34 - Keindahan Beragama

2156 Words
“Ada banyak sejarah cinta lalu kamu mau mengetahui kisah yang mana,Callisa?” tanya Afanza saat menemukan Callisa sudah menunggunya menceritakan kisah-kisah jaman dulu. Afanza sama sekali tak tau apa tujuan Callisa selama berbulan-bulan ini selalu datang padanya menangih banyak kisah cinta di jaman nabi,dan tak ada sekalipun tujuan Afanza untuk mengetahuinya karena memang bukan ranahnya sama sekali. “Kakak kapan nikah?” Perempuan bercadar itu tertawa pelan mendengar pertanyaan Callisa,”Kamu penasaran dengan kapan saya menikah atau pertanyaan itu sebenarnya kamu tujukan untuk dirimu sendiri,Callisa? Akhir-akhir ini kamu sudah kuberikan banyak buku mengenai kisah cinta. Apa setertarik itukah kamu pada cinta atau kamu yang gagal meraihnya makanya ingin mengenalnya lebih dulu?” “Apa begitu kentara kak? Padahal aku sudah berusaha tidak begitu menampakkannya agar orang lain mengira ini hanya sekedar rasa penasaran semata,” Dengan tenang Afanza mendekati Callisa,”Kamu tau apa yang paling melemahkan kaum hawa? Perasaannya. Kamu tau apa menguatkan kaum hawa? Perasaannya juga. lalu apa yang salah? Salahnya berada di bagaimana cara mereka menyikapinya,banyak yang dilemahkan oleh perasaan lalu banyak juga yang dikuatkan oleh perasaannya,” tuturnya dengan suara sopan,ia menyimpan selembar kertas di hadapan Callisa. “Ada kisah yang cukup aku hapal dan kagum dengan keikhlasan perempuannya yaitu Jamilah. Dia baru saja menikah sehari lalu kemudian merelakan suaminya ikut membela islam,dihari yang sama mendengar kabar suaminya gugur. Andaikan perempuan jaman sekarang yang merasakannya dia mungkin akan menyalahkan pemimpin kaum atau melarang keras suaminya pergi. Perempuan mana yang mau menjanda sehari setelah menikah?” Mmebaca kisah yang ada dikertas,untuk beberapa menit Afanza membiarkan Callisa membaca kisah itu. Selagi Callisa membacanya,Afanza menjahit pakaian yang sejak tadi ada ditangannya,sesekali ia tersenyum dibalik cadarnya menatap Callisa yang sangat serius. “Aku kayaknya tidak sanggup kalau menjadi Jamilah,mana mungkin dia merelakan Handzalah pergi padahal mereka sedang bahagia-bahagianya? Mana perginya untuk berperang pula,tidak ada jaminan untuk pulang dengan selamat.” Komentarnya setelah membaca kesuluruhan. “Akan tetapi dia melakukannya,sudah ada kisahnya. Lantas apa yang berbeda? Intinya adalah perasaan memang sumber kelamahan kita namun perasaan bisa menjadikan kita menjadi perempuan yang lebih kuat,pandai berpikir dan tidak gegabah seperti sebelumnya.” Beritahunya,Afanza melirik Callisa yang sepertinya tak habis pikir dengan keputusan Jamilah. “Apa landasan Jamilah saat melepaskan suaminya?” tanyanya bak guru yang sedang menanyai muridnya. “Allah dan agamanya sendiri.” Jawab Callisa dengan raut tak percaya. “Bukan,tapi dia tau apa yang seharusnya terjadi. Selalu ada jalan untuk mereka yang dekat dengan Allah,Callisa. Mungkin banyak orang yang menyayangkan keputusan keduanya karena memilih agama daripada cinta,namun mereka keduanya tidak mempermasalahkannya sama sekali. Allah adalah Zat yang patut dicintai diatas seagalnya.” Ia menutup ucapannya dengan tersenyum dibalik cadarnya. Afanza memang terkenal dengan kepribadiannya yang hangat dan murah senyum. “Benar,aku kurang menerima keduanya melakukan itu.” “Sayangnya itu sudah terjadi,tidak ada yang berubah. Jamilah mengikhlaskan suaminya dan menerima keadaan itu dengan tenang,saat perempuan sepercaya itu dengan dirinya sendiri,paham bagaimana memuliakan dirinya,paham bagaimana agama mengistimewakannya. Mau segagal apapun di bidang tertentu,mereka tetap mensyukurinya Callisa.” Suaranya lagi,berdiri membentangkan bajunya yang baru ia jahit, “Lantas,kakak pernah merasakannya?” Afanza terlihat diam sebentar seolah memilah apakah masih ada bajunya yang robek atau tidak,tidak langsung memberikan jawaban pada Callisa yang lebih suka pergi padanya daripada menghadiri kelas Tahzin yang sedang berlangsung saat ini. “Orang yang kucintai menikahi sahabatku sendiri.” Jawabnya tenang. “Orang yang kakak cintai nikahnya sama teman dekat kakak sendiri? Teman deket? What?” Perempuan berusia 27 tahun itu tersenyum mendengar respon Callisa,awalnya memang sangat menyesakkan namun tidak papa. “Aku mengikhlaskannya,Callisa.” Callisa menggeleng tak percaya mendengar jawaban itu,mana mungkin kakak pembinanya mengatakan hal semenyedihkan itu dengan ketenangan? Ikhlas katanya? Memikirkannya saja sudah membuat Callisa emosi. Mana mungkin seorang sahabat dengan teganya mengambil orang yang dicintai sahabatnya? “Kamu tau apa yang membuatku bertahan sampai disini? Karena aku percaya Allah.” Percaya Allah? Tapi masa iya percaya dengan Allah harus merelakan sebesar itu? “Pikiranku bilangnya begini,Callisa. Kalau percaya dengan omongan mereka berdua maka yang kudapati bisa saja pengkhianatan lagi di kemudian hari makanya aku membiarkan mereka melakukannya tanpa perlu mendengarkan maaf dariku. Mereka awalnya mau membatalkan karena kasihan namun aku menentang,mau sepaham agama sekalipun maka tak ada pemakluman bagi mereka yang mengubah pengkhianatan dengan kalimat kami saling mencintai,aku tak sebodoh itu.” “Lalu? Kakak membiarkannya begitu saja?” “Untuk apa mengurus pengkhianat? Mau mereka memberikan alasan sebanyak apapun tetap saja itu adalah berisi kumpulan kebohongan bukan? Makanya aku memilih pasrah pada Allah saja. mencintai Allah,menjalankan semua apa yang Allah inginkan,melakukan apapun yang memang sudah sepatutnya kaum perempuan lakukan. Apa yang aku dapatkan? Allah menyambutnya dengan memberiku ketenangan.” Setelah melipat bajunya,Afanza duduk bersila di samping Callisa lalu merangkulnya. “Jika mencintai Allah maka Beliau akan selalu memperhatikanku,memberiku kebahagiaan dan membuatku selalu bersyukur. Kalau percaya dengan manusia? Apa yang akan kita dapatkan? Masih untung kalau dicintai balik kalau malah yang lainnya? Dulu responku sama sepertimu saat membaca kisah Jamilah yang dengan entengnya merelakan suaminya. Namun setelah merasakannya sendiri,ternyata seluar biasa ini rasa ikhlas itu.” Ia mengatakannya dengan suara bisikan lalu tertawa pelan. “Dan kamu perlahan merasakannya,sedamai itu.” Mata Callisa mengerjap,apa benar ia telah merasakannya? Merelakan Pak Aydan sedamai itu? Tapi sampai sekarang Callisa masih berharap ada masa yang akan memberikan keajaiban walaupun kesannya sangat terdengar mustahil. “Apa sebingung itu?” tanyanya Callisa dengan cepat menggelengkan kepalanya,menatap Afanza yang ada disampingnya dengan senyuman. Dibalik cadarnya Afanza juga melakukan hal yang sama,merangkul Callisa selama beberapa menit lalu melepaskannya. Ia masuk kedalam sebentar membiarkan Callisa duduk disana Bersama angin pagi yang cukup minim. Bisa dikatakan langit sangat cerah hari ini dan tidak ada tanda-tanda hujan sama sekali. “Assalamualaikum,eh Callisa? Kak Afanza ada didalam kan?” “Waalaikumusslam,baru aja masuk. Masuk aja,” Ia menatap penampilan seasramanya itu,kini penampilan Callisa juga sama dengan mereka. Keluarganya tidak ada yang tau kalau Callisa telah memakai jilbab,walaupun awalnya adalah paksaan dari pembina namun entah kenapa Callisa merasa aman dengan hal ini. “Bagusnya dipilih langsung taplak mejanya kak agar sesuai dengan warna gorden yang ada di aula,kalau cuman modal foto bisa aja warnanya beda.” “Yuadah,nanti aku coba diskusiin sama Amelia juga.” Sayup-sayup suara perbincangan orang didalam sana terdengar,tanpa berpamitan dengan Afanza. Callisa pergi dari bangunan kecil itu untuk berkeliling pagi ini. Tak ada jadwal tertentu untuk semua orang,tergantung mereka mau ikut atau tidak karena memang ada semacam kelas-kelas pilihan. Dengan tangan masih memegang kertas kisah Jamila,Callisa terus berjalan dengan kebingungan. Agama islam ternyata tidak sesingkat itu untuk Callisa pelajari,masih banyak. “Assalamualaikum,Callisa! how are you this morning? You seem to have a lot on your mind that's why you walk daydreaming. right?” Callisa tertegun mendengar pertanyaan itu,apa benar ia berjalan sambil melamun? Apa kentara sekali. “Waalaikumussalam,Vanka. maybe it is.” Jawabnya ala kadarnya,mungkin memang sedang banyak pikiran. “I hope you find a solution soon, you really are not if you are not as cheerful as before. You are famous for your cheerfulness and and friendly to everyone. looks weird doesn't it?” ia tertawa mendengar pertanyaan itu,agak tidak percaya ternyata orang mencapnya sebagai orang ceria dan ramah. Keduanya berbincang agak lama sebelum Vanka pamit duluan karena sudah terlambat memasuki kelas pilihannya,Callisa melanjutkan jalannya menuju asrama untuk melihat ponselnya. Semua kakaknya terus memintanya pulang namun entah kenapa disini nyaman sekali. “Callisa, do you see, Amanta?” Ia membalikkan badannya menatap si penanya padahal sebentar lagi masuk kedalam asrama khusus orang indo semua,” I haven't seen Amanta this morning, but maybe he's attending Tahzin's class.” Jawabnya dengan senyuman,tak mau membuat orang itu tersinggung andaikan Callisa membalasnya dengan wajah datar, Ia memang belum pernah bertemu Amanta pagi ini,tapi mungkin teman dekatnya itu sedang masuk kelas Tahzin mengingat betapa tertariknya Amanta pada kelas Tahzin. “You're right, how can I forget? even though last night Amanta had said it, haha. Thanks for the information Callisa.” Sebagai jawaban,Callisa hanya mengangguk. Menunggu teman Amanta pergi dulu barulah ia benar-benar masuk kedalam asrama. Saat masuk kesini ia serasa berada di indo,semua orang tak lagi berbicara menggunakan Bahasa lain yang ada hanyalah Bahasa indo semata. Ia lanjut masuk kedalam kamarnya langsung menghidupkan ponselnya. Bagaimana pendapat kakkanya nanti pas melihat Callisa kini berjilbab? Bagaimana respon orangtuanya? Sedang selama ini maminya sangat membanggakan Callisa,bagaimana cara berpakaiannya,sepatunya yang cocok dengan kaki jenjang Callisa atau model rambutnya yang sungguh mempesona. Apa akan diterima atau maminya akan meminta Callisa membuka jilbabnya? “Galau?” “Amanta?” “Kaget banget kayaknya,ini aku. Kenapa kaget gitu?” Callisa tertawa,”Padahal sekitar 3 menitan yang lalu ada teman bulemu yang nanyain kamu eh ternyata ada diisni. Padahal aku bilangnya sama dia kamu ada di kelas Tahzin,bohong dong Namanya?” Amanta mengidikkan bahunya tak peduli,masuk begitu saja kedalam kamar Callisa. “Dia tuh pengen banget kenalin aku sama abangnya,males ah. Aku engga ada niatan nikah sama cowok bule,Bahasa inggirku masih nano-nano.” Tertawa kecil mendengar hal itu,”Kek bocah pake Bahasa nano-nano,markonah.” “Eh eh,namaku bukan markonah.” Protes Amanta cepat,membuat tawa Callisa semakin menjadi-jadi. Amanta ikut tersenyum akhirnya Callisa bisa tersenyum juga,”So? Habis bahas apaan sama kak Afanza? Aku baru aja mendengar kak Amel ngomel soalnya kamu lari kesana daripada menghadiri kelasnya. Padahal di Tahzin kamu belum ada kemajuan sama sekali,” ia dengan sengaja duduk di pinggir ranjang Callisa. Menatap perempuan cantic itu dengan penasaran. “Bahas so-“ “Lupakan soal kisah-kisah itu,kamu dulunya perawatan tiap minggunya?” “Haha,kenapa? Keliatan banget ya hasilnya? Sejak kecil aku dibiasain dengan yang Namanya salon. Jadi kebiasaan sampai besar,suatu percapaian sudah hampir berbulan-bulan engga ngerawat diri ke salon,Mamiku pasti bakal heboh kalau tau.” Jawabnya santai,Callisa sedang sibuk memasukkan selembar kertas tadi di mapnya. “Gila sih,keluarga kaya memang beda.” “Dulu sebelum kesini aku selalu ngebanggain kecantinkanku sama tas-tas mahal yang aku koleksi. Pas masuk sini,hal kayak gitu engga ada gunanya sama sekali. Yang orang peduliin,apa jenis qur’anmu,adakah tanda bacanya yang jelas atau gimana? Terus model gamis dipakai gimana. Pokoknya berbanding terbalik banget.” Curhatnya,menatap penampilan Amanta dimana jilbabnya lebih Panjang dari milik Callisa. “Ya itulah hidup. Eh pas si bule itu cari aku bilang aja kamu engga tau.” “Kamu minta aku berbohong? Seorang Callisa berbohong?” Amanta mengidikkan bahunya tak peduli lalu meninggalkan kamar Callisa,seperginya temannya Callisa memandang buku-buku yang berjejeran dimana berisi kisah-kisah cinta semua. Semerana itu Callisa tidak jadi menikah. Tapi sudahlah,pasti membosankan membahas hal seperti it uterus. Di jam seperti ini kebanyakan kelas memang sudah selesai,jadi banyak teman-teman lain yang berkumpul di samping kamarnya. Disana ada semacam taman kecil sengaja dibuat sebagai tempat perkumpulan. Callisa sedang menuju kesana,disambut dengan suara bising atau perbincangan dari berbagai arah. Jika dulunya Callisa mendengar, “Bajuku yang ini keluaran terbaru sih,diskonnya cuman dikit.” “Ini tas bukan sembarangan tas tau,Mommy gue yang beliin pas ke paris.” “No No,harganya bukan harga sejutaan. Yakali gue pake sepatu sejutaan.” “Tas ini tuh limited edition,gue yakin banget.” Maka sekarang yang terdengar adalah, “Aku tadi salah sih,harusnya ikhfa malah aku jadiin idzhar. Mana didepan teman asing lagi,malu banget.” “Kaos kakiku basah karena engga sengaja injak becek di depan sana,untung udah dekat dengan asrama dan engga ada yang liat. Kalau ada kak Amel yang liat,aku bakal di omelin karena engga liat-liat pas jalan.” “Eh benar banget,penyebutan huruf Fa-ku tadi agak salah,tegurannya kebanyakan disini.” “Emang benar Bunda Aisyah yang merokemendasikan? Hayolah,kamu ngadi-ngadi.” “Aku malah disuruh ganti model Qur’an tau,katanya kekecilan untuk mataku yang minus ini.” Dari semua ini Callisa tau,semuanya tergantung bagaimana lingkunganmu berada. Rasanya baru kemarin Callisa berjalan dengan penuh kebanggaan. Berpakaian cukup berani dengan rambutnya terlihat tanpa perlindungan sama sekali,mungkin jika Callisa berada disana maka semua orang akan mencacinya karena malah menutup auratnya. “Hahah,aku sampai ngakak banget pas si Kala nyebutin huruf Qa engga mau jadi-jadi. Mana muka kak Amel sudah sebel banget,eh itu tuh di ginian. Mana nyebutnya kaku banget,” “Panjang jilbabku kan 250’an gitu engga bakal cocok kalau pinjam punya kamu yang ukuran 220’an. Bisa-bisa tanganku keliatan,kan aneh guys. Apa pinjem ke kakak pembina aja? Asalkan bukan kak Amel pasti.” Suara-suara mereka yang saling bersahutan membuat Callisa nyaman berada disini,tak ada yang membahas tas mahal atau saling merendahkan perihal kasta. Tak ada yang mengomentari penampilan karena bajunya kurang mahal,tak ada yang saling menjatuhkan karena make-up yang salah pesta. Yang ada hanyalah pembahasan Panjang jilbab,koreksian hapalan atau cerita-cerita agama yang sangat menyejukkan. Callisa mendekat dimana Amanta berada,yang langsung disambut hangat oleh mereka. “Kamu bisa bayangin sendiri,Callisa. Saat kak Amel dengan susah ngejesalin hukum Tahzin,ditanya paham eh ditanya balik bengong,hahaha.” “Oh iya? Kak Amel marah banget pasti.” Sahut Callisa disela-sela cerita temannya. “Soal itu jangan ditanya,Masyaallah sekali.” Suara tawa kembali menggema,dengan senyumannya Callisa memandang sekitar. Mungkin suatu hari nanti ia akan merindukan suasana menyenangkan ini saat kembali ke Indonesia nanti,suasana yang sangat nyaman untuknya. Namun Callisa tidak bisa selamanya disini,ada banyak hal yang harus Callisa lanjutkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD