35 - Rencana Atau Wacana

2115 Words
Amanta menatap punggung Callisa dari kejauhan,sejak mengenal seorang Callisa ada banyak hal yang bisa Amanta pahami tentang dunia orang kaya termasuk bagaimana keseharian mereka. Selama ini Amanta selalu mengangap orang kaya dalam artian kaya banget tidak akan mau berbaur dengan orang yang tidak setara dengannya. Atau mereka takkan mau berbincang dengan orang yang berbeda kasta dengannya,tidak pandai memasak dengan mengandalkan pembantu rumah,tidak pernah menyentuh yang Namanya pakaian alias tidak pernah mencuci. Amanta juga berpikirnya semua orang kaya itu sombong dan sangat suka pamer kekayaannya. Semua terpatahkan dengan mengenal Callisa selama 5 bulan lamanya. Callisa bahkan tidak pernah membahas pakaian mahalnya,pernah juga ia mendapatkan kiriman jam tangan dan benda itu tak sengaja jatuh. Bukannya marah,Callisa hanya mengatakan, “Duh jatuh deh,hehe.” Beda kan? Karena Amanta pernah menghadapi orang kaya dimana kesembongannya juga jiwa pamernya sangatlah tinggi. “Callisa kayaknya lagi keinget seseorang lagi,walaupun kita semua engga tau siapa dan karena apa tapi dari sorot matanya kita tau kan? Sepanjang malam ada pengharapan disana.” Sahut perempuan yang berdiri disamping Amanta. Matanya ikut terarah dimana Callisa berada. “Aku yakin baju yang Callisa pakai sekarang harganya engga main-main,tapi saat engga sengaja ada yang numpahin minuman pas makan tadi. Responnya cuman biasa aja,orang kaya sejak lahir memang beda sih. walaupun dari ujung kaki sampai ujung kepala harganya fantastis tapi mereka tau memanusiakan manusia. Aku pamit keluar sebentar,” ia tersenyum sejenak barulah pergi sana. Amanta mendekati Callisa namun teman dekatnya itu tak menyadarinya sama sekali. “Princess,kecantikan kamu perlu perawatan salon deh,” ceplosnya membuat perhatian Callisa kini mengarah padanya. “Haha,yakali aku ke salon di tempat ginian. Pas masuk salon terus liat penampilanku yang kayak gini,menurutmu gimana respon mereka? Apalagi kalau aku bilangnya mau perawatan rambut,bakal di ketawain sama yang lain kayaknya,” responnya,berdiri memandang Amanta aneh. “Kenapa liatin aku kayak gitu? Aku engga tanggung jawab kalau kamu suka sama aku ya?” Amanta memutar bola matanya malas,”Kamu pernah dengar ada yang mengataimu kepedean engga?” Callisa menggeleng sebagai jawaban,semua orang lebih dominan memujinya daripada menganggapnya kepedean. “Untuk apa mereka mengataiku kepedean? Toh faktanya aku cantic? Bajuku oke? Engga asal bicara tanpa bukti sama sekali. Pemilihan fashionku selalu sepadan dengan diriku sendiri,memang pantas dipuji kan? Lagian puji diri sendiri itu perlu pake banget. Siapa yang akan memuji kita kalau bukan diri kita sendiri? Misalkan.” Ia menutup ucapannya dengan tatapan jahil,membuat Amanta ingin menggeplak kepalanya,sangat menjengkelkan. “Lupakan soal memuji itu,kamu beneran mau balik ke indo?” tanyanya berubah menjadi serius. “Haha,kamu kesini cuman mau nanyain itu? Bukannya kamu juga bakal balik ke indo juga bulan depan? Batas berada disini paling lama itu 1 tahun. Tempat ini tak selamanya ada untuk kita,ada orang lain yang perlu kesini untuk memulihkan pikirannya,” bukan jawaban itu yang Amanta inginkan. “Apa yang paling berat saat akhirnya kita akan pulang?” tanyanya random,ia mencoba mengalihkan pembahasan. Merasa Callisa tak mau membahasnya,Amanta ikut duduk disampingnya. “Pulang? Tempatnya. Yang paling memberatkan adalah dimana tempat kita saat pulang nanti,akankah ada perubahan atau tetap sama seperti terakhir kali kita tinggalkan. Walaupun kepulanganku masih ada sebulan,aku selalu menanyakan itu. Apa iya aku bisa terbiasa tanpa adanya ibuku?” percayalah,semua orang yang ada di tempat ini adalah orang yang pernah kehilangan. Dengan gerakan pelan,Callisa menyandarkan kepalanya di pundak Amanta. Ia tersenyum memikirkan apakah semuanya akan sama saat Callisa pulang nanti? Apa yang akan Callisa lakukan saat kembali nanti? “Kak Afanza kemarin sempat bilang di pertemuan kami,bilangnya gini. Saat kata pulang akhirnya berhasil ada dalam dirimu,maka tanyakan lantas setelah ini apa? Semuanya tidak akan sama seperti sebelumnya bukan? Saat memikirkannya kembali ada benarnya juga,semuanya tidak akan sama seperti dulu.” Lanjutnya,membiarkan Callisa menyandarkan kepalanya disana. “Jadi diri sendiri susah ah,banyak capeknya.” Keluhnya sambil menegakkan badannya kembali. “Daripada jadi orang lain terus? Pura-pura terus? Mending jadi diri sendiri,” “Huh melelahkan tau engga,mau kupikirkan ribuan kali sekalipun tetap aja melelahkan. Kamu pikir membuat keputusan tidak memperdulikan sekitar itu mudah?” Callisa tertegun,kenapa pikirannya makin engga jelas ya? Keduanya saling pandang lalu tertawa pelan,mungkin akan sangat merindukan momen ini saat pulang nanti ya? “Bajunya pasti mahal kan?” “Hahah,lumayan membuat Mamiku marah-marah pas tau bajunya lecek. Mana ketumpahan bahan yang susah hilang,” jawabnya enteng,ia jadi membayangkan wajah maminya saat menemukan kaftan ini berubah menjadi baju yang tak bisa dipakai lagi. “Sandal kamu juga kena ya?” “Demi tasku yang sempat rusak kemarin,percayalah. Kamu bakal kaget banget kalau tau harganya,ini aja pas aku minta sama Mamiku sudah diingatkan untuk hati-hati menjaganya. Untung Mamiku engga nanya ngapain minta baju gituan padahal dulu bukan style-ku sekali,haha.” Amanta memandang Callisa yang sedang tertawa,cantic tanpa adanya make-up sama sekali. “Aku jadi membayangkan bagaimana ekspresi semua kakakku saat melihat aku datang dengan penampilan begini,mereka bakal cengo banget kali ya? Bayangin engga sih,Callisa yang terkenal dengan fashionable-nya malah muncul dengan kealiman-nya?” “Engga ada yang engga mungkin,Callisa.” “Tapi memang aneh sih,” “Bagian mananya yang aneh?” Bukannya menjawab,Callisa malah tertawa membiarkan Amanta memikirkannya sendiri. Callisa belum bisa membayangkan bagaimana respon semua orang saat melihat Callisa datang dengan pakaian tertutupnya,padahal dulunya selalu berpakaian terbuka,sangat minim. “Keknya habis ini aku pengen ke salon beneran deh?” ujarnya tiba-tiba, “Ngapain?” kepo Amanta, “Perawatan,aku cukup pesan ruangan VVIP agar tak ada orang yang melihat rambutku dan memilih pegawai yang berjenis perempuan. Sebuah solusi yang memungkinkan bukan? Tapi yang agak menganggu pikiranku adalah apa iya bakal senyaman ini pake jilbab pas di indo nanti?” “Dahlah,aku capek denger pertanyaan kamu yang banyak banget. Mana dijawab asal-asalan lagi,terserah kamu aja terserah.” Dengan gemasnya,Callisa memeluk Amanta dari samping. Senyumnya mengembang ceria lalu mengerjapkan matanya beberapa kali seolah membujuk Amanta agar tidak marah. Tak lama suara tawa keduanya terdengar,Callisa saja bingung dengan dirinya sendiri saat ini. Entah sedang membahas apa. “Tapi setelah dipikirkan kembali memang aneh sih.” “Apa lagi Ya Allah,astagfirullah Callisa.” Ia tertawa lagi,mengibaskan tangannya di udara lalu meninggalkan Amanta disana,saat Amanta mengejarnya ia berlari makin cepat. Perubahan? Awalnya aku menganggap itu sesuatu yang tidak akan pernah aku tampakkan. Aku mengira akan selalu terjebak di penampilan itu. Namun nyatanya,perubahan itu kini ada didalam diriku. Pulang? Callisa akan segera pulang setelah berkelana selama 5 bulan lamanya. Pulang ke rumah yang berisi semua kakaknya juga kesehariannya selama ini. Mungkin tidak dengan menganggu Aydan atau keluar masuk Mall membeli pakaian. Tapi Callisa akan mencari kesibukan namun belum tau kesibukan apa itu. Penampilannya saat ini memang sangat aneh dan tidak disangka sekali,siapa yang menyangka Callisa yang gemar memamerkan keindahannya malah kini menutup aurat bermodal paksaan pembina tempat ini? Callisa yang gemar berpakaian mewah dan terbuka kini berpenampilan tertutup sekali. Memang aneh bukan? Namun kini memang telah terjadi. Callisa telah menutup auratnya,kini memakai jilbab dimana menutup rambutnya yang selalu ia rawat di salon tiap minggunya. Kini Callisa tak menggunakan sepatu tinggi lalu memamerkan kaki jenjangnya,ada gamis sepanjang mati kaki ditemani kaos kaki menutupi semuanya. Callisa menganggap tidak akan merasakannya,ternyata kini ada. Walaupun terkadang pengap,susah berjalan dan tidak terbiasa. Callisa sedang berusaha terbiasa namun sering merindukan dimana dia berjalan dengan percaya dirinya memamerkan semuanya. Ada kalanya,memang sudahlah. Allah sudah memberinya kesempatan,lalu masa iya ditolak? *** “Adikmu sebenarnya di negara mana? Mami tuh penasaran mana kalau tiap Mami nanya dia selalu mengalihkan pembahasan, tiap video call di kamar terus engga pernah berada di luar ruangan. Jangan-jangan adikmu di penjara gantiin papimu ya?” suara Engki menggema namun itu berasal dari ponsel Ray yang ada di meja kerjanya. “Raymond,Mami nanya sama kamu!” Ray menghela napasnya,meninggalkan pekerjaannya yang sangat banyak lalu mengambil ponsel yang sejak tadi ia abaikan. Hanya panggilan telepon biasa bukan video call sama sekali,itupun Maminya menghubunginya sebanyak 6 kali barulah 7 kalinya Ray angkat. “Mami engga ke butik? Biasanya kan kesana. Aku mau pulang jadi aku matiin ya?” alihnya,ia malas memberitahu di negara mana Callisa berada. “Okay Mami engga bakal nanya itu dulu,kita bahas soal umur kamu yang makin tua. Kapan nikahnya? Jangan tunggu Callisa dilamar baru setelahnya nikah. Mami mau liat kamu nikah bukan liat kamu sibuk dengan kerjaan atau kesana kemari ngunjungi lautan,minggu lalu kamu kemana engga bisa dihubungi? Kamu kayak anak bandel aja,” Pekerjaan yang sangat banyak sudah membuat kepalanya pening,malah ditambah dengan omelan maminya soal nikah,nikah dan nikah. “Aku matiin ya,Mi? mau pulang.” Tanpa menunggu jawaban dari maminya ia mengklik tombol merah. Raymond menghempaskan badannya disofa Panjang yang ada di ruangannya,memijat pelipisnya yang terasa sangat pening sekali. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam namun Ray belum pulan juga,ia memang sengaja karena setiap kali pulang ia akan menemukan kesepian dan keheningan yang sangat kentara. Callisa tidak ada disana,menyambutnya dengan omelan karena pulang kemaleman atau terlalu sibuk dengan pekerjaan. Selama 5 bulan ini,Ray sengaja lebih dominan menghabiskan waktunya diluar daripada dirumah. Ddrrt, Melirik ponselnya malas,bukan Maminya tapi kakak ipar pertamanya. “Halo Ray? Aku tadi habis dari rumah kamu tapi masih gelap,kamu belum pulang? Masa jam segini belum pulang dan masih kerja? Aku engga tanggungjawab kalau kalian debat lagi soal kerjaan yang sengaja dibanyakkan. Kenapa harus kayak gini sih,Dek?” Rasya,omelan kakak iparnya kini datang. Inilah keseharian Ray semenjak Callisa memilih meninggalkan indo,Ray yang menggantikan posisi Callisa dalam dijaga. Selalu ditanya berada dimana,sudah makan atau belum,kenapa belum pulanh,jangan banyak kerja,jangan banyakan diluar. Mereka semua mendadak perhatian pada Ray,menyebalkan bukan? Andai Callisa ada disini mungkin Callisa yang merasakan itu semua. “Dek? Reika nanyain kamu tadi tapi aku jawabnya engga tau. Pulang ya,ada kabar tentang Callisa.” Ray yang tadinya memejamkan matanya kini membukanya dengan cepat, “Ada kabar apa kak? Kok aku engga tau kan biasanya kalau telponan sama Callisa selalu teleponan grup?” “Sengaja,mau kasi surprise untuk kamu. makanya pulang jangan kerja terus,Mami baru aja kirimin aku pesan untuk lebih memperhatikan kamu.” Sedetik setelahnya sambungan telepon terputus,dengan sigap Ray membereskan semua berkas-berkas pengelolaan yang ada di meja kerjanya,mematikan lampu ruangan barulah keluar. Saat keluar restoran sudah sangat sepi dan sudah di tutup sekitaran 2 jam yang lalu. Hanya Ray yang sengaja melemburkan diri menyibukkan diri dengan pekerjaan yang menumpuk itu. Sesampainya diluar,ia tidak lupa mengunci pintu restoran dengan benar lalu menuju mobilnya. Jangan katakan jalanan Jakarta pas jam segini sepi nyatanya tetap ramai,pinggir jalanan dipenuhi anak muda yang sedang nongkrong atau penjual pinggir jalan yang masih terbuka. Kota Jakarta tidak pernah padam atau sepi. “Kak Ray,bagusnya pulang ke Paris atau engga?” Jakarta adalah kota impian bagi mereka yang sangat ingin merasakan keramaian,namun kota melelahkan bagi mereka yang menyukai ketenangan. Lalu Ray berada dimana? Ia berada diantara keduanya,kadang menginginkan keramaian untuk mengenyahkan pikirannya yang berperang juga memerlukan ketenangan agar kembali imbang. “Aku tadi sempat cari di internet,tempat yang paling pas untuk orang yang mau melarikan diri. Ada banyak orang yang memilih kesana,bukan Paris sih tapi tempatnya katanya menjanjikan sekali.” “Kamu memangnya engga bisa disini aja,Dek?” “Kakak mau liat aku merana terus karena batal sama Pak Aydan?” Orang bilang kebanyakan yang tinggal di Jakarta adalah orang lemah yang kebetulan dikuatkan oleh keadaan,ini baru Ray dengar dari kumpulan anak jalanan yang ditemuinya sekitar seminggu lalu saat mengunjungi lautan baru. Aneh,tapi ada benarnya juga. Tapi Jakarta selalu… Ray menepikan mobilnya memasuki Kawasan kompleks rumahnya sudah malas memikirkan bagaiamana Jakarta juga ingatan semalam sebelum Callisa berangkat kesana. Adiknya itu dengan susah payah membujuknya,Reika dan Rakaf. Hingga akhirnya disetujui lalu berangkat esok harinya. Mami-Papinya? Callisa tidak membutuhkan izin mereka selama izin dari semua kakaknya telah didapatkan. Suara pintu mobil yang tertutup pertanda Ray baru saja keluar dari mobilnya,menatap malas kearah pintu rumah dimana isinya hanya kekosongan. Tak ada Callisa dengan wajah cemberutnya menyambutnya,Ray serasa merindukan kekasihnya yang menghilang tanpa kabar. “Kakakku yang paling nyebelin diantara semuanya,hayolah. Jangan perlihatkan wajah sedihmu saat Callisa yang cantic ini akan pergi. Perginya kan cuman sebentar engga lama-lama amat,palingan list laut yang mau kakak kunjungi belum terceklis semua,eh aku sudah pulang. Aku bakal sesering mungkin memberikan kabar,oke?” Langkah Ray terhenti di hadapan pintu,didekatnya ia serasa melihat Callisa yang sedang menenangkannya saat akan pergi. Kakak ketiga Callisa itu terkekeh pelan,ia dengan malas membuka pintu rumahnya disambut keheningan. Hanya suara langkahnya yang menggema juga jarum jam yang terus berdetak,lanjut terus menuju kamarnya agar bisa segera beristirahat. Mengganti pakaiannya dengan cepat barulah merebahkan badannya di ranjang,sangat melelahkan juga dimana bekerja terus menerus tanpa adanya hiburan. Makanya ya nikah. Itu adalah perkataan Callisa tiap kali Ray mengeluh kesepian,nikah ya? Nanti dulu,Ray belum bisa menemukan orang yang mampu menjaga Callisa melebihi mereka bertiga menjaganya. Suara langkah kaki yang mendekat juga suara panggilan Rasya diluaran sana membuat Ray dengan malas bangun menuju ruang tamu. “Ray? Ray?” “Kenapa kak?” tanyanya enggan, “Callisa akan pulang dari Turki seminggu lagi,” Ray mematung di tempatnya,benarkah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD