25 - Orang Jatuh Cinta

2206 Words
Guling kanan makin galau,guling ke kiri malah makin menjad-jadi. Dan Callisa sudah melakukan hal konyol ini selama sejam lamanya untuk mengenyahkan setiap perkataan Pak Aydan pagi tadi. Mengapa bisa Pak Aydan akhirnya suka padanya dan berakhir akan melamarnya besok? Besok? Kalian dengar kan? Seorang Aydan Athallah kini telah mengakui pesona seorang Princess Callisa? Callisa terkikik sendirian didalam kamarnya,bangun dari rebahannya lalu menatap pantulan dirinya sendiri di cermin sana. “Hai Cantik,ada gunanya juga kamu bolak balik keluar salon demi memanjakan diri. Sekarang kamu berhasil membuat pujaan hatimu melirikmu,perjuanganmu selama hampir setahun ini akhirnya berguna bukan? Tidak absen ke kampus Atmaja,eh dapat dosen ganteng pula.” Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu tertawa,membiarkan tawanya menggema didalam kamarnya. Jangan khawatir kakaknya akan mengatainya gila diluaran sana,kamar Callisa ini kedap suara kecuali kakaknya berdiri tepat di depan pintu lalu menguping maka suara tawa Callisa yang menggila ini akan sangat terdengar dengan jelas. “Besok aku harus mengenakan baju apa untuk menyambut Pak Aydan di mension Bersama Mami dan seluruh keluargaku? Aku harus mengenakan pakaian yang cantic,elegan dan membuat Pak Aydan tak kecewa karena memilihku sebagai calon istrinya nanti,hahah.” Dengan semangat Callisa menuju lemari pakaiannya,membukanya antusias. “Pake baju yang ini kayaknya kurang oke deh,bahunya masih keliatan,” baju berharga belasan juta itu Callisa lempar begitu saja ke arah ranjang, “Hm yang ini kependekan,nanti Pak Aydan ceramah selama berjam-jam,” melemparnya ke ranjang adalah solusinya, “Ais,ini motif bunganya kebanyakan,” “Kalau yang ini… No! No! terlalu terbuka,” Dan Callisa melakukan itu selama 30 menit lamanya hingga tumpukan pakaian kini terlihat di ranjang kesayangannya,di tangannya kini terdapat baju berwarna hitam Panjang. Terdapat potongan di bagian kaki namun hanya sampai lutut. Lengannya pendek tapi masih termasuk sopan. “Nah,dapat!” serunya kegirangan,”Padahal tadinya kalau aku tak mendapat baju yang sesuai maka aku akan ke mall pagi-pagi mencari baju yang cocok menyambut Pak Aydan tersayangku,” dengan hati-hati Callisa membawa baju itu ke gantungan khusus lalu menggantungnya disana. Menatapnya lama lalu tersenyum sangat lebar,luar biasa sekali. Tak lama juga,Callisa meringis pelan melihat baju berwarna warni bertumpukan di ranjangnya. “Gimana cara beresinnya astaga,” tak mau ambil pusing,Callisa berjalan keluar kamar lalu menuju lantai paling bawah. Ia bersenandung pelan menuju meja makan menemukan sang kakak sedang sibuk berkutat dengan laptop juga tab di tangannya. Jika biasanya Callisa akan marah-marah karena kakaknya membawa kerjaan ke meja makan maka untuk sekarang Callisa akan membiarkannya,ia malas merusak moodnya yang sedang berbunga-bunga ini. Siapa yang tidak senang sih saat Pak Aydan akhirnya membalas perasaannya? “Mami akan berangkat minggu depan,kamu tidak mau menemuinya sebentar?” Gerakan Callisa yang akan menyendok nasi terhenti,menatap Ray sebentar lalu mengabaikannya. Duduk kembali lalu makan,ia malas memikirkan banyak hal apalagi hal-hal yang akan merusak kesenangannya,ia hanya akan makan selebihnya biarkan saja. “Mami sudah minta waktu sebentar sama kamu,kak Reika menginjinkan karena Mami berjanji tidak akan pernah membujuk kamu ke Paris. Pengen jalan-jalan juga sama kamu terlebih dahulu,sama anak gadisnya katanya,” sepanjang Ray mengatakannya,ia tidak menatap Callisa sama sekali tapi fokus ke laptopnya. “Bi,tolong beresin baju yang ada di ranjangku dong. Itu semua engga pernah kupake jadi tinggal di tata aja di lemari. Bibi mau kan?” bukannya membahas tentang Maminya,Callisa malah mengajak pembantunya bicara. “Tentu bisa Nona Princess,saya pergi sekarang.” Callisa tertawa pelan melihat kepergian pembantunya menuju kamarnya,sepanjang makan ia tak berhenti bersenandung bahkan menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri sesekali. Haruskah Callisa bertemu Kak Cahya dulu baru lusanya bertemu dengan neneknya Aydan sekaligus calon neneknya juga? “Ais,membahagiakan sekali,” bisiknya pada diri sendiri. Merasa ada yang aneh,Ray menghentikan kegiatannya lalu menatap adiknya,tersenyum sendiri? Biasanya jika Ray membawa laptop di meja makan maka ia akan mendengarkan, “Kak Ray kok gini sama aku?Seharian kerja malah bawa kerjaan juga di meja makan? Kenapa engga sekalian makan laptop itu aja? Atau jangan pulang sekalian,kerja aja terus jangan perhatikan adikmu yang jarang diperhatikan sama kamu ini. Menyebalkan sekali sebagai seorang kakak,bukannya pulang membawa bunga malah membawa setumpuk berkas,” Atau Callisa akan mengatakan begini, “Kakak jatuh cinta sama kerjaan ya?” “Eh bawa pacarnya ke meja makan,aku iri loh kak.” “Wah hebat banget ya laptop sama kerjaan itu,dapat perhatian selama seharian eh sampe rumah juga dapat perhatian. Apalah dayaku yang hanya bisa ditanyakan sudah makan atau belum,” Dan masih banyak lagi sindiran yang biasa Callisa berikan untuknya tapi sekarang? “Dek,kamu waras?” “Hahah,ya waras lah,yang engga waras itu kakak loh. Gemar banget bawa kerjaan ke meja makan seakan soulmate yang paling tersayang. Aku jadi penasaran apakah ada kasus seorang manusia menikah dengan benda semacam laptop. Kenyang banget ya kak makan bareng yang terasayang,” sindirnya telak membuat Ray langsung bungkam. Sampai selesai makan,Callisa tak mengatakan apapun hingga kembali ke kamarnya tapi baru beberapa langkah ia membalikkan badannya,”Soal Mami,nanti aku pikirin lagi,” beritahunya lalu melanjutkan langkahnya. Tak lupa bersenandung senang,orang jatuh cinta memang selalu dipenuhi bunga-bunga di sekitarnya. Tau tidak? Callisa serasa melihat taman bunga yang sangat luas lalu bunganya wangi banget. Tertawa kecil,Callisa masuk ke kamarnya melihat pembantunya sibuk memasukkan baju-baju Callisa kedalam lemari kembali. “Bibi pernah jatuh cinta?” tanyanya tiba-tiba, “Oh Non Callisa sedang jatuh cinta pantas mukanya berseri-seri.” Senyum Callisa makin melebar mendengarnya. “Keliatan banget ya Bi? Kalau aku lagi seneng?” Pembantu itu menatap anak majikannya sebentar lalu melanjutkan pekerjaannya,”Jujur Non,selama 2 tahun Non ada disini. Baru kali ini saya melihat Non tersenyum seperti itu,apa ya Namanya? Kebahagiaan menular,bibi bisa merasakan kebahagiaan Nona juga.” Callisa merebahkan badannya di ranjang,sengaja memusatkan pandangannya pada sang pembantu. “Tapi apa Bibi pernah merasakannya?” Pembantu itu menghentikan kegiatannya sejenak,baju Callisa yang akan ia gantung terhenti. Matanya menatap nanar kedepan,seolah sedang bernostalgia ke masa lalu memikirkan kisah lamanya yang sayangnya kembali ia ingat hanya karena satu pertanyaan itu. Merasakannya? Manusia mana yang tidak pernah merasakannya? “Pernah.” Jawabnya semenit kemudian lalu melanjutkan pekerjaannya,tersenyum pedih tanpa sepengatahuan Callisa. “Kapan? Apakah semembahagiakan ini juga? aku selalu penasaran dengan kisah jaman dulu karena kan engga ada yang Namanya ponsel,yang terkenal itu surat itupun lama sampenya. Apa bisa menunggu selama itu? Aku aja engga bisa padahal sudah pake ponsel. Engga dibales selama semenit aja lama banget,” di tempatnya,Callisa menarik guling lalu memeluknya. Matanya tetap mengarah kesana,kearah lemari. “Kisah saya tidak seberhasil itu,Non.” Callisa mengerutkan keningnya bingung,”Kok bisa? Kenapa bisa? Tapikan Bibi sudah menikah kan? Malahan sudah punya cucu loh,” tanpa sadar Callisa berdiri dari ranjang mendekat ke pembantunya. “Ya gitulah Non,saya permisi semuanya sudah selesai.” Tak mau ikut campur terlalu dalam jadinya Callisa membiarkannya pergi begitu saja tetapi jujur,masih ada rasa penasaran yang mendalam di hatinya tapi sudahlah,Callisa tidak boleh merusak moodnya. Callisa berjalan kearah teras kamarnya menemukan halamam belakang akan tetapi matanya menyipit saat menemukan pembantu rumahnya menangis dalam diam disana,di ayunan tempat Callisa biasa bermain. Dari kejauhan,Callisa dapat melihatnya menangis. “Hidup begini ya,terkadang banyak orang yang mengira kita sudah melupakan semuanya mau puluhan tahun sekalipun,sayangnya tidak ada yang paham kecuali diri kita sendiri. Lihatlah Bibi,dari sini aku paham. Takkan ada yang bisa melupakan seseorang yang pernah membahagiakannya mau sudah menikah sekalipun,bahkan sudah punya cucu.” Ia memegang pembatas balkon,menunduk menatap sandal rumahannya yang berbulu. “Cinta memang tak pernah sesederhana ini,” gumamnya,tertawa pelan. “Allah!” jujur,Callisa saat ini serasa memanggil temannya sendiri. “Apakah tidak bisa hubungan yang sudah berakhir itu dijadikan mimpi saja lalu kemudian akan menghilang esok harinya? Apa tidak bisa?” Callisa merasa bisa merasakan kepedihan yang pembantunya itu rasakan. Kisahnya tidak berhasil? Kenapa harus diingat kalau memang tidak berhasil? “Ada banyak pihak yang terluka karena mereka tidak berakhir Bersama orang yang di harapkannya. Atau itu semacam hukuman dari-Mu? Makanya Kamu membuat pihak-pihak itu tidak bisa melupakan kesakitan akan pupusnya harapannya? Kenapa hukumannya harus seumur hidup,Ya Allah? Tidak cukupkah mereka tidak Bersama dengan seseorang itu?” Perempuan berumur 24 tahun itu terkekeh,memangnya sejak kapan Callisa memperdulikan bagaimana itu cinta? Yang terpenting cintanya terbalas bukan? Untuk apa memikirkan hubungan orang lain yang tidak berhasil itu,bukan urusannya sama sekali. Salah mereka karena jatuh cinta, “Tapi itu bukan keinginan mereka juga,” bimbang memang selalu seperti ini,suka datang pada manusia yang sedang sendirian. “Udahlah,kenapa harus dipikirin sih.” Callisa tertawa,berusaha mengabaikan keberadaan pembantunya yang ada di halaman belakang,masuk kembali kedalam kamar. Ada kalanya,Callisa bukannya tak mau berbagi perhatian hanya saja membiarkan orang yang sedang terluka sendirian adalah keputusan paling tepat. Dengan sendiri,mereka akan merasakan kebahagiaannya,mengingat perjuangannya. Dan Callisa ingin pembantunya merasakan demikian. *** Jam yang terus berdetak tak membuat Aydan bergegas meninggalkan sajadahnya,ia terus diam disana tanpa mengeluarkan suara apapun. Matanya terus terfokus pada kaligrafi yang tergantung di kamarnya. Dengan gerakan pelan,bola mata hitamnya menatap jarum jam yang menunjukkan setengah 3 malam pertanda Aydan baru saja selesai shalat malam. Merasa sudah terlalu lama duduk disana,Aydan meninggalkan tempatnya dan melipat sajadahnya tak lupa menyimpannya diatas lemari kecil. Aydan tersenyum kecil,hatinya merasa lega memikirkan keputusannya. “Hai Callisa,” ujarnya,dan tersenyum. Tanpa mengganti pakaiannya sama sekali,Aydan merebahkan badannya di ranjang. Rumahnya terasa sangat sepi karena memang dirumah ini hanya Aydan sendiria disini,kedua adiknya memilih tinggal di bandung katanya disana lebih menyenangkan daripada terjebak nostalgia orangtua seperti Aydan. “Jika memang nantinya kita gagal,saya berharap alasannya bukan agama. Saya berharap bapak punya alasan lain atau saya mempunyai alasan lain,atau takdir memberikan kita alasan lain agar kita bisa menerimanya. Bukan agama apalagi Allah.” “Berpisah bukan karena agama?” ulangnya,perkataan Callisa kembali terulang. Bukannya tidur,Aydan kembali bangun dari rebahannya lalu keluar kamar menuju dapur. Menuangkan air putih kedalam gelas lalu meminumnya dalam beberapa teguk,semenjak Callisa meninggalkannya di taman pagi tadi. Aydan selalu kepikiran mengenai alasan bukan karena agama itu,mengapa ada perkataan begitu? “Ada apa dengan kita sebenarnya,Callisa?” tanyanya seolah ada Callisa di sampingnya. Aydan menyimpan gelasnya kembali setelah airnya habis,berjalan menuju halaman belakang rumah lalu duduk di kursi kayu. Matanya mendongak menatap langit malam yang sangat terang ditemani bintang-bintang. “Alasan itu,apakah ada alasan lain andaikan kami akan berpisah nantinya?” tanyanya entah kepada siapa, “Banyak pasangan yang terluka karena mereka disakiti oleh harapan-harapan mereka sendiri. Aku memilihnya karena memang aku ingin berjalan berdampingan bersamanya menuju jalan terbaik,lantas alasan apalagi yang bisa memisahkan kami? Kasta? Callisa sudah percaya itu bukan alasan utamanya.” Aydan mengacak rambutnya frustasi,mengapa ia harus memikirkan soal berpisah itu? Tidak ada gunanya. Lagian besok atau hari ini Insyaallah,Aydan akan datang ke ayah Callisa. Memperkenalkan diri lalu mengutarakan niatnya untuk melamar seorang Callisa untuk menjadi istrinya di kemudian hari. “Semua yang berlandaskan niat baik akan berhasil bukan? Mana mungkin seorang Callisa mau memperjuangkan sesautu jika dia tidak yakin? Lalu apa yang harus aku khawatirkan sebenarnya,mengapa harus risau padahal kami sudah sepakat untuk ke jenjang selanjutnya? Apa yang sedang kamu pikirkan sebenarnya Aydan Athallah,” merasa pikirannya makin kacau,Aydan berjalan meninggalkan halaman belakang menuju kamarnya kembali. Sembari berjalan,Aydan melafalkan asma-asma Allah untuk menenangkan pikirannya yang makin terarah,kekhawatiran yang tidak mendasar sama sekali. Sesekali suara-suara tawa orangtuanya akan menggema,ya itu benar. Aydan memang terjebak dalam nostalgia bahagia Bersama orangtuanya. “Aydan berhenti main-main dan baca dengan benar,baca surah yang Ummi minta bukan malah baca Al-Fatihah terus,sayang. Anak Ummi mau jadi apa kalau besar?” “Jadi Imam besar seperti Abi!” “Aamiin,kalau mau jadi Imam seperti Abi. Aydan harus bisa belajar dengan baik jangan main-main,Ummi tidak suka Aydan kayak gitu. Bisa sayang? Mau belajar yang serius agar Ummi senang?” “Mau! Ummi adalah surganya Aydan.” “Haha,itu siapa yang ajarin kamu?” “Abi dong,” Aydan menghentikan langkahnya sebentar,matanya fokus menatap ruang tamu seolah ada Umminya disana sedang mensejajarkan tingginya dengan Aydan yang baru berusia 7 tahun. Aydan kecil dengan semangat menghapal surah-surah pendek yang Abinya ajarkan,dan semuanya atas keinginan Aydan sendiri. “Kenangan,tidak bisakah kenangan menjadi mimpi saja lalu menghilang esok harinya?” katanya lirih,Aydan bahkan sangat merindukan Umminya sekarang. “Aydan,hapalannya sudah selesai?” “Belum Abi,surah Al-Bayyinah Panjang banget. Aydan tidak bisa hapal secepat itu,” “Jangan buru-buru,Abi suka liat Aydan santai terus hapalannya selesai juga. Allah tidak pernah memaksa kita tapi?” “Tapi Allah suka kita dekat dengan Dia.” “Masyaallah,anak Abi sama Ummi,Namanya siapa?” “Aydan Athallah.” Menyeret kakinya masuk kedalam kamar,Aydan merebahkan badannya berusaha menutup matanya agar suara-suara masa lalu itu segera menghilang. Beginilah keseharian Aydan,setiap harinya hanya ditemani kenangan masa lalu yang berasal dari orangtuanya. Atau masa indah Bersama para suadaranya,menyenangkan namun penuh kerinduan yang mendalam. Aydan tidak menyalahkan takdir Allah,hanya saja Aydan Lelah dengan kehidupan melelahkan dan memuakkan ini. “Nenek,Kenapa Abi sama Ummi harus lari pagi? Kenapa tidak Aydan larang saja hari ini? Coba saja Aydan larang maka Sekarang Ummi sama Abi masih disini sama aku,sama adek-adek juga.” “Nak,apa yang sudah Allah tetapkan tidak bisa kita tunda. Sudah di takdirkan orangtua kamu meninggal karena kecelakaan hari ini dan itu hanya penyebab biasa. Ikhlaskan Nak, ikhlaskan dia.” “Tapi Adek-Adek kasihan,” “Ada nenek dan Kakek dan kamu sebagai kakaknya. Allah tidak suka kita melebih-lebihkan kedukaan Nak. Berdukalah seperlunya lalu berdo’a untuk mereka. Maka hal yang membahagiakan bagi orangtua yang meninggal adalah anak yang paham agama dan mendo’akannya. Aydan dan adik-adik bisa kan?” Aydan memejamkan matanya bersamaan dengan airmatanya yang berjatuhan,terkadang kenangan memang semenyesakkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD