kita lagi urgent banget soalnya, buat persiapan diskusi yang gue bilang waktu itu.” “Apaan, dah, Bedul? Sedarurat apa, sih, urusan kalian? Orang gue mau deket-deket cewek gue doang.” “Kalau gak mau pergi, diem! Aku mau buka rapat,” timpal Ajeng garang. Wajah Ale berubah jenaka. “Udah kubilang jangan buka-bukaan di sini,” kekehnya. Cowok itu mengangkat-angkat alisnya. Ajeng menghela napas lelah. Rapat saja belum dimulai, belum ada perdebatan antaranggota sama sekali, tapi tenaganya terasa seperti sudah dikuras habis-habisan. Dia berdoa dalam hati, semoga kepalanya bisa tetap diajak waras dalam rapat ini. “Nanti pulangnya bareng aku, ya?” ajak Ale. Ini kali kedua laki-laki itu mengajaknya pulang bareng. “Males!” Ajeng menjawab dengan ketus, memecahkan tawa yang sedari tadi ditahan oleh yang lainnya. “Neng Ajeng mau Akang Ale gombalin, nggak?” “Pergi,” desis Ajeng pelan, tapi tegas. Napas gadis itu memburu, dan kesabarannya sudah berada di ambang batas. Selama ini dia bisa menahannya, tapi kali ini Ale benar-benar kelewatan. Mengumpulkan orang-orang dari beberapa angkatan, beberapa kelas, dengan jadwal yang berbeda-beda dalam satu waktu seperti ini sangat sulit. Kalau sampai gagal melakukan diskusi hanya karena cowok pengganggu ini, rasa-rasanya dia ingin sekali melenyapkannya. “Pergi. sekarang. juga.” Ajeng memberi tekanan pada setiap kata, dengan harapan agar Ale menyadari bahwa saat ini mood-nya sudah terjun ke dasar bumi. Ale mengambil ponsel dari saku kemeja berwarna cokelat yang ia kenakan untuk melihat jam, lalu cemberut setelahnya. Sudah saatnya masuk kelas! Meski tidak rela kedekatannya dengan Ajeng harus segera diakhiri, cowok itu tetap berdiri. Bermaksud pergi. Namun, dia pergi bukan atas keinginan Ajeng. Melainkan keinginannya sendiri. Harus pergi, karena kelas sebentar lagi akan dimulai. Cowok itu tersenyum tipis. “Pimpin rapat yang benar, biar anak-anak kita nanti ikut pintar kayak kamu,” tuturnya sambil mengacak pelan rambut sang tambatan hati. Ajeng menengadah cepat, membelalakkan mata dengan penuh emosi. Wajahnya memerah. Anak, katanya? Cowok  seumuran Ale sudah membicarakan anak? Ajeng memekik dalam hati. Kepada orang yang bukan siapa-siapanya pula? Ajeng jadi ingin sekali membelah kepala Ale dan mengeluarkan isinya. Lalu, mengacak-ngacak isi kepala itu, agar tersisa hal yang waras-waras saja. “Pergi, pergi aja! Jangan ngmong sembarangan. Dasar playboy kelas teri!” *** Ajeng mematut diri di depan cermin besar yang terletak di dekat kamarnya. Long dress berwarna biru dengan motif polkadot menggantung indah pada tubuh. Dipadukan dengan blazer dan sneaker putih. Rambut sebahunya diikat dengan gaya buntut kuda. Tidak lupa, senyum manis yang secara konstan menghiasi wajah cantiknya. Memancarkan aura kecantikan yang takbiasa. Kemarin sore, Ilham menelepon Ajeng. Mengajaknya keluar untuk sekadar mengunjungi festival makanan di kawasan Simpang Lima. Ajeng sangat antusias. Jarang sekali pacarnya itu mengajak pergi. Jadi, sore ini, dia menyiapkan penampilan terbaik. Pilihannya jatuh pada long dress tersebut, karena dirinya meminta untuk berangkat menggunakan Transsemarang saja. Bermaksud supaya lebih santai dan memiliki waktu yang banyak untuk mengobrol. Saking antusiasnya, Ajeng bahkan tersenyum saja ketika sang kakak menggodanya. Mengatakan bahwa mandi sore bukan merupakan kebiasaan seorang Nilakandi, karena cewek itu biasa mandi ketika menjelang isya. Di sela antusiasme itu, ponsel Ajeng berdering. Senyumnya kian melebar ketika dilihatnya nama Ilham tertera di sana. “Halo,” sapanya. “Yang, aku minta maaf.” Hanya dengan kalimat itu, mood Ajeng amblas sampai ke dasar jurang paling dalam. Wajah yang sedari tadi cerah itu berubah muram. Bahu yang tadinya tegak, kini merosot. Perasaannya seolah dipermainkan. Dalam kepalanya, dia memikirkan alasan apa lagi yang kali ini dibawa oleh Ilham. Tugas apa lagi yang menyita waktu pacarnya itu sampai-sampai membatalkan janji yang sudah dibuat sejak kemarin sore? “Kenapa?” Dia bertanya dengan singkat. Sambil menahan sesak akibat kesal. “Kelompok aku ternyata sore ini turun, Yang. Aku nggak mungkin ninggalin mereka.” “Gitu, ya?” Ajeng tersenyum. Senyum yang amat dipaksakan. Senyum yang mengandung banyak kesedihan. Senyum khas seseorang yang telah berkali-kali dikecewakan. “Ya, udah. Aku nggak bisa apa-apa kalau kayak gitu.” “Maaf, ya, Sayang?” Ajeng dapat mendengar penyesalan dari nada bicara Ilham. Namun, dia takdapat mengartikan penyesalan itu sungguhan atau ala kadarnya saja, agar cowoknya itu merasa baik-baik saja setelah membatalkan janji. Sungguh, cewek itu ingin sekali berbaik sangka. Bagaimanapun, Ilham sudah meminta maaf. Akan tetapi, pembatalan janji ini sudah membuatnya kecewa. Lagi dan lagi. “Santai aja, Yang. Aku udah terbiasa, kok. Hehehe ....” Ajeng tidak bermaksud menyindir atau membuat Ilham semakin merasa bersalah. Dia hanya ingin mengungkapkan bahwa kejadian seperti ini sudah biasa dialaminya. Dan seringnya, Ilham pihak pembuat janji, sedangkan Ajeng pihak yang menerima pembatalan janji yang dibuat pacarnya itu. Akan tetapi, sepertinya, peneriman cowok itu berbeda. “Aku udah minta maaf, Yang. Kamu kayaknya nggak perlu nyindir aku kayak gitu, deh.” Cewek itu mengehela napas yang terasa berat, lalu mengembuskannya secara perlahan. Dalam situasi seperti ini, dirinya selalu berubah menjadi pihak yang disalahkan. Percakapan semacam ini selalu diakkhiri dengan Ilham yang tersinggung, lalu dirinya yang meminta maaf. Kali ini, Ajeng ingin egois. Dia tidak akan meminta maaf. “Kamu selalu kayak gitu. Wajar, dong, kalau aku bilang udah biasa. Aku juga nggak berniat nyindir kamu. Itu kamu aja, kali, yang ngerasa.” “Gitu, Yang? Jelas-jelas cara kamu ngomong itu nyindir aku. Aku udah minta maaf, dan kamu malah ngebikin aku makin ngerasa bersalah.” Nada bicara Ilham naik satu oktaf, dan Ajeng tidak menyukai itu. Ini memang bukan pertengkaran pertama mereka, tapi rasanya masih selalu menyesakkan. Dadanya serasa ditimpa batu besar setiap kali mereka bertengkar. Sungguh menyakitkan. “Kamu kenapa, sih? Kalau kamu benar-benar ngerasa bersalah, kenapa harus marah-marah?” Ajeng terpancing. Cewek itu ikut menaikkan nada bicaranya. “Setahu aku, orang bersalah harusnya minta maaf. Dengan tulus. Tanpa paksaan. Kalau kamu terpaksa meminta maaf, untuk sekadar ngebikin diri kamu tenang, lebih baik nggak usah.” Ajeng kepalang emosi. Cewek itu mengeluarkan unek-unek yang selama ini menghantui kepalanya. Selama ini, dia sudah cukup bersabar dalam menghadapi aktivitas Ilham yang sangat sibuk. Jauh berbeda dengan mahasiswa Sejarah seperti dirinya. Akan tetapi, Ajeng juga merasa perlu dihargai. Setidaknya, dia tidak ingin hati dan kepalanya dipenuhi prasangka buruk terhadap sang pacar. Telepon terputus. Sengaja diputus oleh Ajeng. Dia tidak bisa menerima lebih banyak lagi ucapan sang pacar yang berpotensi menyakitinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD