24 - Perbincangan Di Taman Kampus Atmaja

2248 Words
Callisa menggoyangkan kakinya ke kanan dan kiri,sesekali menatap beberapa mahasiswa yang mencuri-curi pandang kearahnya juga Pak Aydan yang sejak tadi sibuk menelpon dengan seseorang. Sekitaran lima belas menit lalu ada yang menghubungi Pak Aydan jadinya pembahasan keduanya menjadi tertunda sebentar padahal Callisa sudah was-was mengenai pertanyaan apa yang akan pujaan hatinya itu berikan, “Saya akan kesana namun bukan lusa karena ada beberapa hal yang perlu saya urus,yang mengajar di bidang itu bukan saya saja tapi banyak dosen lainnya namun di universitas yang berbeda. Apa anda bisa mencari orang lain saja?” Callisa memperhatikan punggung Aydan yang sengaja menjauh demi menerima telepon. Bisakah suatu hari nanti laki-laki ini yang akan anak-anak Callisa panggil dengan sebutan Ayah? Anak-anak Callisa akan menyambutnya dengan teriakan kesenangan setiap kali Aydan pulang dari bekerja? Bisakah seorang Callisa membayangkan hal sejauh itu? Callisa dengan cepat menatap kearah lain saat Pak Aydan akhirnya kembali ke tempatnya tadi,Perempuan dengan rambut bergelombangnya itu menunduk memperhatikan sepatu tingginya yang terlihat pas dikenakan oleh kaki jenjangnya,cukup pas dan nyaman diliat. “Maaf,ada telepon mendadak.” “Tidak papa,Pak. Masa iya saya ngelarang Bapak untuk angkat telepon,bukan ranah saya.” Untuk sementara,Callisa akan mencoba kalem dan tidak buru-buru layaknya biasanya. Ia akan membiarkan Aydan bertanya lalu Callisa menjawab sebisa pikirannya. “Kamu tidak ingin bercerita tentang kakak-kakak kamu atau latar keluargamu? Apa yang media beritakan terkadang tidak sepenuhnya benar. Benar bukan?” Callisa diminta bercerita mengenai keluarganya? “Apa ya? Ayahku bernama Deravendra terus Mami Namanya Engkira Anastasya. Seperti yang Bapak tau kakak pertamaku bernama Reika Dervendra saat ini berusia 31 tahun dan sudah punya istri dan anak,Bapak kenal dengan istrinya yaitu Rasya Putri Adinda. Mereka menikah sudah lama sih,saat itu saya masih kuliah dan menyempatkan waktu untuk pulang menghadirinya. Bapak sudah jadi dosen disana tidak?” sejenak,Callisa menoleh menatap Aydan namun Aydan menatap kearah lain,tak pernah sekalipun kearah Callisa. Sekurang cantik itukah seorang Callisa dimata seorang Aydan Athallah? Atau Aydan benar-benar mengutamakan mahram dan menjaga pandangan? Walaupun Callisa sudah belajar agama dan tau beberapa aturannya tetap saja ada sedikit kegalauan tiap kali Aydan enggan menatap kearahnya. “Saya hadir disana namun sebentar.” “Oh ya? Berarti saat itu kita belum berjodoh kali Pak makanya belum dipertemukan,bukan waktu tepatnya untuk saling bertemu,haha.” walaupun hanya tertawa sendirian,Callisa memaklumi. Aydan itu humornya tinggi tidak sereceh Callisa. “Kakak kedua saya bernama Rakaf dengan marga yang sama. Sudah menikah juga dengan Devalia Angkara,sikap keduanya sebelas dua belas membuat saya terkadang iri. Sama-sama lemah lembut dan penyayang,sudah punya anak juga bernama Rexas dengan marga Deravendra juga,” merasa Aydan terus menunggu,Callisa melanjutkan ceritanya. “Nah yang terakhir Namanya Raymond Deravendra yang paling santai diantara ketiganya. Kak Ray belum menikah dan masih menikmati masa kesendiriannya,namun saya tau Pak. Kakak saya yang satu itu memilih belum menikah karena saya belum menikah,jahilnya memang tidak ketulungan namun kasih sayangnya gengsian. Kak Ray suka lautan makanya membuka beberapa restoran seafood.” Tersenyum,Callisa menutup ceritanya dengan senyuman padahal tau Aydan takkan melihat itu semua. Callisa bukannya tidak bersyukur karena mencintai orang yang paham agama,namun ada beberapa hal yang kadang membuat Callisa enggan menerima kenyataannya. Mungkin sejak kecil di perhatikan,dimanjakan,dijadikan utama makanya saat bertemu Aydan? sudahlah,sudah terlalu sering pikiran Callisa mengarah kesana. “Kehidupan kamu di Paris?” Pertanyaan cukup sulit untuk dijawab karena kehidupan Callisa disana sangat bebas sekali. Dalam artian benar-benar bebas. “Hmm gimana ya Pak,saya disana bebas banget. Dalam artian benar-benar bebas,pakaian saya aja malah lebih berani dari yang sebelum-sebelumnya bapak dapati. Terus pergaulan,tempat nongkrong dan kehidupan malam saya juga akan sangat membuat bapak terkejut. Namun saya masih sayang diri sendiri kok Pak,masalah skiship sama cowok-cowok sana belum pernah,sebatas pegangan tangan aja engga lebih. Ini saya jujur loh Pak.” Dengan takut Callisa menunduk,astagfirullah sekali. “Orangtua saya kiranya saya sering skiship dengan cowok-cowok karena sering keluar malem,bapak taulah kemana. Tapi jujur Pak,saya benar-benar masih aman dari tangan cowok kecuali tangan saya yang ini. Maaf ya Pak,sa-“ “Jangan minta maaf,Callisa.” Callisa bungkam,baru sekarang ia menyesali kehidupan malamnya dulu. Di paris tak ada larangan kecuali harus menjaga nama keluarga,selebihnya Callisa di bebaskan walaupun sesekali dapat teguran lewat telepon oleh kakak-kakaknya untuk menjaga diri dari obat-obatan,balap-balapan atau semua jenis kenakalan. Dan Callisa berusaha merealisasikannya walaupun banyak temannya mengatainya cupu dan penakut. “Bapak tau tidak,di Paris sana. Setiap habis keluar malem kan sewa hotel gitu kan? Mereka semua sudah setengah sadar. Mereka banyak mengatai saya cupu dan penakut karena tidak minum-minum atau ikut skiship,hehe.” Callisa menunduk lagi,mudah-mudahan Aydan tidak berubah pikiran untuk melamarnya. “Mereka?” “Teman-teman saya Pak,mereka mengatai saya cupu. Ya biasalah Pak,di luar negeri kan hal kayak gitu lumrah banget dan bukan bencana. Namun saya malah engga ikut,untung ada Rean.” Ia memperbaiki tatanan rambutnya yang agak berantakan,Callisa harus menceritakan semuanya. Harus! “Rean? Pacar kamu?” “Bukanlah Pak,teman deket. Rean mah Sukanya sama bule,mau punya istri bule katanya.” Entah salah dengar atau tidak,Callisa serasa mendengar helaan napas lega dari laki-laki disampingnya. Apa cuman perasaan Callisa aja ya? “Kalau pacar?” “Pacar? Bapak jangan kasi tau kakak saya ya. Mereka tau saya pacaran namun engga tau alasan kami putus. Saya pernah pacaran dengan anak orang kaya juga di paris,namun dia ketahuan bobo bareng perempuan lain jadinya putus. Pacarannya agak lama sih,3 tahunan atau lebih ya? Pokoknya gitu sih. saya bukan tipikal perempuan menye-menye kok Pak.” Aydan kebingungan,”Menye-menye?” “Heh Maaf Pak,itu kata gaul. Dalam versi saya itu artinya sedih berkepanjangan,atau labrak mereka karena main belakang. Engga bakal,saya punya tiga kakak yang selalu ada.” Tersenyum ceria,Callisa membayangkan kasih sayang semua kakaknya padanya. Sangat terlihat sekali. “Kamu masih suka sama dia?” “Ya enggalah pak,saya mana mungkin kejar bapak kalau masih cinta sama orang itu. Saya tuh punya prinsip Pak,jangan jadikan orang pelampiasan lukamu atau kamu akan kena karmanya. Sembuhlah sendiri dan bahagialah. Seseorang yang akan datang akan mempunyai ceritanya sendiri,masa lalu ya masa lalu makanya saya tidak pernah bahas itu. Engga guna tau Pak,” Tanpa Callisa ketahui,Aydan tersenyum tipis mendengarnya. Selalu ada sisi baik pada sisi seseorang yang bar-bar. “Tunggu sebentar,saya beli minum dulu.” “Tap- dahlah,Pak Aydan suka semaunya namun aku tetap cinta.” Bisik Callisa pada dirinya sendiri,Aydan juga sudah menjauh darinya. Sembari menunggu Aydan,Callisa memilh menilai sekitar yang makin ramai dengan mahasiswa. Mereka semua masih memegang buku di tangannya,beberapa juga ada ransel di punggungnya. Menjadi mahasiswa itu nano-nano,kayak minum kopi juga sih. namun bagi Callisa,dia menganggap dunia kuliahnya bagai minum kopi. Terkadang jadi penawar Lelah kadang juga menjadi penimbul luka. Tapi jujur,Callisa merasa lega setelah mengatakan kehidupannya selama di paris dulu pada Aydan. semua ketakutannya menghilang melihat bagaimana respon Aydan tadi,terkesan santai dan tidak berlebihan. Menyukai Aydan memang kesenangan juga perjuangan yang sangat Panjang namun kini ada jawabannya. “Saya dapatnya minuman kaleng,sebagian penjual di kantin meliburkan diri juga.” Aydan menyimpan minuman itu disamping Callisa lalu duduk di tempatnya. “Makasih Pak Aydan.” “Hmm.” Untuk sementara,keduanya sama-sama sibuk dengan minumannya. “Bapak tidak masalah dengan kehidupan saya di Paris dulu?” belum cukup lima menit,Callisa menyuarakan kebingungannya. “Kalau saya jadi suami kamu dan kamu berprilaku demikian mungkin saya akan menjadikan itu masalah yang sangat besar. Saya akan meminta kamu bertobat pada Allah dan menetapkan kamu di pesantren untuk sementara,” “Ya kalau jadi istri bapak mah saya mana mungkin kayak gitu,” “Terus bagaimana?” “Hah?” mata Callisa mengerjap beberapa kali,ia dengan cepat menatap Aydan yang sedang fokus kedepan. Wajahnya tetap datar tanpa memperlihatkan ekspresi apapun,apa ini? Kenapa orang ini santai sekali padahal pertanyaannya membuat jantung Callisa berdebar dengan sangat cepat. “Kalau kamu jadi istri saya,memangnya kamu mau bersikap bagaimana,Callisa?” “Pertanyaan bapak mah tiba-tiba banget,” “Hahah.” Callisa cengo,untuk pertama kalinya ia melihat seorang Aydan tertawa dan benar-benar tertawa lepas. Callisa bahkan sampai menepuk pipinya beberapa kali demi menyadarkan dirinya bahwasanya ini memang nyata. “Bapak ganteng banget pas ketawa lepas gitu,” pujinya dengan mata berbinar. Aydan dengan cepat mengubah ekspresinya kembali,berdehem beberapa kali sebelum menatap Callisa sebentar lalu membuang pandangannya kearah lain. ia tak sadar kelepasan saat mendengar keluhan Callisa mengenai pertanyaannya yang sangat tiba-tiba. “Nenek saya ingin bertemu kamu,” beritahunya,berusaha mengalihkan pembahasan. “Masa sih Pak,nenek bapak pake Niqab juga seperti adik bapak tidak?” “Niqab? Cadar maksud kamu?” Callisa mengangguk,”Tidak,nenek saya hanya mengenakan jilbab sepanjang Qeisya. Saya tidak menyangka kamu bisa sedekat itu dengannya padahal selama ini Qeisya jarang dekat dengan orang apalagi penampilannya lumayan seperti kamu. pandangan Qeisya tentang orang kota sangat jauh,makanya saya heran pas dia bahas tentang kamu,Callisa.” “Ya mungkin memang sudah jalannya kali,Pak.” Sahutnya santai,meminum minuman kaleng yang Aydan belikan untuknya,tenggorokannya langsung terasa fresh setelah meminumnya sampai habis, “Kalau misalkan kita jadi menikah,kamu tidak keberatan tinggal dirumah saya? Bagaimana jika saya meminta kamu menutup aurat dan penampilan kamu yang seperti ini tidak akan lagi kamu tampakkan di keramaian. Apa kamu siap dengan itu Callisa?” “Pak,saat kamu berani mengejar seseorang maka kamu harus bisa menerima semua perubahan untuk bersamanya. Bukan merubah takdir akan tetapi menambah porsenil dalam kehidupan sehari-hari untuk bekerjasama dalam naik kapal ke sebuah perjalanan Panjang. Sikap saya memang bar-bar Pak,namun saya tidak pernah main-main dalam perasaan. Saya siap dengan perubahan apapun makanya jangan meragukan perasaan saya apalagi niat saya.” Callisa menutupnya dengan kekehan,tak lagi tersinggung dengan pertanyaan itu. “Bagaimana dengan media social kamu yang berisi foto-foto?” “Kalau bapak bersedia menikah dengan saya,maka saya dengan senang hati menghapus akun itu. Saya mana main medsos sehabis menikah dengan bapak,mending sibuk pacaran terus jalan berdua. Kata kak Cahya,orang yang paham agama kadang pacaran atau tahap kenalan lebih jelasnya sehabis menikah,lebih romantic katanya.” Membayangkannya saja sudah membuat Callisa tertawa,bahagia banget y ajika membayangkannya. “Menggunakan make-up?” “Bapak tidak sadar kalau make-up saya sekarang tipis banget?” “Tipis karena kamu sengaja,Callisa. Karena hari ini kamu ingin ketemu saya,” Callisa meringis pelan mendengarnya,benar juga. “Saya su-“ “Jangan ceramah dong Pak,saya sudah mendengarkan ceramah berulang kali jadi tidak perlu. Saya bukannya tidak suka cuman capek tau Pak,kan kita disini bahas soal niat bapak untuk lamar saya bukan bahas soal penampilan saya. Saya sadar diri kok pak,walaupun kadang lupa diri juga kalau sudah terpesona sama bapak,hehe.” Callisa menunduk salah tingkah,perasaannya memang sangat murahan sekali. Suka sekali memainkannya,padahalkan Callisa tidak mau bahas perasaan terus. Kasihan,tidak dapat pengakuan cinta. Sekalinya Callisa bertanya soal perasaannya yang dibalas atau tidak malah ada telepon yang masuk,malang sekali nasibmu Callisa. “Kamu mau ketemu nenek saya? Saya bisa memberikan kamu alamatnya lalu kamu bisa kesana.” “Harus pake jilbab Engga,Pak?” Aydan tersenyum tipis,”Kamu bisa mengunjunginya di taman kesukaannya. Nenek saya sering kesana setiap seminggu sekali. Mau?” “Bapak juga mau ketemu Papi-Mami saya tidak? Masa saya mau ketemu nenek Bapak terus Bapak tidak ketemu orangtua saya,menangnya di bapak dong kalau begitu. Mau tidak?” “Saya mana mungkin mengajak kamu bertemu andaikan saya tidak ingin bertemu mereka,Callisa. Saya hanya mempersiapkan diri,dan saya tau tidak baik membuat perempuan terlalu lama menunggu. Saya akan pergi besok,membahasnya dengan orangtua kamu. kalau kamu? kapan bisa ketemu nenek saya?” “Sehabis bapak ketemu orangtua saya dong.” Aydan menghela napas pelan,agak menunduk memperhatikan jam. Sudah berjam-jam ia dan Callisa di taman ini dan hanya membahas hal random yang sangat banyak. Sejenak Aydan berpikir semoga ia dan Callisa diberikan kemudahan untuk Bersama setelah ini. “Jangan mundur setelah ini ya Pak,jangan menjatuhkan harapan saya untuk bisa Bersama bapak dan menemani hari-hari bapak selanjutnya. Saya memang mengejar namun saya tidak pernah sekalipun memaksakan kehendak mau sebagaimana pun saya berusaha,bapak sendiri yang datang menawarkan ini.” Callisa memang setakut ini akan kegagalan. “Sejak saya memutuskan mengejar bapak maka saat itu saya sudah menanggung dua resiko yang sama.” Lanjutnya,tersenyum dengan menatap nanar beberapa mahasiswa yang sedang lewat. “Dua resiko?” “Ditolak dan akhirnya tersakiti oleh tumpukan harapan-harapan saya. Andaikan saya ditolak maka saya tidak akan mengejar lagi makanya saya bertanya mengenai adakah ruang lalu bapak menjawab ada. Bapak datang ke kakak saya dan meminta izin. Saya mohon Pak,harapan saya saat ini sedang melambung tinggi maka jangan menghempaskannya.” Dalam dua detik mata keduanya bertemu sebelum Callisa mengalihkannya kearah lain. “Agama tidak pernah memberikan kesakitan pada setiap pengikutnya begitupun dengan islam,Pak. Tapi para pengikut itulah yang mengatasnamakan agama untuk menyakiti sesamanya. Semacam ada beberapa pasangan yang saling memutuskan hubungan dengan alasan agama. Lucu ya Pak? Mengapa mereka berhubungan kalau tau sejak awal agama sudah memberikan alarm? Bukannya itu munafik?” Menggoyangkan kakinya,”Saya tidak pernah mengatasnamakan agama,Pak. Murni mengatakan ini karena saya takut terluka. Maka nantinya jika ada kendala,jangan memutuskan hubungan yang bapak mulai karena alasan agama karena bapak datang kesaya dan saya datang ke bapak tidak ada unsur agama sama sekali. Jangan menumbalkan agama demi keserakahan duniawi Pak,itu terlalu munafik.” Callisa tertawa pelan,berdiri dari duduknya lalu menatap Aydan dengan nanar. “Jika memang nantinya kita gagal,saya berharap alasannya bukan agama. Saya berharap bapak punya alasan lain atau saya mempunyai alasan lain,atau takdir memberikan kita alasan lain agar kita bisa menerimanya. Bukan agama apalagi Allah.” Menghela napas pelan,”Saya permisi Pak Aydan,kita sudah terlalu lama disini dan sebentar lagi masuk waktu siang. Assalamulaikum.” Dan untuk pertama kalinya,Callisa yang memunggungi Aydan lalu melangkah pergi. Walaupun samar,Aydan masih bisa mendengarkan bisikan itu. “Saya menunggu kepastian bapak besok.” Sembari menatap punggung Callisa yang menjauh Aydan menjawabnya. “Saya juga berharap demikian,Callisa. Waalaikumussalam.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD